TIMES MALANG, MALANG – Karya buku perdana Muhammad Nafis, berjudul "Transformasi Sosial Politik Ala Gen-Z", resmi dibedah dalam forum diskusi publik dan mendapat sambutan antusias dari para peserta.
Dalam pantauan TIMES Indonesia, Ruang Hall L2 Malang Creative Center, Kota Malang dipenuhi 90 peserta yang didominasi kalangan muda dari beberapa Kampus di Malang, menandai tingginya ketertarikan terhadap gagasan yang mengurai peta sosial-politik Gen Z di era digital.
Dalam paparan pengantarnya, Muhammad Nafis sebagai penulis menyebut bahwa buku ini lahir dari keresahan intelektual sekaligus refleksi panjang terhadap gejala sosial generasi yang kerap distigmatisasi hanya generasi yang suka “healing”.
“Gen Z banyak hanya mengikuti arus, padahal mereka punya potensi luar biasa. Saya ingin mendorong kita semua untuk ikut berkontribusi menciptakan konten-konten positif,” ujarnya, Rabu (26/11/2025).
Ia menjelaskan bahwa kebingungan yang dialami banyak anak muda bukan disebabkan oleh keterbatasan kemampuan, tetapi oleh absennya ruang pembinaan dan pendampingan.
“Gen Z hari ini bukan tidak mampu, tapi tidak memiliki ruang dan mentor yang merangkul. Itu problem utamanya,” ujarnya.
Fenomena transformasi teknologi yang begitu cepat turut digaris bawahi Nafis dalam karyanya.

“Kalau dulu saya harus ke Wilis dan Gramedia untuk membaca buku, hari ini Gen Z cukup membuka layar ponsel,” paparnya. Nafis menutup pengantarnya dengan kutipan khas Tan Malaka, “Terbentur, terbentur, dan akhirnya terbentuk.”
Diskusi buku kian hidup dengan perspektif dari para narasumber. Juwita Hayyuning P, Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Brawijaya, menilai Gen Z sebagai subjek penting sekaligus rentan dalam perubahan sosial politik.
“Perempuan muda terutama yang sering mengalami multi diskriminasi gender,” jelas Juwita.
Ia juga mengingatkan fenomena kekerasan berbasis digital yang makin sering terjadi di ruang maya.
“Banyak kasus kekerasan terhadap anak maupun oleh anak yang viral di media sosial, dan ini menunjukkan urgensi pendidikan literasi digital,” katanya.
Terkait ketimpangan sosial, Juwita menambahkan “Anak muda menghadapi kemiskinan yang sifatnya kompetitif; pekerjaan sulit dan tuntutan tinggi. Beberapa negara bahkan sudah melarang kepemilikan HP untuk usia di bawah 16 tahun sebagai proteksi.”
Diskusi juga menghadirkan sudut pandang Yatimul Ainun, Pemimpin Redaksi TIMES Indonesia, yang menekankan pengaruh besar Gen Z sebagai aktor digital baru.
“Yang mengendalikan ruang digital hari ini adalah Gen Z, mereka menggeser pola konsolidasi konvensional ke konsolidasi digital untuk membangun pengaruh,” terangnya.
Ainun sapaan akrabnya turut menyinggung pergeseran cara manusia mencari informasi di era kecerdasan buatan.
“Kalau dulu kita mencari persoalan di Google, sekarang kita mencari jawaban langsung di AI. Ini mengubah pola komunikasi publik,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya etika digital, “Cek fakta dulu sebelum bicara; tingkatkan literasi digital agar tidak larut dalam arus hoaks dan provokasi.”
Sementara itu, Alie Mulyanto, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Malang, hadir mewakili Wakil Wali Kota Malang dan menilai buku tersebut relevan dengan masa depan bangsa.
“Orang-orang muda bukan hanya penerus, mereka adalah pemimpin. Indonesia ke depan akan ditentukan oleh Gen Z yang kreatif, inovatif, dan adaptif,” kata Alie.
Ia juga menyebut Kota Malang sebagai ruang terbuka terbaik untuk pertumbuhan pemikiran anak muda.
“Kota Malang hanya satu-satunya kantor tanpa pagar, artinya siapapun boleh datang, berdiskusi, dan berkembang,” imbuhnya.
Ali menegaskan pentingnya kolaborasi menuju Indonesia Emas 2045. “Anak-anak muda harus berkontribusi membangun jejaring kolaborasi dan sinergi. Itulah indikator bangsa yang maju, adil, dan mampu bersaing.”
Bedah buku yang dibuka dengan penampilan tarian tradisional itu tidak hanya menjadi ruang apresiasi karya akademik, tetapi juga menjadi panggung refleksi bersama mengenai posisi Gen Z dalam peta sosial-politik nasional.
Dengan hadirnya buku ini, diskursus sosial politik mengenai Gen Z memasuki arah baru, lebih dekat dengan realitas digital, lebih kritis terhadap kebijakan sosial, dan lebih menekankan pada peran anak muda sebagai game changer masa depan. (*)
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |