TIMES MALANG, MALANG – Dunia digital telah mengubah cara manusia berinteraksi, bekerja, bahkan membangun identitas sosial. Salah satu aktor penting dalam dinamika ini adalah para influencer, figur publik yang mampu memengaruhi opini, gaya hidup, bahkan perilaku konsumsi masyarakat melalui konten di media sosial.
Kehadiran mereka tidak bisa dianggap sebelah mata, sebab di era ketika informasi lebih cepat tersebar dibanding cahaya lampu kota, suara influencer dapat lebih kuat dari orasi politikus atau pidato akademisi.
Fenomena ini bermula dari pergeseran pola komunikasi masyarakat. Jika dahulu informasi bersumber dari media arus utama seperti televisi, radio, dan surat kabar, kini media sosial menjadi ruang utama pertukaran gagasan.
Di ruang inilah influencer hadir dengan wajah segar, gaya komunikasi yang cair, serta pendekatan personal yang membuat audiens merasa dekat. Mereka tidak hanya menampilkan informasi, melainkan membungkusnya dengan narasi, emosi, dan persona yang seolah-olah bersahabat dengan pengikutnya. Inilah yang membuat daya pengaruh mereka begitu kuat.
Influencer memiliki kemampuan menjembatani antara produsen konten dengan audiens. Dalam konteks pemasaran, mereka menjadi medium baru yang lebih efektif dibanding iklan konvensional. Data berbagai riset menunjukkan, rekomendasi influencer dianggap lebih kredibel dibanding promosi perusahaan yang sering kali dinilai “terlalu menjual.”
Mengapa demikian? Karena influencer membangun kepercayaan lewat kedekatan emosional. Setiap unggahan bukan sekadar pesan, tetapi juga pengalaman personal yang dikisahkan, sehingga lebih mudah diterima.
Namun, pengaruh influencer tidak berhenti pada ranah konsumsi. Mereka juga masuk ke ruang diskursus sosial, politik, hingga budaya. Beberapa isu besar di Indonesia, misalnya gerakan sosial yang melibatkan solidaritas netizen, tidak lepas dari dorongan influencer.
Ketika seorang figur dengan jutaan pengikut menyuarakan masalah lingkungan, pendidikan, atau bahkan ketidakadilan, resonansi yang muncul bisa mengalahkan kampanye formal dari lembaga besar. Hal ini menunjukkan betapa besar kuasa algoritma yang bekerja bersama otoritas personal seorang influencer.
Meski begitu, tidak semua pengaruh influencer memberi dampak positif. Ada sisi gelap yang patut diwaspadai. Misalnya, praktik penyebaran hoaks atau misinformasi yang dilakukan oleh akun-akun dengan jumlah pengikut besar. Karena dianggap kredibel oleh penggemarnya, informasi yang salah pun bisa cepat viral.
Inilah paradoks dunia digital: semakin banyak pengikut seseorang, semakin besar pula tanggung jawab moral yang harus diemban. Sayangnya, tidak semua influencer menyadari hal ini. Sebagian justru memanfaatkan atensi demi kepentingan pribadi, komersial, atau bahkan politik jangka pendek.
Kritik terhadap influencer juga muncul dalam soal gaya hidup yang mereka tampilkan. Budaya pamer kekayaan, konsumsi barang mewah, atau standar kecantikan tertentu sering kali menimbulkan dampak psikologis bagi audiens, terutama generasi muda.
Alih-alih termotivasi, banyak anak muda justru terjebak dalam perasaan rendah diri atau tekanan sosial karena merasa tidak mampu menyaingi kehidupan “sempurna” yang ditampilkan influencer. Fenomena inilah yang memicu istilah fear of missing out (FOMO) di kalangan digital natives.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi pengaruh influencer dalam penyebaran konten? Pertama, masyarakat perlu membangun literasi digital yang kuat. Audiens tidak boleh menelan mentah-mentah setiap informasi yang datang dari figur populer.
Perlu ada kesadaran kritis bahwa tidak semua konten influencer murni, sebagian di antaranya hasil kerja sama komersial yang tentu saja bertujuan meraih keuntungan. Dengan begitu, publik bisa menempatkan diri sebagai konsumen informasi yang bijak, bukan sekadar pengikut yang pasif.
Kedua, para influencer sendiri mesti mengembangkan etika dalam memproduksi konten. Menjadi figur publik berarti memikul tanggung jawab moral, sebab setiap kata dan gambar bisa berdampak luas.
Seharusnya ada kesadaran bahwa popularitas bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga bisa dimanfaatkan bagi kepentingan sosial. Influencer yang membicarakan isu kesehatan, lingkungan, pendidikan, atau literasi, misalnya, bisa berkontribusi nyata dalam pembangunan bangsa.
Ketiga, pemerintah dan lembaga terkait perlu menata ekosistem digital dengan regulasi yang jelas. Bukan dalam rangka membatasi kebebasan berekspresi, tetapi untuk memastikan bahwa ruang digital tetap sehat, aman, dan produktif.
Regulasi yang mengatur iklan terselubung, penyebaran hoaks, serta perlindungan data pribadi menjadi mutlak diperlukan. Di titik ini, influencer bukan musuh yang harus dicurigai, melainkan mitra strategis yang bisa dilibatkan dalam program-program edukasi publik.
Dalam perspektif yang lebih luas, keberadaan influencer adalah representasi dari perubahan struktur komunikasi masyarakat modern. Mereka lahir karena adanya kebutuhan akan figur yang dianggap autentik, dekat, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Selama influencer mampu menjaga integritas, konten yang disebarkan bisa menjadi alat untuk memperkuat solidaritas sosial dan membangun kesadaran kolektif. Sebaliknya, jika integritas itu hilang, maka yang tersisa hanyalah polusi informasi yang membingungkan publik.
Kita perlu menyadari bahwa pengaruh influencer di dunia digital adalah realitas yang tidak bisa dihindari. Mereka bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor utama dalam pertarungan wacana kontemporer.
Pertanyaannya bukan lagi apakah influencer berpengaruh, melainkan bagaimana pengaruh itu diarahkan: untuk kepentingan sesaat, atau untuk membangun masyarakat yang lebih kritis, sehat, dan berdaya.
***
*) Oleh: Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |