https://malang.times.co.id/
Opini

Polemik Peran TNI dalam Pembangunan Kedaulatan Pangan

Rabu, 26 Maret 2025 - 16:22
Polemik Peran TNI dalam Pembangunan Kedaulatan Pangan Prof. Mangku Purnomo. PhD., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

TIMES MALANG, MALANG – Beberapa pekan ini riuh di media sosial maupun media maintream terkait dengan kembalinya peran Dwifungsi TNI (kalau masa saya muda ”Dwifungsi ABRI”). Demo terjadi di berbagai kota. Pencabutan Dwifungsi ini merupakan tuntutan kami saat reformasi, selain penghapusan KKN korupsi, kolusi, dan nepotisme. Nepotisme anak sekarang lebih keren dengan sebutan Ordal (orang dalam). 

Bagi adik-adik mahasiswa sekarang yang tidak pernah melihat masa-masa sebelum reformasi, tentu tidak merasakan bagaimana kondisi saat itu, dimana ABRI (angkatan bersenjata republik Indonesia) dimanipulasi hingga menjadi ”moster” bagi gerakan sosial dan ”pelanggeng” kekuasaan yang korup. Wajar jika mereka akan mencari definisi baru atas Dwifungsi berdasarkan atas realita sosial pengetahuan mereka sendiri terhadap TNI saat ini.

Jika menilik pendapat masyarakat, trauma tersebut tidak akan sama dirasakan oleh generasi baru karena beberapa hal. Para senior, mentor para aktifis 98 sudah banyak yang meninggal, sementara anak-anak muda generasi baru tidak mengalami masa itu, sehingga trauma yang ditimbulkan akibat dwifungsi tidak membekas. 

Sementara para mahasiswa yang mengalami reformasi, melihat kenyataan para aktifis 98 yang duduk di DPR atau menjabat badan-badan negara banyak juga yang tidak amanah. Tidak mengherankan jika terjadi keterbelahan pendapat di masyarakat. 

Wajar jika kemudian praktik-praktik dwifungsi yang pada masa awal reformasi sangat tabu dipraktekkan meskipun secara hukum sebenarnya boleh sejak dulu, saat ini banyak dipraktekan lagi oleh anggota militer. Kenapa? Karena legitimasi sosiologisnya sudah cukup kuat.

Legitimasi sosiologis tersebut didapatkan secara akumulatif selama 30 tahun ini. Kerja-kerja sistemik populis yang dilakukan militer mulai dari desa-desa hingga sudut-sudut kota melalui Babinsanya memberi kesan relatif ”positif” yang berbeda dengan kesan yang selalu didengungkan oleh aktifis reformasi sebagai ”moster”. 

Mereka membangunkan rumah bagi rakyat miskin, membangun jembatan desa, jalan desa, menjaga konser dangdut dengan bayaran seadanya, hingga gerakan-gerakan kerakyatan lain yang dilakukan secara nasional seperti bersih kali Citarum dan lain-lain. Sementara mantan aktifis 98 yang beken-beken duduk-duduk manis di kantor-kantor donor asing, sementara yang jadi pejabat beberapa masuk penjara karena korupsi. 

Gelombang balik demikian adalah sunnatulloh sebagai hukum alam. Sebagaimana kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap kelompok kanan jauh dikancah perpolitikan negara-negara didunia saat ini. Kepercayaan besar yang diberikan kepada kaum liberal dan sekuler untuk membangun sistem sosial baru menyisakan kesenjangan dan berbagai kemunduran sosial dan ekonomi. 

Maka wajar, jika orang kembali melirik cara baru. Hal sama terjadi di negara kita, melirik cara-cara lama yang tentu saja termodifikasi sana sini berdasar pengalaman kegagalan masa lalu.

Hal tersebut pada dasarnya adalah kegagalan reformasi dalam mentranformasi diri dari gerakan politik menjadi gerakan kebudayaan dan kebangsaan. Reformasi negara-negara tentangga kita yang berhasil seperti China, Vietnam, Singapura selalu diikuti oleh revolusi kebudayaan dimana terjadi perubahan mindset mendasar, penguatan jati diri bangsa, moral produktif dan kompetitif ciri semua pemimpin dan warga. 

Meski beberapa aktifis reformasi lama yang masih murni dan jernih mulai muncul mengingatkan dan menentang praktek tersebut, situasi sudah berubah. Gelombang kembalinya kekuatan lama yang termodifikasi ini akan tetap mendominasi hingga waktu cukup lama. 

Sektor Pangan: Urusan Teknis Politis

Kembali pada pokok ketahanan pangan. Kita harus menguraikan bisnis proses atau streaming industri pangan. Hal ini saya uraikan untuk memperjelas keahlian apa yang dibutuhkan dari tentara sehingga pengambilan perannya tidak rancu dikemudian hari. 

Dihulu ada dua masalah utama yakni perlindungan terhadap bio-resources sebagai sumber varietas/komoditi serta ketersediaan sumber agraria atau ruang termasuk sumberdaya air. Keduanya input yang sangat tergantung kelestarian ekologi. 

Sederhananya, untuk merakit bibit unggul informasi genetik dari tanaman-tanaman asli yang ada di alam bebas sebagai sumber genetik awal harus tetap ada, istilah di pertanian plasma nuftah. Inilah kenapa para ilmuwan ilmu hayati selalu kampanye bahwa flasma nuftah sangat berharga, kita kedua terbesar setelah Brazil. Monggo, dari sisi ini apa yang bisa disumbangkan oleh skill tentara.

Pada sisi air. Air ini terkait dengan kelestarian tangkapan dan keterpeliharaan bendungan beserta jaringan irigrasinya. Penggundulan hutan, konflik tata kelola air, hingga monopoli penguasaan sumber-sumber air oleh swasta juga menjadi masalah. Tentu saja faktor pencemaran air sepanjang sungai yang akibat sampah rumah tangga dan limbah perusahaan juga penting. 

Produksi pertanian akan terganggu jika air tercemar karena bisa merembet ke kesehatan masyarakat karena residu logam berat. Kerusakan jaringan irigrasi ini juga masalah, baik karena usia atau kurangnya pemeliharaan. Bahkan kadang sengaja dirusak untuk kepentingan pembangunan lain. Sekali lagi monggo tentara mau berkontribusi apa! Memastikan sumber air bisa mendukung produksi pertanian.

Ruang, atau sumber agraria ini juga masalah pelik. Konflik penguasaan lahan, mafia lahan, lahan kritis, lahan tidur, juga struktur penguasaan lahan yang timpang masalah pangan berikutnya. Satu sisi petani luasannya sempit, disisi lain beribu-ribu hektar lahan produktif dikuasai oleh segelintir aktor. 

Pemberian lahan pada rakyat melalui penghutanan sosial tidak akan merubah situasi, karena kunci dari sumber masalah ada pada ketidak adilan atau kesenjangan. Dengan demikian reforma agraria sangat mendesak dilakukan. Dari sisi ini monggo apa yang bisa dikontribusikan tentara. Memastikan penggunaan lahan optimal, serta mendorong keadilan agraria melalui reforma agraria.

Dari sisi sumberdaya manusia. Petani menua. Jumlah menurun. Skill stagnan. Apa yang bisa tentara sumbangkan untuk masalah ini? Kita butuh ekosistem industri pangan yang menguntungkan. Tidak hanya sekedar kampanye bahwa bertani itu mulia, tetapi jika kenyataannya miskin, ya ndak ada anak muda yang mau bertani. 

Selain membangun citra sektor pertanian, membangun ekosistem bisnis pangan yang menguntungkan jauh lebih penting. Ada peluang seperti tebu, ikan, telur, daging dan susu yang untuk kebutuhan dalam negeri saja produksinya kurang. Monggo, produksi kurang kok sektor pertanian tidak menjanjikan? Monggo tentara mau berkontribusi apa terkait problem SDM ini.

