TIMES MALANG, JAKARTA – Sejumlah advokat dan pekerja yang tergabung dalam kelompok pemohon uji materiil terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Tapera meminta agar Presiden Prabowo Subianto, sebagai penerbit PP tersebut, mempertimbangkan pendapat dissenting dari salah satu anggota Majelis Hakim Agung dalam putusan mengenai ketentuan denda dalam PP Tapera.
Menurut Johan Imanuel, salah satu perwakilan advokat pemohon, mereka merasa keberatan dengan adanya ketentuan denda pada Pasal 53 hingga Pasal 57 PP Tapera.
Pasal-pasal tersebut dinilai bertentangan dengan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Pasal 5 dan Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Denda yang dikenakan kepada peserta Tapera dianggap dapat menimbulkan ketakutan bagi calon peserta. Johan menegaskan bahwa ketakutan tersebut dapat menghalangi masyarakat untuk ikut serta dalam program Tapera.
"Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu," ujar Johan dalam keterangan singkatnya.
Johan Imanuel menekankan bahwa pihaknya berencana mengajukan kembali keberatan terhadap ketentuan denda pada Pasal 53-57 PP Tapera ke Mahkamah Agung setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan perkara-perkara Judicial Review UU Tapera tersebut.
Meskipun putusan Mahkamah Agung (MA) tidak mengabulkan permohonan tersebut, salah satu anggota Majelis Hakim Agung, Dr. H. Yosran,S.H., M.Hum setuju dengan keberatan para pemohon.
Pihaknya menyatakan pada kesempatan sidang bahwa ketentuan yang ada dalam PP Tapera melanggar asas-asas kedayagunaan, kehasilgunaan, keadilan, pengayoman, dan kemanusiaan, hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU 39/1999 tentang HAM.
Hakim Agung Dr. H.Yosran, S.H., M.Hum dalam Dissenting Opinion berpendapat bahwa berdasarkan pertimbangan hukum filosofis dan sosiologis, ketentuan denda dalam PP Tapera bertentangan dengan peraturan perundang-undangan "karenanya harus dibatalkan," tegasnya.
Meskipun telah mendapatkan dukungan dua anggota Majelis Hakim Agung lainnya seperti Ketua Majelis dan Hakim Anggota sepakat permohonan tidak dapat dikabulkan.
"Perkara terkait Undang-Undang Tapera sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi dalam perkara-perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Nomor 134/PUU-XXII/2024" ujar Johan mengutip Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 56/P/HUM/2024
Sambil menunggu putusan Mahkamah Konstitusi, para pemohon juga berencana untuk menyurati Presiden Republik Indonesia. Mereka berharap agar Presiden mempertimbangkan dissenting opinion dari Hakim Agung Dr. H. Yosran, S.H., M.Hum agar dapat dilakukan kajian ulang terhadap ketentuan denda dalam PP Tapera.
Pendapat dari Perwakilan Advokat dan Pekerja
Hema Simanjuntak, perwakilan lainnya dari advokat, menegaskan bahwa pihaknya akan terus berjuang agar program Tapera diperbaiki.
Menurutnya, negara seharusnya hanya mewajibkan masyarakat untuk membayar pajak, sementara kewajiban untuk ikut program lainnya seharusnya bersifat sukarela.
Sementara itu, Nicolas Marshell, perwakilan pekerja, mengungkapkan bahwa ia menolak untuk ikut serta dalam program Tapera jika denda tetap diberlakukan.
Ia juga menyarankan agar masyarakat mempertimbangkan kembali untuk ikut program Tapera, karena ketakutan akan denda yang sudah dipersiapkan untuk peserta. (*)
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |