https://malang.times.co.id/
Opini

Kebijakan Perlindungan Data Pribadi

Selasa, 08 April 2025 - 08:02
Kebijakan Perlindungan Data Pribadi Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023)

TIMES MALANG, JAKARTA – Dalam lanskap digital yang makin tak berbatas, data pribadi telah menjadi komoditas strategis sekaligus sumber kerentanan baru. Dari aktivitas media sosial, layanan keuangan digital, hingga layanan kesehatan berbasis aplikasi, setiap jejak digital kita meninggalkan informasi yang dapat dimanfaatkan atau disalahgunakan. 

Di tengah ancaman kebocoran data yang terus meningkat, pengesahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) menjadi tonggak penting bagi Indonesia. Namun, untuk memastikan efektivitas implementasinya, Indonesia dapat dan seharusnya belajar dari praktik terbaik global, terutama dari Uni Eropa melalui General Data Protection Regulation (GDPR).

Sejak diberlakukan pada tahun 2018, GDPR menjadi rujukan utama dalam perlindungan data pribadi secara global. Inti dari GDPR adalah perlindungan hak individu atas data pribadinya, dengan prinsip-prinsip dasar seperti consent (persetujuan yang eksplisit), purpose limitation (batasan tujuan), data minimization, hingga right to be forgotten. Regulasi ini menjadikan data bukan hanya sebagai aset, tetapi sebagai hak yang melekat pada setiap warga negara.

Di Indonesia, paradigma perlindungan data sering kali masih terjebak pada pendekatan administratif dan belum sepenuhnya berorientasi pada hak asasi digital. Meskipun UU PDP telah mulai mengadopsi beberapa prinsip GDPR, seperti kebutuhan akan persetujuan dan kewajiban pengendali data, masih ada celah besar dalam penerapan, pengawasan, dan pemulihan hak warga yang datanya dilanggar.

Kelembagaan dan Penegakan Hukum

Salah satu kekuatan utama GDPR adalah keberadaan lembaga pengawas independen di setiap negara anggota Uni Eropa, yang tergabung dalam European Data Protection Board (EDPB). Lembaga ini tidak hanya berfungsi sebagai pengawas, tetapi juga memiliki kewenangan investigasi dan menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku pelanggaran, bahkan hingga miliaran euro.

Sebaliknya, Indonesia belum memiliki otoritas perlindungan data pribadi yang independen dan berfungsi penuh. Pembentukan lembaga ini, sebagaimana diamanatkan UU PDP, hingga kini belum menunjukkan perkembangan yang signifikan. Tanpa institusi pengawas yang kuat, penegakan hukum akan berjalan lemah, dan publik akan kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas regulasi.

Lebih jauh, efektivitas GDPR juga terlihat dari preseden hukum yang terbentuk dari berbagai kasus besar, seperti denda kepada Google dan META atas praktik pengumpulan data yang tidak transparan.

Di Indonesia, belum ada kasus penegakan hukum terhadap pelanggaran data pribadi yang dibawa ke ranah pengadilan secara terbuka, apalagi menghasilkan sanksi tegas.

Aspek penting lain dari keberhasilan GDPR adalah dukungan terhadap peningkatan kesadaran publik. Negara-negara Uni Eropa melakukan kampanye masif dan edukasi publik tentang hak-hak data mereka. Masyarakat didorong untuk mengetahui, mengontrol, bahkan menghapus data yang dikumpulkan oleh penyedia layanan digital.

Di Indonesia, tingkat literasi digital-termasuk pemahaman atas hak data pribadi-masih rendah, terutama di kalangan masyarakat pengguna digital yang tidak terbiasa membaca syarat dan ketentuan penggunaan. Banyak yang secara tidak sadar menyerahkan akses data pribadi kepada aplikasi yang tidak kredibel, hanya untuk mendapat layanan gratis.

Dalam konteks ini, kebijakan perlindungan data pribadi perlu disandingkan dengan strategi nasional literasi digital. Edukasi harus dimulai sejak bangku sekolah dan diperluas hingga pelatihan sektor publik dan swasta, dengan fokus pada pengelolaan data yang aman dan etis.

Regulasi Lintas Batas dan Kedaulatan Data

Era digital tidak mengenal batas geografis. Transfer data lintas negara sudah menjadi keniscayaan, terutama dalam layanan berbasis cloud dan platform digital global. GDPR secara tegas mengatur ketentuan ‘cross-border data transfer’, dengan mewajibkan negara tujuan memiliki tingkat perlindungan data yang setara.

Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang tegas dan terukur dalam isu ini. Perlindungan data tidak boleh berhenti di batas teritorial. Perlu dibangun kerangka kerja sama regional maupun bilateral yang menjamin bahwa data warga Indonesia yang diproses di luar negeri tetap mendapat perlindungan yang sepadan. Ini juga menjadi bagian dari kedaulatan digital yang semakin penting dalam geopolitik global.

Pertama, pemerintah harus segera membentuk otoritas perlindungan data pribadi yang independen, kredibel, dan dilengkapi dengan kewenangan penegakan hukum. Pembentukan lembaga ini tidak boleh tunduk pada tarik-menarik politik atau birokratisasi kelembagaan.

Kedua, perlu disusun peta jalan pelaksanaan UU Perlindungan Data Pribadi secara detail, mencakup sosialisasi, audit kepatuhan, hingga penegakan hukum. Setiap sektor, baik pemerintah maupun swasta, perlu diberikan standar minimum perlindungan dan tata kelola data yang wajib dipenuhi.

Ketiga, adopsi prinsip-prinsip GDPR perlu dikontekstualisasikan. Tidak semua mekanisme GDPR bisa diterapkan secara mentah di Indonesia. Namun, prinsip dasarnya-hak atas data, akuntabilitas pengendali data, dan sanksi yang proporsional-harus menjadi fondasi kebijakan kita.

Keempat, Indonesia harus aktif dalam kerja sama internasional dan regional dalam hal perlindungan data, termasuk dalam forum G20, ASEAN Digital Ministers’ Meeting, dan organisasi seperti APEC Cross-Border Privacy Rules.

Menjaga Masa Depan Digital Indonesia

Perlindungan data pribadi bukan sekadar soal keamanan digital, tetapi menyangkut martabat dan kedaulatan individu dalam era informasi. Belajar dari Eropa, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun ekosistem digital yang aman, adil, dan manusiawi.

Namun, itu hanya bisa terwujud jika kita serius membangun regulasi yang kuat, kelembagaan yang independen, budaya yang sadar data, dan partisipasi publik yang aktif.

UU PDP telah menjadi titik awal yang penting. Kini, tantangannya adalah menjadikan undang-undang tersebut sebagai alat transformasi, bukan sekadar dokumen formal yang mandul. GDPR membuktikan bahwa perlindungan data yang kuat bukan hanya mungkin, tetapi mutlak diperlukan. 

Kita sudah merumuskan fondasi untuk penguatan data pribadi, sekaligus regulasinya. Namun, dibutuhkan keseriusan dan political will untuk mendorong implementasi kebijakan ini selaras dengan misi transformasi digital pemerintah kita, yang saling terkoneksi dengan kebijakan geopolitik, geoekonomi serta nilai-nilai kultur bangsa ini. 

***

*) Oleh : Munawir Aziz, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Studi dan Riset di Amerika Serikat, Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.