Untuk isu pupuk dan alat mesin pertanian atau Al-sintan. Ini juga pelik padahal sederhana. Ketidak cocokan bantuan mesin pemerintah dengan kebutuhan lapang bukan rahasia umum. Kita tidak memiliki (Musyawarah Rencana Pembangunan) atau Musrenbang pangan sebagai media aspirasi petani, pengusaha, dan stakeholder pangan bisa mengutarakan masalahnya. 

Untuk pupuk kita hanya mengandalkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang kadang diisi oleh penyuluh sambil lalu tanpa melaksanakan musyawarah kelompok, bukan tidak mau, kadang anggaran tidak ada. Dari sisi mendeteksi kebutuhan kelompok ini saja kita sering gagal. 

Apa yang bisa tentara kontribusikan untuk mengurai benang kusut ini? Apakah Babinsa bisa menjadi Fasilitator musrenbang pangan tingkat desa? Atau kelompok? Monggo! Lebih efektif masuk sini atau ikut terjun menanam. Menanam tidak buruk, tetapi tidak berdampak banyak.

Apalagi kadang hanya memasang baliho lalu panen bareng. Lebih pada pencitraan daripada menyelesaikan masalah sesungguhnya yang dihadapi petani. Kadang petani tertawa setelah tentara pasang baliho berfoto-foto lalu pergi. Gaya demikian sudah dipahami petani sebagai formalitas laporan ke atasan untuk pencitraan.

Masih seputar pupuk, tapi dari distribusinya mungkin tentara bisa berperan. Data nama dan alamat petani, luas lahan dan data kebutuhan saprodinya telah ada. Bahkan sudah ada E-RDKK yang memudahkan petani mengakses. 

Kenapa keluhan pupuk langka selalu ada? Kenapa pupuk terkadang baru tersedia setelah panen? Apa masalahnya? Jika menyalahkan jumlah yang mampu disediakan negara tentu klasik. Bukankah mudah menghitung berapa yang direncanakan petani se Indonesia raya dan berapa persen kemampuan pemerintah mensubsidi. 

Dimana bundelan benang kusut ini berada. Di produsen pupuk, distribusi, atau memang data petani yang tidak valid? Ini juga misteri. Apa peran tentara? Bisa jadi butuh keahlian tentara karena masalah ini puluhan tahun tak bersolusi.

Pestisida dan berbagai bisnis terkait obat-obatan pertanian juga butuh diuraikan. Kenapa masih banyak perusahaan produsen input produksi ini berlomba masuk sektor pertanian? Padahal petani sebagai produsen pangan terus miskin. Kemiskinan pedesaan sebesar 12% sebagian besar tentunya dari kaum tani. 

Ini ironi dan paradog. Betulkah produk-produk mereka membantu petani? Tidakah merusak tanah dan air? Bagaimanakah pengawasannya? Ini juga problem-problem riel yang mungkin tentara bisa berkontribusi menyelesaikannya. 

Selanjutnya mari masuk pada sektor distribusi atau perdagangan pangan. Ini juga sensitif karena Bulog ada didalamnya. Saya sudah menulis lebih rinci di media ini juga. Berjudul ”Gerilya Ataukah Perang Terbuka? Mengulik Strategi Kedaulatan Pangan Pemerintahan Prabowo-Gibran” intinya ada pada proses bisnis pembelian gabah yang rentan curang. 

Ini terkait erat dengan panjangnya rantai pasok dimana negara banyak tergantung pada tengkulak dan penggilingan padi untuk mendapatkan pasokan gabah. Apalagi petani, lebih tergantung lagi dengan tengkulak karena merekalah yang nyata membeli dengan kualitas apapun dan berapapun jumlahnya.

