https://malang.times.co.id/
Opini

RKUHAP dan Jarak Suara Rakyat dan Kursi Kekuasaan

Kamis, 20 November 2025 - 19:07
RKUHAP dan Jarak Suara Rakyat dan Kursi Kekuasaan Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) membuka kembali perdebatan lama tentang seberapa jauh para wakil rakyat benar-benar mewakili suara publik. Di satu sisi, masyarakat sipil dari akademisi, pegiat HAM, organisasi bantuan hukum, hingga mahasiswa secara konsisten menolak sejumlah pasal yang dinilai mengancam prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan warga negara. 

Di sisi lain, para anggota dewan yang duduk di Senayan justru memilih untuk mengetuk palu, menerima, dan akhirnya mengesahkan rancangan tersebut. Di titik inilah polemik meruncing: apakah wakil rakyat mendengarkan suara rakyat, atau justru hanya mendengarkan gema dari ruang-ruang kekuasaan?

Penolakan masyarakat bukan tanpa alasan. Kritik utama muncul karena sejumlah ketentuan dianggap membuka ruang masuknya penyalahgunaan kewenangan dalam proses penegakan hukum. 

Ada kekhawatiran bahwa beberapa pasal dapat memperkuat posisi aparat tanpa disertai mekanisme kontrol yang memadai. Selain itu, sebagian aturan dinilai membatasi partisipasi publik, melemahkan prinsip praduga tak bersalah, serta mengurangi akuntabilitas dalam proses penyidikan. 

Masyarakat sipil melihat RKUHAP bukan sekadar revisi teknis, melainkan pergeseran orientasi: dari hukum yang melindungi warga negara, menjadi hukum yang memperluas kekuasaan negara. Karena itu, tuntutan yang mengemuka sederhana: tidak perlu revisi yang justru mengundurkan langkah demokrasi.

Namun suara publik itu seperti tercekik oleh hiruk-pikuk politik di gedung parlemen. Para legislator berdalih bahwa revisi KUHAP diperlukan untuk menyesuaikan hukum acara pidana dengan perkembangan zaman, modernisasi teknologi penegakan hukum, serta harmonisasi dengan peraturan lainnya. 

Narasi yang dipakai sangat rapi: pembaruan hukum. Tetapi publik membaca hal lain di balik argumen itu. Pembaruan memang penting, tetapi apakah pembaruan itu benar-benar diarahkan untuk memperkuat hak warga atau hanya menguntungkan sebagian institusi negara?

Di sinilah tampak celah lebar antara dua dunia: dunia aspirasi rakyat dan dunia kalkulasi politik. Ketika masyarakat menyampaikan kekhawatiran melalui forum akademik, diskusi publik, hingga aksi demonstrasi, respons legislator justru terasa datar. Tidak ada perubahan signifikan dalam substansi pasal, tidak ada ruang deliberasi yang benar-benar bermakna, dan tidak ada penjelasan komprehensif yang mampu meredakan kecemasan publik. 

Dalam sistem demokrasi yang sehat, polemik seperti ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi pembuat undang-undang untuk memperluas dialog dan memperbaiki rancangan. Namun yang terjadi justru sebaliknya: proses berjalan cepat, rapat digelar tanpa ruang refleksi panjang, dan keputusan diambil tanpa terasa ada jeda untuk mendengarkan.

Masalahnya, ketika legislator mengabaikan suara publik, mereka tidak hanya membuat jarak antara rakyat dan wakilnya, tetapi juga merusak kepercayaan pada sistem hukum itu sendiri. Undang-undang adalah instrumen yang mengikat seluruh warga negara. Ia bukan milik parlemen, bukan milik pemerintah, tetapi milik publik. 

Karena itu, perubahan atau revisi apapun harus melalui mekanisme partisipasi yang setara dan transparan. Ketika publik merasa suaranya tidak dihiraukan, dampaknya tidak hanya muncul dalam bentuk protes sesaat, tetapi dalam bentuk erosi kepercayaan jangka panjang terhadap negara.

Pengesahan RKUHAP juga mengajarkan sesuatu yang penting: kualitas demokrasi dinilai dari seberapa besar ruang yang diberikan kepada warga untuk mempertanyakan kekuasaan. Jika masyarakat yang menyampaikan kritik dianggap sebagai penghambat, bukan sebagai mitra perumusan kebijakan, maka demokrasi berada di tepi jalan licin. 

RKUHAP, mau tidak mau, menjadi cermin betapa kultur politik kita masih menempatkan partisipasi publik sebagai formalitas diundang, didengar sebentar, tetapi tidak diinternalisasi dalam keputusan.

Padahal Indonesia punya kesempatan untuk menunjukkan kedewasaan politik. Revisi undang-undang tidak harus menimbulkan konflik berkepanjangan. Harmonisasi hukum tidak harus meminggirkan suara rakyat. 

Legislasi yang baik adalah legislasi yang mampu memadukan kebutuhan negara dan aspirasi warga. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk membuka ruang dialog yang jujur, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.

Ketika masyarakat menolak revisi dan wakil rakyat justru mengesahkannya, pertanyaan kritis pun muncul: siapa sebenarnya yang mereka wakili? Pengesahan RKUHAP bukan sekadar persoalan hukum acara pidana. Ia adalah pengingat bahwa relasi antara rakyat dan wakilnya sedang tidak baik-baik saja. Dan demokrasi hanya bisa diselamatkan jika suara publik kembali ditempatkan sebagai fondasi, bukan gangguan dalam proses pengambilan keputusan.

***

*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.