https://malang.times.co.id/
Opini

Strategi Menangkal Radikalisme di Dunia Pendidikan

Kamis, 06 Maret 2025 - 15:25
Strategi Menangkal Radikalisme di Dunia Pendidikan Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Uniersitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

TIMES MALANG, BANYUWANGI – Moderasi beragama merupakan isu yang semakin krusial di Indonesia. Masyarakat yang beragam dari segi agama, budaya, dan etnis membutuhkan pendekatan yang inklusif dan toleran dalam pendidikan Islam. Sayangnya, masih ditemukan kasus-kasus intoleransi, seperti eksklusivisme dalam beragama, penyebaran paham radikal di lembaga pendidikan, hingga kasus kekerasan berbasis agama.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Wahid Foundation pada 2021, sekitar 10,7% dari pelajar sekolah menengah atas memiliki pandangan yang cenderung intoleran terhadap kelompok lain. Fakta ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam di Indonesia perlu merumuskan strategi yang lebih komprehensif dalam menanamkan nilai-nilai moderasi beragama.

Di sisi lain, media sosial menjadi faktor yang mempercepat penyebaran ideologi radikal di kalangan generasi muda. Dengan minimnya literasi digital yang baik, para siswa mudah terpengaruh oleh narasi radikalisme yang tersebar di berbagai platform. Oleh karena itu, peran pendidikan Islam sangat diperlukan untuk membentuk pola pikir yang moderat dan mencegah berkembangnya paham radikal di kalangan pelajar.

Berbagai literatur menunjukkan bahwa moderasi beragama adalah konsep yang telah lama berkembang dalam Islam. Al-Qur’an dan Hadis banyak mengajarkan prinsip keseimbangan dalam beragama. Misalnya, dalam QS. Al-Baqarah: 143, umat Islam disebut sebagai ummatan wasathan, yaitu umat yang berada di tengah dan tidak condong ke ekstremisme.

Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Nusantara, Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang dalam menerapkan moderasi beragama. Tradisi keislaman yang berkembang di Nusantara sejak era Walisongo menunjukkan bahwa Islam mampu berdampingan dengan budaya lokal tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.

Namun, di era globalisasi, tantangan terhadap moderasi beragama semakin kompleks. Beberapa peneliti seperti Yudi Latif dan Bahtiar Effendy mengungkapkan bahwa gelombang radikalisasi global telah memengaruhi sebagian umat Islam di Indonesia, khususnya melalui jalur pendidikan dan dakwah.

Dalam kajian sosiologi pendidikan, teori konflik dari Karl Marx dapat menjelaskan bagaimana pendidikan dapat menjadi alat untuk mengontrol ideologi dan pola pikir masyarakat. Di sisi lain, teori fungsionalisme dari Emile Durkheim menekankan bahwa pendidikan seharusnya menjadi instrumen untuk menciptakan integrasi sosial dan harmoni dalam masyarakat. Dalam konteks pendidikan Islam, teori ini mengarah pada pentingnya kurikulum yang menekankan nilai-nilai moderasi beragama guna mencegah perpecahan dan ekstremisme.

Teori psikologi sosial Albert Bandura tentang social learning juga relevan dalam memahami bagaimana siswa belajar dari lingkungan sekitarnya. Jika mereka mendapatkan pendidikan yang menekankan toleransi dan moderasi, mereka akan tumbuh dengan pemahaman yang lebih inklusif terhadap perbedaan. Sebaliknya, jika mereka terpapar doktrin yang eksklusif dan radikal, mereka berpotensi menjadi lebih intoleran.

Seperti dilansir https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/ menurut Tim Ahli/Kelompok Kerja Moderasi Beragama Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid saat ini Indonesia berada di akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, yang memerlukan pembaruan peta jalan.

Menurutnya, tantangan utama dalam implementasi moderasi beragama adalah menjaga keseimbangan antara identitas sebagai umat beragama dan sebagai warga negara Indonesia.

“Program moderasi beragama muncul karena ketidakseimbangan dalam masyarakat yang terlihat di berbagai tempat,” ungkap Alisa dalam sebuah diskusi pada acara Peluncuran Sekretariat Bersama (Sekber) dan Aplikasi Pemantauan Implementasi Moderasi Beragama (API-MB) di Jakarta, Jumat (3/10/2024).

