https://malang.times.co.id/
Opini

Reformasi Polri dan Janji yang Belum Usai

Kamis, 13 November 2025 - 20:36
Reformasi Polri dan Janji yang Belum Usai Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

TIMES MALANG, MALANG – Reformasi Polri selalu menjadi tema besar yang seolah tak pernah tuntas dibicarakan. Dua dekade sudah berlalu sejak pemisahan Polri dari TNI melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tetapi tuntutan publik terhadap perubahan karakter, profesionalitas, dan integritas institusi kepolisian masih menguat. 

Dalam banyak hal, reformasi yang diharapkan belum menjelma menjadi kenyataan yang dirasakan di jalanan, di kantor pelayanan, atau di ruang penyidikan. Di tengah sorotan publik yang kian tajam, pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto pada awal November 2025 menjadi momentum baru yang menggugah. 

Di saat yang hampir bersamaan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri dengan mandat mengevaluasi kinerja internal dan membuka ruang masukan publik. Dua langkah ini, jika dikelola dengan tulus dan transparan, bisa menjadi penanda bahwa reformasi kepolisian mulai menapaki babak baru: dari slogan menjadi tindakan nyata.

Reformasi Polri dibutuhkan bukan karena institusi ini gagal sepenuhnya, melainkan karena ekspektasi publik terhadap Polri begitu tinggi. Dalam survei kepercayaan publik, Polri masih berada di tengah-tengah, kadang naik, kadang turun, tergantung pada momentum dan peristiwa. Persoalannya bukan hanya soal figur pimpinan, melainkan menyangkut tiga lapisan mendasar: struktural, instrumental, dan kultural. 

Reformasi struktural memang sudah berjalan Polri sudah berdiri sebagai lembaga sipil, bukan bagian militer. Tetapi reformasi instrumental dan kultural, yakni pembenahan nilai, perilaku, dan orientasi pengabdian, masih tersendat oleh kultur lama yang menempatkan kekuasaan di atas pelayanan. Di sinilah akar masalah reformasi Polri seringkali berputar di tempat.

Langkah pembentukan dua tim reformasi sejatinya bisa menjadi sinyal positif, asalkan tidak berhenti pada tataran administratif. Publik sudah lelah dengan tim demi tim yang berakhir tanpa hasil terukur. 

Tim Transformasi Reformasi Polri yang memiliki mandat yang cukup kuat untuk meninjau ulang seluruh program dan perilaku aparat. Begitu pula Komisi Reformasi di tingkat nasional yang beranggotakan tokoh lintas bidang, mulai dari pakar hukum, akademisi, hingga mantan pejabat publik. 

Komisi ini dibentuk bukan untuk menciptakan laporan tebal, melainkan untuk mempercepat perubahan nyata di tubuh Polri membangun sistem pengawasan yang independen, memperkuat etika pelayanan publik, dan mengembalikan legitimasi moral Polri di mata rakyat.

Jalan menuju perubahan sejati selalu penuh jebakan. Tantangan terbesar reformasi Polri bukan terletak pada kekurangan dokumen atau regulasi, tetapi pada soal kemauan dan keteladanan moral. Reformasi tidak akan berhasil jika masih ada kultur takut berubah di level pimpinan dan sikap menutup diri di kalangan anggota. 

Selama sistem promosi dan mutasi belum sepenuhnya berbasis kinerja, selama penanganan pelanggaran etik masih bersifat tebang pilih, selama budaya kekuasaan masih lebih kuat dari semangat pelayanan, maka reformasi hanya akan menjadi jargon yang berganti nama setiap pergantian Kapolri. 

Di sisi lain, publik juga harus terus mengawasi dan memberikan masukan. Reformasi tidak mungkin dilakukan Polri sendirian. Ia membutuhkan partisipasi warga, media, dan masyarakat sipil untuk memastikan arah perubahan tetap di jalur yang benar.

Esensi reformasi kepolisian bukan sekadar mengganti struktur, tetapi membangun kepercayaan. Kepercayaan publik adalah modal sosial terbesar Polri, dan itu hanya tumbuh jika masyarakat merasa dilindungi, bukan ditakuti. Dalam praktiknya, masih banyak keluhan soal perilaku aparat di lapangan: mulai dari penyalahgunaan wewenang, pungli, kekerasan berlebihan, hingga diskriminasi hukum. 

Polri harus berani melakukan introspeksi total, bukan hanya menindak pelaku, tetapi membangun sistem pencegahan dan kontrol yang berkelanjutan. Dalam konteks inilah, jargon Polri Presisi prediktif, responsif, transparan, dan berkeadilan  seharusnya bukan hanya semboyan di baliho, melainkan cermin perilaku setiap anggota kepolisian dalam melayani rakyatnya.

Kita juga harus berani melihat dimensi sosial reformasi. Selama ini, pembenahan Polri sering terjebak pada pendekatan birokratik dan top-down, padahal tantangan utama ada di basis masyarakat. Polisi di lapangan adalah wajah negara yang paling dekat dengan rakyat. 

Jika wajah itu masih menakutkan, maka negara akan selalu tampak jauh dan dingin. Oleh karena itu, reformasi Polri harus menumbuhkan budaya pelayanan yang humanis. 

Polisi bukan lagi sekadar penegak hukum, tetapi penjaga nurani publik orang yang hadir di tengah masyarakat dengan empati dan tanggung jawab. Ketika aparat mampu hadir dengan sikap melayani, bukan menguasai, maka hukum akan terasa sebagai pelindung, bukan ancaman.

Kini publik menunggu: apakah reformasi ini akan menjadi cerita baru atau sekadar bab lama yang diulang dengan tokoh berbeda? Sejarah menunjukkan, setiap lembaga yang gagal memperbarui dirinya akan kehilangan relevansi. 

Polri memiliki kesempatan besar untuk membuktikan bahwa ia bukan sekadar instrumen kekuasaan, melainkan pelindung dan pelayan rakyat Indonesia. Reformasi Polri harus dimulai dari hal paling sederhana: kejujuran, keteladanan, dan keberanian berubah. Dan itu tidak perlu menunggu perintah.

Karena sesungguhnya, reformasi bukan tentang mengganti sistem di atas kertas, tapi tentang mengubah cara berpikir di setiap hati yang mengenakan seragam cokelat itu. 

Ketika hati berubah, perilaku akan mengikuti. Dan ketika perilaku aparat berubah, rakyat akan kembali percaya. Itulah makna sejati reformasi: mengembalikan keadilan ke pangkuan rakyat, dan menghidupkan kembali nurani hukum dalam tubuh kepolisian negara.

***

*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.