Hal-hal diatas, adalah contoh beberapa masalah pokok. Kita belum masuk pada industri pangan, isu import, asuransi tani, pasar tani, pasar komoditi, lelang produk juga perkembangan hasil pertanian ke kosmetik dan bio-farmaka. 

Wisata desa juga kebudayaannya. Keamanan pangan dan berbagai teknis permasalahan harus kita hadapi. Karantina kita juga indikator geografis dan perlindungan lainnya masih bertumpuk. 

Belum lagi masalah Gizi yang juga menjadi polemik dimana tentara masuk cukup dalam pada Makan Bergisi Gratis (MBG). Jadi, melihat peran tentara harus berdasar demand keahlian tertentu yang memang dibutuhkan agar masalah yang menghambat pencapaian ketahan pangan terurai. 

Kesimpulannya adalah, bisnis pangan merupakan sektor yang cukup rumit sistemnya karena melibatkan faktor ekologi, SDM, market juga sringkali beririsan dengan berbagai policy yang bisa sangat distortif. Bahkan bila boleh jujur, pertanian adalah ”nice” isu dalam politik karena terkait perut orang kota dan pendapatan orang desa. 

Bahkan juga para taipan importir pangan. Karena luas cakupannya dan saling beririsan dengan masalah politik dan ekonomi maka butuh partisipasi semua pihak mungkin juga tentara. Para ahli pertanian juga tidak boleh menepuk dada bisa menyelesaikan kerumitan itu sendiri. Kita kadang membutuhkan kompetensi yang kadang tidak kita pikirkan sebelumnya.

Pangan dan Reposisi Peran Tentara

Saya sengaja tidak spesifik merekomendasikan peran tertentu yang dapat diisi tentara dari uraian teknis masalah sektor pertanian diatas. Saya hanya akan memberikan dua catatan utama yang dapat dipertimbangkan oleh tentara juga pengambil kebijakan. 

Pertama, kita menghadapi masa dimana identitas tidak lagi sehebat dulu dalam mempengaruhi penilaian generasi baru kita. Mereka menilai lebih karena pertimbangan apakah seseorang tersebut ”bisa” atau ”tidak bisa” yang berarti kompeten, sementara identitas baru menjadi pertimbangan berikutnya. Artinya tentara ataukah bukan tentara tidak masalah. 

Cara kita, aktifis 98, lebih cenderung melihat identitas sehingga tentara tidak boleh dan pasti militerisme, sementara anak sekarang melihat hasil, tervalidasi, baru kemudian melihat dari mana asal atau identitasnya. Generasi lama terbentuk karena pengalaman buruk berhubungan dengan tentara, sementara generasi baru lebih objectif karena tidak mengalami trauma tersebut. 

Kecenderungan di atas menunjukkan kompetensi dan penguasaan masalah sangatlah penting sebagai pertimbangan. Jika tentara terlibat diurusan teknis, ya harus memahami RDKK, tata niaga pangan, eksport impor pangan, juga distribusi pupuk dan berbagai urusan teknis lainnya. 

Kuncinya menurut saya adalah mengembalikan kompetensi sebagai syarat procurment atas jabatan yang terkait sektor pangan. Ini sangat erat dengan kemampuan dalam menganalisis pokok masalah sehingga dapat memberikan kebijakan yang mengarah pada efisiensi teknis. 

Karena pada dasarnya sebagian besar urusan pangan mulai dari budidaya hingga dihidangkan di piring rakyat adalah urusan teknis. Jika kembali pada kompetensi maka lebih terukur syarat-syaratnya. Ini salah satu saran saya untuk menghindari debat tentara dan sipil sebagi identitas.

Hal ini untuk menghindari salah terap kerja-kerja dukungan ketahanan pangan oleh tentara. Tentara membajak, tentara tanam singkong, atau tentara membeli gabah. Boleh untuk menyemangati petani dan membangun kedekatan dengan petani. 

Atau mungkin juga hobbies para tentara setelah jeda perang berkebun. Tetapi kerja-kerja demikian pada dasarnya kurang strategis untuk mendukung ketahanan pangan yang jauh lebih besar skalanya. Mencari mafia pangan dan mafia agraria jauh lebih startegis termasuk penyelundupan dan perdagangan ilegal pangan lainnya.

Kedua, tentara bisa hadir pada wilayah-wilayah non teknis yang membutuhkan keahlian ketentaraan sehingga mampu mengakselesari rekomendasi teknis yang dirumuskan oleh pejabat teknis. 

Bisa saja ini terkait dengan penanganan mafia pangan yang membutuhkan keahlian keintelejenan yang tidak dimiliki teman-teman teknis. Penyelundupan pangan dan perbudakan di nelayan mungkin juga butuh keahlian tentara untuk menhadapinya. 

Termasuk kerja-kerja pembukaan kawasan pangan baru berskala luas yang rawan gangguan keamanan yang juga membutuhkan keahlian rekayasa topografi sangat awal dimana tentara memiliki kopetensi. Tapi inipun masih debatable karena banyak profesional sudah mampu melakukan hal ini.  

Dengan menggunakan pendekatan ”kompetensi teknis” dan ”kompetensi non teknis” atau keahlian khusus pendukung, maka polemik bisa lebih terarah dan bukan hanya mempertentangkan konsep sipil militer saja. 

Juga tuduhan bidang sipil dibuka untuk kanalisasi perwira-perwira yang nganggur dapat ditepis. Kehadiran tentara memang untuk mengisi gap skill yang belum tersedia dan dibutuhkan suatu lembaga dalam membangun kedaulatan pangan. 

Kita juga harus menyadari bahwa pembagian ilmu berdasar disiplin juga memiliki kelemahan saat harus mengimplementasikan menjadi suatu kebijakan. Kadang dibutuhkan keahlian bahkan hampir pasti harus multi disiplin dan multi skill. Dalam konteks ini debat bukan pada sipil non sipil tapi pada kebutuhan.

Saya termasuk tidak setuju dikotomi sipil militer dalam karakter. Militer tegas dan sipil kurang. Militer lebih ideologis-nasionalis dan sipil kurang. Juga steriotif profesor pangan lebih mengusai bidang pangan daripada tentara. 

Bisa saja kita unggul aspek tertentu, tetapi belum tentu aspek lain. Contohnya mengurai mafia pangan. Sangat jarang diantara kita riset masalah ini. Mungkin tentara lebih memahami bagaimana mekanismenya. Termasuk tentang pangan dan perang.

Sebelum mendapat kritik teman-teman ketatanegaraan atau administrasi saya akan disclaimer duluan. Saya tidak mau masuk pada debat ketata negaraan terkait undang-undang dan lain-lain yang menyatakan peran tentara. Dialektika antara sipil dan militer juga bukan wilayah saya. 

Jadi, saya hanya berpatokan pada keahlian apa yang dibutuhkan untuk menguraikan masalah rumit sektor pangan kita. Sebagai mana panjang lebar saya uraikan sebelumnya. Tetapi pasti semua orang akan setuju jika anak bangsa yang terbaik dibidang itulah yang seharusnya memimpin suatu lembaga.

Terakhir, saya berharap dan mengajak teman-teman bidang keilmuan lain lain menulis hal yang sama. Apakah perikanan, kehutanan, peternakan, mungkin juga teknologi pertanian dan bidang-bidang lainnya. Untuk apa? Untuk membuka lebih jelas proses bisnis suatu sektor sehingga apa yang bisa tentara kontribusikan menjadi lebih akurat. Karena masuknya tentara pada sektor pangan ini mulai dalam. 

Jangan sampai teman-teman salah mengambil peran. Kita mencintai tentara kita, tetapi menjaga ruang sipil juga sangat penting demi kebesaran bangsa. Karena pilihan pendiri negara kita sangat jelas.

***

*) Oleh : Prof. Mangku Purnomo. PhD., Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.