TIMES MALANG, MALANG – Di layar ponsel kita, warna kerap menjadi bahasa politik yang paling sunyi sekaligus paling lantang. Baru-baru ini, jagat maya Indonesia kembali diwarnai ledakan simbolik: Brave Pink, Hero Green, dan SEAbling.
Sekilas, ketiganya tampak seperti tren media sosial belaka, sesuatu yang lahir dari algoritma lalu lenyap dalam hitungan hari. Tetapi jika kita perhatikan lebih jauh, warna-warna itu sesungguhnya menyingkap luka, solidaritas, dan resistensi yang tak pernah selesai di negeri ini.
Brave Pink lahir dari satu potret sederhana. Seorang ibu berjilbab merah muda berdiri di garis depan demonstrasi, wajahnya tenang, tatapannya tegas. Foto itu beredar, ditafsir ulang, lalu menjelma simbol.
Orang-orang mengubah foto profil mereka menjadi pink, seolah ingin berkata: keberanian bukan hanya milik yang menggenggam pentungan atau bersuara lantang di mimbar politik. Keberanian juga bisa berwujud lembut dari seorang perempuan yang memilih berdiri, tanpa senjata, melawan intimidasi kekuasaan.
Di titik ini, pink tidak lagi sekadar warna feminin. Ia adalah narasi tandingan terhadap cara pandang patriarkis yang kerap menganggap perempuan hanya pelengkap, bukan pelawan. Brave Pink membalikkan logika itu. Ia membuktikan bahwa perlawanan tidak selalu harus keras, tapi bisa juga lahir dari kelembutan yang teguh.
Sementara itu, Hero Green datang dengan latar yang jauh lebih getir. Kematian seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan aparat, mengguncang ruang publik.
Jaket hijau yang biasa kita lihat di jalanan tiba-tiba berubah makna: dari sekadar identitas profesi, menjadi tanda duka sekaligus protes. Warganet membanjiri lini masa dengan nuansa hijau, memberi hormat pada korban yang seharusnya tak perlu jatuh.
Hero Green adalah pengingat pahit: bahwa mereka yang bekerja di jalanan, yang tubuhnya rapuh dihadapkan pada mesin kekuasaan, sering kali menjadi korban pertama dari sistem yang timpang.
Warna hijau itu bukan sekadar solidaritas untuk satu nyawa, melainkan juga jeritan bahwa rakyat kecil selalu membayar harga paling mahal dari kebijakan negara yang gagal melindungi.
Dan kemudian hadir SEAbling, simbol baru yang mungkin terdengar asing bagi sebagian orang. Ia lahir dari percakapan lintas batas Asia Tenggara tentang diskriminasi, represi, dan pencarian identitas bersama.
Jika Brave Pink berbicara tentang keberanian sipil, Hero Green tentang solidaritas kelas pekerja, maka SEAbling adalah tentang persaudaraan lintas bangsa. Ia menegaskan bahwa persoalan yang kita hadapi di Indonesia ketidakadilan, represi, hingga perampasan ruang publik juga dialami oleh saudara-saudara kita di Filipina, Thailand, Myanmar, hingga Palestina.
SEAbling menjadi jembatan simbolik: bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tak berhenti di batas negara. Ada ikatan emosional, ada resonansi yang membuat kita merasa tidak sendirian. Di dunia yang kian terhubung, perlawanan juga menemukan bentuknya dalam solidaritas regional.
Jika dilihat sekilas, ketiga simbol ini hanyalah permainan warna. Namun, di balik kesederhanaannya, terdapat tiga lapisan perlawanan: gender, kelas, dan regionalisme.
Pink menolak reduksi perempuan, Green menolak ketidakadilan struktural, dan SEAbling menolak isolasi perjuangan. Bersama-sama, mereka membentuk mosaik baru perlawanan sipil di era digital.
Fenomena ini menyingkap satu hal penting: bahwa rakyat Indonesia, meski kerap dibungkam di jalanan, selalu menemukan cara untuk bersuara. Ketika ruang demonstrasi dipersempit dengan regulasi, ketika kritik dikriminalisasi, maka media sosial menjadi panggung alternatif. Di sana, warna, filter, dan simbol visual menjelma bahasa politik.
Tetapi, di balik euforia solidaritas digital, ada pertanyaan yang mengganggu: apakah warna-warna ini hanya akan berakhir sebagai tren sesaat? Apakah Brave Pink, Hero Green, dan SEAbling hanya akan mengisi timeline selama seminggu, lalu tenggelam di antara viral kucing lucu dan gosip selebritas?
Inilah risiko sekaligus kelemahan politik simbolik di era digital. Ia cepat menyebar, tetapi juga cepat dilupakan. Ia membakar emosi, tetapi sering kali gagal mendorong aksi konkret.
Kita pernah melihatnya: dari tagar #ReformasiDikorupsi hingga #SaveKPK, semuanya sempat memanas, tetapi kemudian dingin tanpa perubahan struktural berarti.
Namun, di sisi lain, kita tak boleh meremehkan daya jangka panjang simbol-simbol ini. Mereka mungkin tak langsung mengubah kebijakan, tetapi mereka menanam benih kesadaran. Brave Pink mengajari kita bahwa keberanian bisa lembut.
Hero Green mengingatkan kita bahwa nyawa rakyat kecil tak boleh murah. SEAbling menunjukkan bahwa kita tak sendirian dalam perjuangan. Benih-benih itu bisa tumbuh, suatu hari nanti, ketika kondisi politik memungkinkan.
Persoalannya bukan pada simbol, melainkan pada bagaimana kita mengolahnya. Apakah warna-warna ini hanya kita nikmati sebagai tren, atau kita rawat menjadi gerakan? Apakah Brave Pink akan berhenti di filter Instagram, atau menjadi inspirasi untuk memperjuangkan ruang aman bagi perempuan di ranah publik?
Apakah Hero Green akan berhenti di duka, atau menjadi pemicu untuk mendesak pertanggungjawaban aparat? Apakah SEAbling akan berhenti sebagai jargon, atau menjadi jejaring nyata solidaritas Asia Tenggara?
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa simbol kerap menjadi awal dari perlawanan besar. Dari bendera merah putih yang awalnya hanya kain sederhana, hingga lagu-lagu perjuangan yang lahir dari ruang kecil tapi mengguncang koloni. Jangan-jangan, Brave Pink, Hero Green, dan SEAbling adalah “bendera” baru generasi digital: sederhana, viral, tapi penuh makna.
Negara boleh terus membatasi ruang demonstrasi, boleh terus menekan suara-suara kritis. Namun, rakyat selalu menemukan celah. Hari ini celah itu berupa warna di layar ponsel. Mungkin sederhana, mungkin sepele. Tapi di balik kesederhanaannya, ada perlawanan yang terus tumbuh sunyi, sabar, dan menunggu saatnya untuk meledak.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |