TIMES MALANG, MALANG – Sebuah kafe di Malang menjadi saksi harmoni antara seni tradisional, budaya modern, dan semangat inklusi. Workshop Topeng Malangan x Kopi Cinta, yang digelar pada Sabtu, 14 Desember 2024, di Kafe Kogu, menghadirkan lebih dari sekadar acara seni.

Kegiatan Sekartaji 2024 ini adalah perayaan kreativitas dan penghormatan terhadap keberagaman manusia, sekaligus peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI).

Djoko Rendi dan penyandang disabilitas menyapa para peserta. (FOTO: Cheta Abrar/ TIMES Indonesia)

Diprakarsai oleh anak-anak magang di bawah bimbingan TIMES Indonesia, acara ini menyatukan dua elemen khas Kota Malang yakni Topeng Malangan yang sarat nilai budaya dan kopi sebagai simbol kehangatan serta keberanian, semuanya dikemas dalam suasana yang ramah dan inspiratif.

Dari Topeng ke Kehidupan: Filosofi yang Hidup

Sesi pembuka acara menghadirkan Djoki Rendi dari komunitas Topeng Malangan. Ia membawa para peserta menyelami filosofi mendalam di balik seni ukir topeng, yang tidak hanya mewakili budaya Malang tetapi juga nilai-nilai kehidupan.

"Setiap warna, bentuk, dan ukiran pada topeng punya cerita. Lewat topeng, kita belajar tentang keindahan keberagaman dan bagaimana setiap elemen saling melengkapi," ujar Djoki, yang juga menyoroti transformasi fungsi topeng dari ritual ke seni modern.

Komunitas Topeng Malangan bahkan telah melibatkan anak-anak penyandang disabilitas dalam proses kreatif mereka, membuktikan bahwa seni adalah bahasa universal yang dapat diakses oleh siapa saja.

Kopi Cinta: Saat Bahasa Isyarat Menyatukan Semua

Jika topeng membawa peserta menyelami masa lalu, sesi Kopi Cinta mengajak mereka menatap masa depan yang inklusif. Alif Muchti Ramadhan, seorang barista tuli, memimpin sesi berbagi tentang perjuangannya mendirikan komunitas kopi yang melibatkan penyandang disabilitas.

Bersama timnya, Alif menjalankan Resto Harmoni, tempat pelanggan memesan kopi dengan bahasa isyarat. Konsep ini tidak hanya menawarkan pengalaman unik tetapi juga edukasi sosial tentang pentingnya inklusi.

"Kami ingin menunjukkan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk berhenti berkarya. Lewat kopi, kami ingin mendekatkan masyarakat pada keberagaman," ujar Alif dengan bantuan penerjemah.

Kreativitas di Atas Kanvas Kayu

Puncak acara adalah sesi melukis Topeng Malangan, di mana peserta diberi kebebasan mengekspresikan diri dengan bantuan seniman lokal. Workshop ini menjadi simbol bahwa seni adalah ruang inklusif bagi siapa saja untuk berkreasi tanpa batas.

"Aku nggak nyangka bisa belajar banyak dalam satu acara. Dari filosofi topeng sampai inspirasi teman-teman disabilitas, semuanya terasa sangat berkesan," ujar Kania yang mengagumi momentum tersebut.

Workshop Topeng Malangan x Kopi Cinta tidak hanya menjadi panggung untuk merayakan budaya lokal, tetapi juga ruang untuk membangun empati dan kesadaran tentang inklusi sosial.

Acara ini berhasil menginspirasi peserta untuk melihat bahwa seni dan kreativitas bisa menjadi alat yang kuat dalam membangun komunitas yang lebih peduli dan inklusif. Melalui topeng dan kopi, mereka diajak mengenali potensi di balik keberagaman manusia.

"Kami ingin menunjukkan bahwa budaya lokal dan inklusi sosial bisa berjalan beriringan. Ini bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang bagaimana kita merangkul semua orang," ujar Djoki mengakhiri acara.

Di Malang, kopi dan topeng kini bukan hanya simbol tradisi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan kreativitas, keberagaman, dan harapan. (*)