https://malang.times.co.id/
Opini

Pendidikan Mitigasi Bencana di Sekolah

Jumat, 12 Desember 2025 - 21:21
Pendidikan Mitigasi Bencana di Sekolah Hilmia Wardani, M.Pd., Chief of TEXIN Thursina IIBS Malang.

TIMES MALANG, MALANG – Indonesia kembali diuji. Menjelang akhir 2025, berbagai wilayah terdampak banjir dan tanah longsor mulai dari Aceh, Sumatra Barat, hingga Sumatra Utara meninggalkan duka yang dalam. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana per 12 Desember 2025 mencatat 990 korban meninggal, 218 orang dinyatakan hilang, serta lebih dari 5.400 warga mengalami luka-luka. 

Di tengah curah hujan yang semakin tak menentu, kecemasan publik pun kian terasa. Setiap orang seperti memendam pertanyaan yang sama: apakah kita benar-benar siap menghadapi bencana berikutnya?

Jawaban jujurnya, banyak sekolah dan masyarakat kita belum siap. Padahal satuan pendidikan adalah tempat berkumpulnya jutaan anak kelompok yang paling rentan saat bencana terjadi. 

Mereka belajar matematika, bahasa, dan sains setiap hari, tetapi tidak diajari bagaimana menyelamatkan diri ketika gempa mengguncang, ketika banjir datang mendadak, atau ketika sirene peringatan tsunami berbunyi. Di titik inilah urgensi pendidikan mitigasi bencana menjadi sangat nyata.

Sebenarnya negara sudah memiliki kerangka kebijakan yang progresif. Pemerintah melalui Permendikbud Nomor 33 Tahun 2019 menetapkan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Tujuan SPAB jelas: meningkatkan kapasitas warga sekolah dalam menanggulangi risiko bencana, memastikan sarana prasarana aman, dan memberi perlindungan bagi seluruh civitas akademika. Namun, seperti banyak kebijakan lain, pertanyaan pentingnya bukan pada apa yang tertulis, melainkan bagaimana implementasinya?

Pertama-tama, sekolah perlu mulai dari langkah yang paling mendasar: melakukan praanalisis risiko. Setiap wilayah memiliki karakter ancaman yang berbeda. Di pesisir, ancamannya tsunami, banjir rob, dan gempa. Di daerah pegunungan, ancaman tanah longsor dan letusan gunung berapi lebih nyata. 

Sementara kota besar rawan banjir, gempa, dan kebakaran. Analisis risiko ini harus melibatkan siswa sejak awal. Selain menumbuhkan sense of belonging terhadap lingkungannya, mereka juga belajar mengenali potensi bahaya di sekitar tempat tinggalnya. Tidak sedikit siswa pendatang yang bahkan tidak tahu bahwa rumah kontrakannya berada di zona merah longsor atau dekat aliran sungai rawan banjir.

Kedua, sekolah harus memiliki prosedur evakuasi yang dipahami semua warga sekolah bukan hanya ditempel sebagai poster yang usang di dinding. Prosedur evakuasi mencakup tahap pra-evakuasi, evakuasi, dan pasca-evakuasi. 

Tahap pra-evakuasi adalah kunci. Kepala sekolah harus mampu mengambil keputusan cepat berdasarkan situasi lapangan, kemudian menginformasikan secara jelas dan terstruktur kepada seluruh civitas akademika. 

Dalam tahap evakuasi, simulasi menjadi media pembelajaran yang efektif. Latihan drop, cover, and hold on untuk gempa, simulasi evakuasi kebakaran menuju titik kumpul, hingga skenario banjir harus dilakukan secara berkala. Pasca-evakuasi tidak kalah penting: pengecekan kondisi fisik, pendataan jumlah siswa, laporan kerusakan, sekaligus dukungan psikologis agar siswa tidak mengalami trauma berkepanjangan.

Ketiga, kesiapan fisik dan fasilitas sekolah tidak bisa diabaikan. Banyak sekolah di Indonesia masih tidak memiliki rambu jalur evakuasi, alat pemadam api ringan (APAR), atau titik kumpul aman. Bahkan P3K dasar pun sering kali tidak lengkap. Untuk daerah pesisir, keberadaan pelampung dan perahu karet seharusnya menjadi perlengkapan standar. 

Kita tidak bisa lagi berpikir bahwa fasilitas-fasilitas tersebut adalah pelengkap. Bagi sekolah yang berada di kawasan rawan bencana, fasilitas ini adalah kebutuhan dasar seperti halnya papan tulis atau meja belajar.

Keempat, keberadaan Tim Satgas Bencana di sekolah menjadi ruang kolaborasi yang strategis. Tim ini idealnya terdiri dari guru dan siswa yang telah mendapatkan pelatihan khusus. Mereka bukan hanya bertugas saat bencana terjadi, tetapi juga menjadi motor penggerak edukasi mitigasi di lingkungan sekolah. 

Kehadiran siswa dalam tim ini memberikan banyak manfaat: mereka bisa menjadi role model bagi teman-temannya sekaligus menjadi komunikator yang efektif saat proses evakuasi. 

Melibatkan siswa dalam satgas juga menanamkan nilai kepemimpinan dan kepedulian sosial sejak dini nilai yang sangat penting untuk membangun resiliensi generasi masa depan.

Namun, yang juga perlu disorot adalah budaya kita dalam memandang bencana. Selama ini, banyak orang masih melihat bencana sebagai takdir semata. Padahal, mitigasi bukan soal menolak takdir, melainkan ikhtiar menjaga kehidupan. 

Jepang misalnya, menjadi negara dengan tingkat kesiapsiagaan terbaik bukan karena bebas bencana, tetapi karena masyarakatnya hidup berdampingan dengan ancaman gempa dan tsunami setiap hari. Mereka sadar bahwa keselamatan adalah pengetahuan, bukan keberuntungan.

Indonesia pun bisa menuju ke arah yang sama. Tapi pendidikan mitigasi bencana tidak boleh lagi dianggap program sampingan atau kegiatan seremoni. Ia harus masuk ke dalam denyut utama pendidikan nasional. 

Sekolah perlu memasukkan pendidikan kebencanaan dalam kurikulum intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Guru perlu dibekali modul dan pelatihan yang memadai. Pemerintah daerah harus menjadi ujung tombak koordinasi dengan BPBD, puskesmas, hingga relawan lokal.

Bencana mungkin tidak dapat dihindari, tetapi dampaknya bisa diminimalkan. Yang paling berbahaya bukanlah gempa atau banjir itu sendiri, tetapi ketidaksiapan kita menghadapinya. Mengabaikan mitigasi sama halnya dengan membiarkan anak-anak kita berjalan tanpa kompas di tengah badai.

Inilah saatnya sekolah menjadi ruang pertama yang mengajarkan keberanian, ketenangan, dan kesiapan menghadapi situasi darurat. Pendidikan mitigasi bencana adalah investasi keselamatan, dan seperti semua investasi penting lainnya, semakin ditunda semakin besar risikonya.

***

*) Oleh : Hilmia Wardani, M.Pd., Chief of TEXIN Thursina IIBS Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.