Alissa menjelaskan bahwa dalam RPJPN 2025-2045 terdapat delapan misi pembangunan transformasi Indonesia, salah satunya adalah penguatan peran agama sebagai landasan spiritual, etika moral, dan modal dasar pembangunan. Hal ini diwujudkan melalui peningkatan internalisasi dan aktualisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat.

“Selain itu, pembangunan kehidupan beragama yang eksklusif, rukun, dan toleran juga menjadi fokus utama yang berorientasi pada penguatan moderasi beragama, baik antar umat beragama maupun dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, filantropi, pemberdayaan umat beragama, serta peningkatan produktivitas,” tegasnya.

Lebih jauh, Alissa menekankan kontribusi agama dalam pembangunan transformasi Indonesia, yang mencakup kemaslahatan bangsa, perspektif agama yang moderat, pendidikan agama sebagai pembentuk karakter, serta pemenuhan hak keagamaan warga negara dan hak kolektif.

Dalam buku Peta Jalan Moderasi Beragama, Alisa menyebutkan bahwa salah satu urgensi moderasi beragama adalah tantangan terhadap cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang ekstrem, yang mengesampingkan martabat kemanusiaan.

Ia juga menekankan pentingnya peran Sekretariat Bersama (Sekber) di tingkat daerah yang akan berinteraksi langsung dengan masyarakat umum.

Implementasi RPJMN 2025-2045 tentang Penguatan Moderasi Beragama tentunya menjadi pintu masuk bagi pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Pendidikan Islam di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang kuat dalam menerapkan moderasi beragama.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa pendidikan harus mengembangkan karakter yang berlandaskan pada nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan.

Selain itu, dalam PP No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, pemerintah menegaskan bahwa pendidikan agama harus menanamkan sikap toleransi dan menghargai perbedaan.

Moderasi beragama juga menjadi bagian dari kebijakan Kementerian Agama melalui program Penguatan Moderasi Beragama yang dituangkan dalam RPJMN 2020-2024.

Dalam praktiknya, moderasi beragama dalam pendidikan Islam diterapkan melalui berbagai cara, pertama, Revisi Kurikulum. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Agama telah memperbarui kurikulum pendidikan Islam dengan menekankan aspek moderasi, toleransi, dan anti-radikalisme.

Kedua, Pelatihan Guru. Guru agama mendapatkan pelatihan tentang moderasi beragama agar mereka dapat menyampaikan nilai-nilai Islam yang damai dan inklusif.

Ketiga, Ekstrakurikuler Keagamaan. Sekolah dan madrasah mengadakan kegiatan seperti diskusi lintas agama, seminar tentang moderasi, dan program pesantren kilat yang menanamkan pemahaman Islam rahmatan lil ‘alamin.

Di beberapa daerah, praktik moderasi beragama telah berjalan dengan baik. Contohnya, di pesantren-pesantren NU, ajaran Islam diajarkan dengan pendekatan yang ramah budaya dan toleran.

Program Santri Siaga Kebangsaan yang digagas oleh Kementerian Agama juga menjadi contoh upaya dalam membangun kesadaran moderasi di kalangan santri.

Namun, masih ada tantangan dalam penerapan moderasi beragama di sekolah dan madrasah, terutama di daerah yang memiliki tingkat eksklusivisme tinggi. Penyebaran paham radikal di sekolah-sekolah melalui guru atau organisasi siswa tertentu masih menjadi ancaman serius.

Moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan Islam adalah strategi penting dalam menangkal radikalisme. Dengan berbagai tantangan yang ada, diperlukan komitmen kuat dari pemerintah, sekolah, guru, dan masyarakat untuk menerapkan pendidikan Islam yang inklusif dan toleran.

Pendidikan yang berorientasi pada nilai-nilai moderasi akan membentuk generasi yang lebih terbuka, menghargai perbedaan, dan mampu hidup berdampingan dalam keragaman.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Studi Islam dan Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Uniersitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.