TIMES MALANG, MALANG – Kota Malang selama ini dikenal sebagai “kota pendidikan”, sebuah identitas yang muncul dari keberadaan puluhan perguruan tinggi, ekosistem akademik yang hidup, dan ribuan mahasiswa yang datang setiap tahun untuk menuntut ilmu.
Di balik reputasi itu, ada ironi yang tidak bisa dibiarkan: tingginya angka pengangguran terdidik. Banyak lulusan S1 hingga diploma tidak terserap pasar kerja, bahkan sebagian terjebak pada pekerjaan serabutan yang tak sebanding dengan kompetensi mereka.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin sebuah kota pendidikan menghasilkan begitu banyak lulusan, tetapi gagal memastikan mereka mendapatkan pekerjaan yang layak?
Masalah ini bukan sekadar persoalan kualitas lulusan atau rendahnya daya saing individu. Lebih dalam lagi, ini adalah problem sistemik: pendidikan yang tidak terintegrasi dengan kebutuhan industri, dunia usaha, ekosistem UMKM, dan prioritas pembangunan kota.
Kota Malang selama bertahun-tahun membiarkan kesenjangan antara dunia kampus dan dunia kerja berjalan paralel tanpa jembatan yang kuat. Hasilnya dapat ditebak: kota yang penuh potensi, tetapi tidak terkelola secara strategis.
Di titik inilah konsep pendidikan terintegrasi menjadi jawaban. Kota pendidikan tidak cukup hanya memiliki kampus, tetapi harus membangun mekanisme yang menghubungkan kampus dengan realitas ekonomi.
Pendidikan terintegrasi berarti membangun ekosistem di mana pemerintah kota, perguruan tinggi, industri, dunia kreatif, dan komunitas lokal terhubung dalam satu tujuan bersama: menyiapkan lulusan yang relevan, adaptif, dan terserap. Tanpa integrasi, setiap institusi berjalan sendiri-sendiri, dan lulusan dibiarkan menjadi korban dari ketidaksinkronan tersebut.
Banyak negara dan kota dunia sudah membuktikan bahwa integrasi pendidikan adalah jalan tercepat untuk menekan pengangguran terdidik. Kota seperti Seoul, Tokyo, atau bahkan Singapura membangun jejaring permanen antara universitas dan industri. Mahasiswa tidak hanya belajar teori, tetapi terlibat dalam proyek riset industri, magang strategis, hingga inkubasi bisnis yang serius.
Pemerintah daerah tidak menjadi penonton, tetapi aktor yang menyiapkan regulasi, pendanaan, dan fasilitas agar kolaborasi itu tumbuh. Hasilnya jelas: tingkat terserapnya lulusan tinggi, daya saing kota meningkat, dan ekonomi lokal bergerak dinamis.
Malang sebenarnya punya modal yang sangat kuat. Ada universitas besar seperti UB, UM, UIN, ITN, Unisma, serta puluhan kampus lain yang memiliki fakultas dan jurusan strategis. Kota ini juga memiliki ekosistem kreatif yang hidup: komunitas digital, startup lokal, pelaku seni, industri kuliner, hingga UMKM yang tersebar. Di sisi lain, kebutuhan industri dan usaha kecil menengah terus berkembang dari tahun ke tahun.
Ironinya, semua potensi itu belum dirangkai dalam satu rangkaian ekosistem yang solid. Kampus terlalu sibuk dengan agenda internal, industri tidak memiliki ruang komunikasi yang jelas, pemerintah tidak memiliki platform bersama yang permanen, dan mahasiswa belajar tanpa peta jalan karier yang konkret.
Pendidikan terintegrasi mengubah cara pandang itu. Pemerintah kota dapat menjadi conductor yang memastikan semua pihak berjalan dalam irama yang sama. Kolaborasi tidak boleh bersifat seremonial, tetapi harus dibangun dalam sistem yang jelas: forum tetap kampus–industri, kurikulum fleksibel yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja, pusat karir kota yang menghubungkan semua kampus, hingga jejaring magang terpadu yang memberi pengalaman nyata bagi mahasiswa sebelum lulus. Langkah-langkah ini bukan mustahil, hanya membutuhkan kemauan politik dan visi jangka panjang.
Kota Malang juga bisa memperkuat pendidikan terintegrasi melalui pengembangan kawasan inovasi misalnya innovation district atau creative research hub yang mempertemukan dosen, mahasiswa, startup, dan industri dalam ruang yang sama.
Di kota pendidikan yang matang, lulusan tidak sekadar mencari pekerjaan, tetapi menghasilkan pekerjaan. Inkubasi bisnis yang terhubung dengan dunia usaha dapat menciptakan wirausahawan muda yang menyerap tenaga kerja lokal. Di titik inilah pendidikan terintegrasi bukan hanya solusi untuk pengangguran, tetapi motor pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun integrasi pendidikan tidak akan berarti apa-apa jika mentalitas aktor-aktornya tidak berubah. Kampus harus meninggalkan pola lama yang hanya memproduksi ijazah tanpa strategi penyerapan lulusan. Industri harus melihat mahasiswa bukan sebagai beban magang, tetapi sebagai calon tenaga inovatif.
Pemerintah harus berani mengurangi birokrasi yang menghambat kolaborasi dan menyediakan fasilitas yang konsisten. Dan mahasiswa harus menyadari bahwa dunia kerja menuntut agility, bukan sekadar nilai akademik.
Jika pendidikan terintegrasi dijalankan secara serius, Kota Malang dapat menjadi model nasional. Identitas sebagai kota pendidikan tidak akan berhenti pada slogan, tetapi menjadi pusat penciptaan tenaga kerja unggul dan wirausahawan muda yang siap bersaing. Pengangguran terdidik bukan takdir; ia adalah produk dari ketidaksambungan sistem yang bisa diperbaiki.
Masa depan Malang akan jauh lebih cerah ketika kampus, industri, pemerintah, dan masyarakat bergerak bersama dalam satu ekosistem pendidikan yang terpadu. Sebab kota pendidikan yang sesungguhnya bukan kota yang memproduksi lulusan, tetapi kota yang memastikan setiap lulusan punya masa depan.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |