TIMES MALANG, MALANG – Kirab Budaya Kampoeng Polowijen adalah bagian dari event Bersih Desa Polowijen, desa asal Ken Dedes, yang dilakukan Minggu (3/9/2023) berjalan begitu meriah.
Lebih dari 75 peserta karnaval dari seluruh RT/RW se Kelurahan Polowijen tampil dengan berbagai tema dan penampilan selama enam jam telah menghebohkan warga di sekitar Jalan Cakalang.
Mengapa Budaya Kampoeng Polowijen harus dilestarikan? ternyata dari Polowijen yang kini berada di wilayah Kota Malang adalah desa asal Ken Dedes yang dulunya bernama Panawijen.
Ken Dedes adalah 'ibu' yang melahirkan keturunan raja-raja besar di tanah Jawa, nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit.
Melestarikan Budaya Kampoeng Polowijen adalah satu dari sekian banyak upaya untuk menguri-uri yang kini dilakukan generasi sekarang.
Pelaksanaanya begitu meriah. Dibawah terik matahari, para peserta seolah tak peduli dengan sengatan panas. Keringat bercucuran mulai dari kepala hingga menetes. Namun mereka tidak merasakan.
Salah satu peserta karnal dari Perumahan Blimbing Regency di Jl Cakalang, juga tampil dengan kreatifitas mereka.(FOTO C: Widodo Irianto/TIMES Indonesia)
Apalagi sifat karnaval kali ini dilombakan, maka tak ayal masing-masing RW mengerahkan RT-RTnya dengan segala kemampuannya untuk merebut kemenangannya.
Mulai dari tumpeng gunungan, tampilan anak-anak sekolah Paud, TK, SD, MI dan lainnya dinilai oleh tim juri. Mereka diharuskan menampilkan kreasi di hadapan juri di depan panggung selama 3 menit.
Inilah momen yang memang selayaknya selalu diperkenalkan kepada khalayak, khususnya masyarakat Polowijen agar semua tidak dengan mudah menghapus memori, bahwa sesungguhnya sejarah kebesaran Nusantara pernah dimulai dari Kerajaan Singosari, dari anak keturunan Ken Dedes.
Menurut Buku Pararaton tulisan Drs. R. Pitono Hardjowardojo, Polowijen adalah daerah asal Ken Dedes.
Polowijen yang berada di Kota Malang ini dulu bernama Panawidyan atau Panawijen.
Kampung Panawijen diketahui memang mempunyai potensi besar dan kekayaan sejarah panjang dan menjadi daerah yang menginspirasi bagi tumbuhnya peradaban besar di tanah Jawa.
Ken Dedes adalah selir dari Tunggul Ametung, pendiri Kerajaan Tumapel (Singhasari). Ia kemudian dianggap sebagai leluhur, 'ibu' yang melahirkan keturunan raja-raja besar di tanah Jawa nenek moyang wangsa Rajasa, trah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit.
Bahkan di tradisi lokal menyebutkan ia sebagai perempuan yang maharupa, perwujudan kecantikan yang sempurna. Ken Dedes juga disebut sebagai wanita Nareswari. Wanita Nareswari berarti wanita utama.
Hingga kini di wilayah Polowijen terdapat satu situs bernama Sumur Windu atau juga disebut dengan Petilasan Ken Dedes.
Selain situs Sumur Windu juga ada petilasan Joko Lulo yang dipercaya sebagai tempat “moksa” (menghilang) ketika pemuda dari Dinoyo yang bernama Joko Lulo itu tidak berhasil mempersunting Ken Dedes, karena diculik seorang Akuwu dari Tumapel bernama Tunggul Ametung melalui terowongan yang ditemukan di rumah warga Polowijen.
Ketiga situs itu juga telah ditetapkan oleh Direktorat Cagar Budaya sebagai situs Budaya di Polowijen. Cerita tentang Ken Dedes dan Joko Lulo ternyata juga ada kaitannya.
Suatu hari Ken Dedes didatangi seorang pemuda berwajah buruk namun sakti mandraguna yang bernama Joko Lulo dari Desa Dinoyo untuk melamar Ken Dedes dijadikan istri.
Awalnya, Ken Dedes menolaknya secara halus, namun ia masih mengeluarkan syarat halus, yakni agar dibuatkan sebuah sumur yang kedalamannya mencapai 1 windu (8 tahun) perjalanan.
Syarat yang berat itu diberikan Ken Dedes dengan harapan Joko Lulo tidak akan mampu melaksanakannya. Namun di luar dugaan, Joko Lulo ternyata pemuda pilih tanding dan mumpuni.
Dalam waktu singkat, Joko Lulo bisa menyelesaikan sumur yang disyaratkan oleh Ken Dedes dan dengan terpaksa ia menerima pinangan Joko Lulo.
Waktu pernikahan kemudian ditentukan. Keluarga Joko Lulo minta agar pertemuan pengantin dilaksanakan pada rentang waktu tengah malam dan tidak melebihi saat para perempuan menumbuk alu tanda hari sudah mulai pagi, dengan maksud agar Dedes tidak takut melihat wajah Joko Lulo yang buruk tersebut.
Saat hari H pernikahan, tengah malam dengan diiringi gamelan, entah darimana tiba-tiba terdengar suara tompo (tempat nasi terbuat dari bambu) dan lesung dibunyikan oleh para gadis Panawijen.
Sebagian juga ada yang membakar jerami di sebelah timur, akibatnya ayam-ayam menjadi berkokok bersahut-sahutan karena mengira hari sudah pagi.
Cahaya apinya pun mulai menerangi desa sehingga tampaklah wajah Joko Lulo yang buruk itu oleh Ken Dedes, yang membuatnya takut dan lari menceburkan dirinya ke dalam sumur windu buatan Joko Lulo.
Suasana pernikahan menjadi berantakan, para pengiring panik berhamburan dan gamelan porak-poranda, berubah menjadi batu.
Dalam kekacauan itu, Joko Lulo yang mengetahui Ken Dedes pergi kemudian mengutuk semua gadis Panawijen yang membunyikan tempat nasi, agar kelak menjadi perawan tua. Iapun lalu mengejar Ken Dedes masuk ke dalam Sumur Windu.
Kedua orang tua dari masing-masing mempelai yang merasa malu karena gagalnya pernikahan itu, lalu bersumpah jangan sampai ada lagi pertunangan dan perkawinan antara orang Dinoyo dan orang Panawijen.
Joko Lulo hilang tidak diketahui rimbanya. Namun Ken Dedes beberapa lama kemudian diketahui telah menjadi istri pembesar di Tumapel, yaitu Tunggul Ametung.
Sampai saat ini peninggalan berupa Sumur Windu dan Watu Kenong masih bisa dijumpai di daerah Polowijen, Lingkungan Watu Kenong, Kota Malang. Situs itu terletak di Jl. Cakalang Gg. Sumur Windu Kendedes, Polowijen.
Sayangnya hingga kini kisah itu tidak banyak diketahui masyarakat. Kelurahan Polowijen sebagai "penguasa" wilayah beserta situs-situsnya setiap tahun berusaha melestarikannya melalui Kirab Budaya Kampoeng Polowijen.. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Irfan Anshori |