TIMES MALANG, MALANG – Pembangunan daerah hari ini berada pada persimpangan penting. Pemerintah daerah didorong untuk semakin inovatif, tetapi pada saat yang sama dihadapkan pada keterbatasan anggaran, SDM, dan infrastruktur.
Dalam situasi seperti ini, ada satu strategi yang paling realistis namun sering dipandang sebelah mata: kemitraan. Di banyak negara maju, kemitraan bukan sekadar program tambahan, melainkan fondasi utama dalam menumbuhkan ekonomi daerah.
Di Indonesia, konsep ini baru mendapat panggung, tetapi belum benar-benar menjadi DNA dalam tata kelola pemerintahan. Padahal, daerah yang berani membuka diri terhadap kemitraan adalah daerah yang memiliki peluang terbesar untuk tumbuh cepat, stabil, dan inklusif.
Kemitraan bukan hanya persoalan kerja sama antara pemerintah dan swasta. Lebih dari itu, kemitraan adalah ekosistem kolaborasi yang melibatkan berbagai aktor: pemerintah daerah, dunia usaha, perguruan tinggi, komunitas, hingga kelompok kreatif anak muda.
Di era di mana kompleksitas masalah semakin meningkat mulai dari kemiskinan struktural, ketimpangan pendidikan, layanan publik yang belum optimal, hingga pengangguran terselubung pemerintah daerah mustahil bekerja sendirian.
Ketika pemerintah daerah tetap bersikeras ingin mengerjakan semua hal sendiri, pembangunan menjadi lamban, mahal, dan sering kali tidak tepat sasaran. Sebaliknya, ketika daerah membuka pintu kemitraan, mesin pembangunan menjadi lebih kaya gagasan, lebih efisien, dan lebih mudah dieksekusi.
Realitas lapangan menunjukkan bahwa daerah yang stagnan biasanya memiliki pola serupa: minim kolaborasi, birokrasi kaku, dan hubungan pemerintah warga yang masih bersifat satu arah. Di banyak desa dan kota kecil, misalnya, potensi ekonomi kreatif melimpah, tetapi tidak bertumbuh karena pemerintah tidak menghubungkannya dengan pelaku industri atau lembaga pembiayaan.
Sektor pertanian sering mandek bukan karena petani tidak mau berubah, tetapi karena tidak ada mitra teknologi atau perguruan tinggi yang menjembatani inovasi. Hal serupa terjadi pada sektor pariwisata. Banyak daerah punya alam indah, tetapi gagal menjadi destinasi karena tidak ada kolaborasi dengan komunitas kreatif, pelaku UMKM, dan investor yang memberi nilai tambah. Kemitraan yang absen melahirkan potensi yang mati muda.
Sementara itu, daerah-daerah yang melesat cepat memperlihatkan pola berbeda. Lihat bagaimana Banyuwangi dalam satu dekade tumbuh menjadi laboratorium inovasi. Pemerintah daerah tidak memonopoli pembangunan, tetapi menggandeng kampus, komunitas digital, pelaku wisata, dan pelaku usaha untuk menciptakan ekosistem yang dinamis. Hasilnya bukan hanya pertumbuhan ekonomi, tetapi rasa percaya diri kolektif bahwa suatu daerah bisa bangkit jika semua pihak terlibat.
Demikian pula Kota Malang, Bandung, dan Makassar dalam berbagai periodenya semuanya berdiri di atas pondasi kemitraan. Di sini kita belajar satu hal: ketika pemimpin daerah melihat warga sebagai mitra, bukan objek, maka pembangunan menjadi lebih hidup dan partisipatif.
Kemitraan menjadi semakin penting karena model pembangunan dunia telah berubah. Pendekatan top-down yang terlalu birokratis terbukti lambat dan tidak cocok dengan tantangan zaman. Masalah modern seperti digitalisasi layanan publik, disrupsi lapangan kerja, serta penguatan UMKM membutuhkan kombinasi keahlian teknis, inovasi bisnis, dan pemikiran strategis yang tidak bisa dimiliki hanya oleh pemerintah.
Perguruan tinggi dapat menjadi mitra riset dan pengembangan data. Dunia usaha menyediakan investasi dan teknologi. Komunitas lokal menyediakan pengetahuan sosial budaya yang sangat dibutuhkan untuk implementasi kebijakan. Ketika semua ini bertemu dalam bentuk kemitraan, pembangunan daerah memiliki fondasi kokoh untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Namun kemitraan bukan sekadar membangun relasi; ia membutuhkan tata kelola yang sehat. Pemerintah daerah harus berani melakukan perubahan: transparansi dalam perencanaan, keterbukaan data bagi mitra, dan keberanian menyelaraskan regulasi agar tidak mematahkan inisiatif warga.
Banyak daerah sebenarnya memiliki mitra potensial, tetapi terhambat oleh komunikasi yang buruk, prosedur yang berbelit, dan pola pikir birokrasi lama yang masih alergi terhadap inovasi. Inilah yang harus dibongkar. Sebab kemitraan tidak akan pernah tumbuh dalam kultur birokrasi yang tertutup.
Di sisi lain, peran dunia usaha dan komunitas juga tidak boleh sekadar mencari keuntungan sepihak. Kemitraan yang sehat menuntut prinsip saling menguatkan. UMKM, misalnya, tidak hanya membutuhkan modal, tetapi juga pendampingan dan pemasaran digital. Perguruan tinggi tidak cukup memberikan pelatihan, tetapi wajib membangun ruang riset yang relevan dengan kebutuhan lokal.
Komunitas kreatif juga harus memastikan inovasinya bisa membantu layanan publik atau pemberdayaan warga. Bila semua pihak menempatkan diri sebagai pemecah masalah, bukan pengejar keuntungan semata, maka kemitraan dapat menjadi motor pembangunan jangka panjang.
Pembangunan berbasis kemitraan juga memiliki efek berantai yang kuat. Ketika pemerintah bekerjasama dengan perguruan tinggi dalam mengembangkan teknologi pertanian, misalnya, hasilnya tidak berhenti pada peningkatan produktivitas. Ia menjangkau kesejahteraan petani, membuka lapangan kerja baru, dan menggerakkan ekonomi lokal.
Ketika pemerintah membangun kemitraan dengan anak muda melalui program inkubasi bisnis, daerah tidak hanya mendapat wirausahawan baru, tetapi juga inovasi yang bisa mengubah wajah layanan publik. Kemitraan adalah investasi sosial yang memberi manfaat ekonomi; investasi ekonomi yang memberi manfaat sosial.
Daerah yang tumbuh bukanlah daerah yang merasa bisa melakukan semuanya sendiri, tetapi yang mampu membangun jembatan dengan siapa pun yang ingin bergerak bersama. Pembangunan tanpa kemitraan hanyalah pembangunan yang berjalan oleh satu pihak dan berhenti ketika sumber daya habis.
Pembangunan berbasis kemitraan adalah pembangunan yang berkelanjutan, kuat, dan penuh partisipasi. Karena itu, jika daerah ingin menjadi jawaban solutif bagi kesejahteraan warganya, tidak ada pilihan lain selain menjadikan kemitraan sebagai strategi utama, bukan pelengkap. Sebab masa depan daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar anggaran, tetapi oleh seberapa luas ia membuka diri untuk berjalan bersama.
***
*) Oleh : Mahsun Arifandy, Mahasiswa Magister Psikologi, UMM.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |