TIMES MALANG, MALANG – Ratusan alumni aktivis pers mahasiswa berkumpul di UniversitasBrawijaya Malang, Sabtu (25/210/2025). Mereka menghadiri reuni Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI). Kegiatan ini menjadi ajang pertemuan aktivis lintas generasi untuk menakar arah bangsa di tengah perubahan sosial, politik, dan digital yang kian dinamis.
Dalam reuni ini, juga dilangsungkan Seminar Nasional bertajuk “Oase: Gelap Terang Indonesia” di Auditorium UB. Seminar tersebut menghadirkan empat tokoh nasional, yakni Rektor Universitas Brawijaya Prof. Widodo, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Nezar Patria, Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, serta aktivis sosial Inayah Wahid.
Keempatnya memberikan pandangan kritis dari berbagai perspektif. Mulai dari pendidikan, teknologi, hukum, dan sosial, tentang posisi Indonesia hari ini dan peluang menuju Indonesia Emas 2045.
Dalam sambutannya, Rektor UB Prof. Widodo menyoroti kesenjangan sosial dan kualitas sumber daya manusia sebagai tantangan utama pembangunan nasional. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang stabil di angka 5 persen belum diimbangi dengan peningkatan kualitas SDM.
“Penduduk miskin masih banyak, sementara hanya 13 persen masyarakat yang lulus perguruan tinggi. Ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi belum dinikmati secara merata,” ujarnya.
Widodo menambahkan, Indonesia memiliki lebih dari 4.000 perguruan tinggi, namun hanya sekitar 30 persen lulusan SMA yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Faktor biaya dan pola pikir menjadi kendala utama.
“Rendahnya pendidikan menyebabkan rendahnya inovasi dan daya kewirausahaan yang baru sekitar 3 persen, jauh di bawah negara maju yang di atas 10 persen,” ungkapnya.
Dia menilai perbaikan kualitas pendidikan dan penguatan sektor industri menjadi syarat mutlak untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
“Pemimpin bangsa memiliki tanggung jawab historis untuk memastikan setiap potensi nasional menghasilkan kemakmuran yang berkelanjutan,” tegas Widodo.
Wamen Komunikasi dan Digital Nezar Patria menyoroti pentingnya kesiapan generasi muda menghadapi era kecerdasan buatan (AI). Ia menilai bonus demografi yang dimiliki Indonesia akan menjadi penentu arah masa depan bangsa.
“Kita punya modal besar, sumber daya alam dan talenta manusia, yang bisa mendorong inovasi dan kreativitas,” ujarnya.
Nezar menekankan perlunya literasi digital dan pemahaman kritis terhadap teknologi agar generasi muda tidak justru terjebak dalam arus digitalisasi. “Kecerdasan buatan tidak akan memperbudak manusia kalau kita memiliki critical thinking. Adopsi teknologi harus terukur dan berbasis pengetahuan,” katanya.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai demokrasi Indonesia sedang menghadapi masa gelap. Ia menyoroti kecenderungan lembaga-lembaga demokrasi yang dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi segelintir kelompok.
“Salah satu sisi gelap kondisi sekarang adalah demokrasi yang tidak baik-baik saja. Ratusan aktivis ditangkap hanya karena menyampaikan aspirasi masyarakat,” ujarnya.
Meski demikian, Bivitri tetap melihat adanya harapan. Ia menilai munculnya gerakan masyarakat sipil, media independen, dan kolektif anak muda menjadi “oase” bagi demokrasi.
“Gerakan sipil harus dirawat agar oase ini tidak mengering. Saya percaya masyarakat sipil, termasuk pers mahasiswa, masih menjadi penopang utama demokrasi Indonesia,” tegasnya.
Sementara itu, aktivis sosial Inayah Wahid menilai Indonesia saat ini sedang berada dalam masa yang suram. Ia menyebut persoalan korupsi, ketimpangan ekonomi, dan krisis lingkungan sebagai tantangan yang menghambat cita-cita Indonesia Emas.
“Sulit membayangkan 2045 sebagai Indonesia Emas, karena ‘emasnya saja belum kelihatan’,” ujarnya.
Namun, Inayah tetap mengajak masyarakat sipil untuk tidak menyerah. “Kalau capek, istirahat, tapi jangan berhenti. Menyalakan lilin sekecil apa pun akan membuat terang, asal kita tidak menyerah,” katanya.
Dia juga mencontohkan ibunya, Sinta Nuriyah Wahid, yang di usia 77 tahun masih aktif dalam Gerakan Nurani Bangsa memperjuangkan demokrasi. “Kalau beliau saja masih berjuang, anak muda tidak punya alasan untuk berhenti,” tambahnya.
Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) berdiri sejak 24 Januari 2015 di Jakarta sebagai wadah konsolidasi ribuan alumni pers mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia. Anggotanya kini tersebar di berbagai bidang, mulai dari media, akademisi, politik, hingga bisnis.
Selama satu dekade terakhir, FAA PPMI aktif menggelar diskusi publik dan forum intelektual yang membahas isu-isu strategis nasional. Forum ini menjadi ruang pertemuan antara idealisme dan profesionalisme, sekaligus jembatan antar generasi aktivis yang tetap konsisten mengawal nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. (*)
| Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |