TIMES MALANG, MALANG – Pendidikan Indonesia seolah hidup dalam ketidakpastian abadi. Hampir setiap pergantian menteri, kurikulum berganti rupa. Dari Kurikulum 1994, KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka, semua datang dengan jargon besar, lalu hilang sebelum sempat benar-benar membuahkan hasil.
Murid dan guru seperti kelinci percobaan, dipaksa menyesuaikan diri dengan aturan baru tanpa sempat merasakan manfaat dari aturan lama.
Ketidakstabilan kebijakan kurikulum menciptakan trauma kolektif di ruang-ruang kelas. Guru lelah karena harus terus menyesuaikan perangkat ajar, siswa bingung dengan pola evaluasi yang berubah, sementara orang tua hanya bisa mengeluh melihat anaknya terombang-ambing oleh sistem.
Lebih menyedihkan lagi, pergantian kurikulum seringkali tidak dilandasi evaluasi komprehensif, melainkan sekadar ambisi politik dan pencitraan pejabat. Akibatnya, kurikulum lebih sering jadi panggung retorika ketimbang instrumen pendidikan.
Kurikulum seharusnya menjadi peta jalan pendidikan jangka panjang. Ia harus dirancang dengan fondasi kuat, berbasis riset, dan konsisten diterapkan minimal satu generasi.
Sayangnya, di Indonesia, kurikulum justru menjadi arena eksperimen lima tahunan. Saat ganti pejabat, ganti pula orientasi. Tidak heran jika hasil belajar siswa stagnan, bahkan menurun di tingkat internasional.
PISA 2022 misalnya, menunjukkan capaian literasi dan numerasi anak Indonesia masih jauh di bawah rata-rata OECD. Bukankah ini alarm keras bahwa kebijakan kita salah arah?
Ketidakstabilan kurikulum juga menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintah. Guru merasa terjebak dalam rutinitas administratif yang sia-sia. Mereka dipaksa mengikuti pelatihan singkat setiap kali kurikulum berubah, padahal yang dibutuhkan adalah pendampingan mendalam.
Sementara itu, siswa kehilangan konsistensi dalam pembelajaran. Bagaimana mungkin mereka fokus belajar jika setiap beberapa tahun cara belajar dan cara diuji selalu berbeda?
Lebih jauh, kebijakan kurikulum yang tak stabil memperlebar jurang ketimpangan. Sekolah di kota besar dengan fasilitas lengkap mungkin bisa cepat beradaptasi. Tapi sekolah di pelosok dengan sumber daya minim akan semakin tertinggal.
Ketika Kurikulum Merdeka misalnya, mendorong proyek berbasis teknologi, sekolah di daerah 3T hanya bisa gigit jari karena akses internet pun masih jadi kemewahan. Akhirnya, yang dimaksud merdeka belajar hanya benar-benar dinikmati sebagian kecil siswa di perkotaan.
Kita butuh keberanian untuk menghentikan siklus ini. Kurikulum harus diperlakukan sebagai konsensus nasional, bukan proyek rezim. Negara-negara maju menjaga kurikulumnya stabil puluhan tahun, hanya melakukan revisi kecil sesuai perkembangan zaman.
Finlandia misalnya, baru memperbarui kurikulum setelah melalui riset panjang, diskusi publik luas, dan uji coba bertahap. Sementara di Indonesia, kurikulum lahir lebih cepat daripada evaluasinya. Akibatnya, guru tidak pernah benar-benar siap, siswa tidak pernah benar-benar merasakan manfaat.
Masalah lain adalah kecenderungan kebijakan kurikulum terlalu normatif dan seragam. Indonesia adalah negara besar dengan keragaman budaya, bahasa, dan kondisi sosial.
Seharusnya kurikulum memberi ruang adaptasi yang luas, bukan menjejalkan standar kaku yang sama untuk semua. Inovasi pendidikan di daerah sering terhambat karena harus menyesuaikan diri dengan aturan pusat yang tidak peka terhadap konteks lokal.
Kritik terhadap kurikulum bukan berarti menolak perubahan. Perubahan itu perlu, tapi perubahan harus terencana, bertahap, dan konsisten. Perubahan yang terus-menerus justru membuat sistem pendidikan kehilangan arah.
Kurikulum ibarat kapal besar. Ia harus stabil, meskipun boleh menyesuaikan layar dengan arah angin. Jika setiap nakhoda gonta-ganti haluan, kapal tidak akan pernah sampai ke tujuan.
Dalam situasi ini, guru menjadi korban sekaligus penentu. Mereka dipaksa menyesuaikan, tapi juga dituntut menghasilkan generasi unggul. Beban ini jelas tidak adil.
Guru seharusnya diberi kesempatan untuk mendalami satu kurikulum secara konsisten. Mereka butuh ruang bereksperimen, waktu untuk refleksi, dan dukungan berkelanjutan, bukan hanya pelatihan instan yang sifatnya formalitas.
Kurikulum yang baik seharusnya tidak hanya menjawab kebutuhan pasar tenaga kerja, tetapi juga menumbuhkan karakter, kreativitas, dan daya kritis. Sayangnya, orientasi kebijakan kita masih sempit, sering kali sekadar mengejar angka-angka ujian.
Padahal, tantangan masa depan jauh lebih kompleks: krisis iklim, revolusi digital, hingga polarisasi sosial. Tanpa kurikulum yang stabil dan visioner, anak-anak Indonesia akan selalu tertinggal dalam menghadapi tantangan global.
Kini saatnya pemerintah menghentikan siklus ganti kurikulum tanpa arah. Pendidikan harus dilihat sebagai investasi jangka panjang, bukan proyek politik jangka pendek. Dibutuhkan komitmen nasional lintas rezim, sehingga siapapun menterinya, kurikulum tetap berjalan konsisten.
Hanya dengan cara itu, guru bisa fokus mendidik, siswa bisa belajar dengan tenang, dan orang tua bisa percaya bahwa anak-anaknya mendapat pendidikan yang layak.
Kurikulum yang stabil adalah pondasi dari bangsa yang maju. Tanpa itu, kita hanya akan terus berputar dalam lingkaran ketidakpastian, melahirkan generasi yang lelah karena dipaksa menyesuaikan diri dengan kebijakan yang tak pernah tenang.
Jika ingin benar-benar menuju Indonesia Emas, maka langkah pertama adalah menenangkan kurikulum. Sebab pendidikan sejati hanya bisa tumbuh dalam konsistensi, bukan kegaduhan kebijakan.
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |