https://malang.times.co.id/
Opini

Manusia Ruhani dalam Nestapa Ekonomi

Rabu, 19 Maret 2025 - 14:09
Manusia Ruhani dalam Nestapa Ekonomi Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam pada Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES MALANG, JAKARTA – Ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Pernyataan ini berulang kali dinyatakan oleh pemimpin politik maupun oleh para pakar ekonimi di berbagai forum dan saluran media. Di negeri yang gemah ripah loh jinawi yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia mengalami imbasnya.

Ironisnya, di tengah kesulitan ekonomi, terhampar luas kerakusan yang dipertontonkan secara telanjang oleh para koruptor dengan nilai ratusan triliunan rupiah. Saat warga harus menjemput ajal akibat mengantri gas tiga kilogram, ada sekelompok manusia yang dengan enteng mengemplang uang negara tanpa dosa.

Negeri ini tengah mempertontonkan anomali keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan sekaligus. Negeri ini kaya tetapi menyimpan kemiskinan yang terus bertumbuh dan bertambah.

Negeri ini religius tetapi kerap menebar akhlak buruk berkali-kali. Negeri ini mewarisi budaya luhur dari para leluhurnya tetapi gagap dalam menerjemahkan budaya religinya. Apa yang sedang terjadi?

Puasa Ramadan, Menghasilkan Apa?

Dalam suatu krisis moral, biasanya agama selalu dilibatkan, diundang dan ditagih eksistensinya untuk membenahi krisis moral manusia. Tagihan itu tidak salah karena memang agama dilahirkan untuk mengatasi masalah-masalah moral manusia.

Dalam doktrin Islam, kehadiran Nabi Muhammad SAW ke muka bumi adalah untuk “menyempurnakan akhlak manusia” (li utammima makarimal akhlak). Tetapi yang sering dilupakan adalah bahwa kehendak doktrin agama bersifata normatif. Kegunaan praksisnya justru menjadi tanggung jawab pembawa/pelaku doktrin tersebut.

Dalam konteks ini, tuduhan agama sebagai opium/”candu” bagi pemeluknya seperti yang pernah dituduhkan Karl Marx adalah kritik terhadap “cara beragama” yang menjauh dari nilai-nilai luhurnya. Ada kesenjangan antara normativitas doktrin dan realitas pemeluknya.

Sindiran al-Qur’an terhadap “perilaku beragama” yang menyimpang sangat jelas: “celakalah orang yang sholat”, yaitu mereka yang setelah sholat mengabaikan kesalehan sosial sperti lalai memberi makan fakir miskin.

Ketersambungan antara “teks” dan “konteks” dengan demikian menjadi tanggung jawab historis manusia sebagai “khalifah”, yaitu bagaimana melakukan rekayasa sosial agar keindahan doktrin agama mewujud pada kenyataan sosial.

Pilar puasa dari lima pilar dalam Islam (rukun Islam) adalah medium untuk melatih daya-daya ruhani manusia (“daya malakut”) dan memenangkannya dari daya-daya lain yang ada dan tumbuh dalam diri manusia seperti “daya syaithaniyah”, “daya kebintangnan” baik binatang ternak maupun bintang buas. Binatang ternak identik dengan kebiasaan nafsu “makan-minum” dan “nafsu seks”.

Sedangkan binatang buas identik dengan “memakan” makhluk lainnya. Dalam mekanisme syariah puasa, daya-daya manusia yang merusak seperti makan dan minum berlebihan, mengelola nafsu syhawat, dan “memakan” hak ekonomi orang lain sedang dimatikan setidaknya sejak terbit fajar matahari (waktu imask) hingga saat brbuka puasa (waktu maghrib). Pelatihan ini berlangsung satu bulan dalam satu tahun.

Dalam ajaran al-Quran, output pelatihan itu adalah menghasilan profil muttaqien, yaitu mereka yang mampu menerjemahkan nilai-nilai baik dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan keimanannya. Istilah “tattaquun” dalam surat al-Baqarah 183 tampak jelas menggunakan kalimat aktif yang artinya adalah aktivitas dan gerakan yang konkrit.

Kulaitas Ruhani dan Kualitas Ekonomi

Mungkin terdengar asing untuk menyandingkan dua istilah ruhani dan ekonomi secara bersamaan. Tetapi, jika ditelusuri secara ontologis peran dan eksistensi agama dalam kehidupan manusia bukanlah asing.

Justru yang asing adalah ketika ada upaya memisahkan keduanya akibat pandangan sekularistik sebagai akibat dari kolonialisme pengetahuan dan trauma peradaban Barat atas dominasi geraja.

Output dari ibadah puasa ramadhan, sebagaimana yang tergambar dalam al-Qur’an dan hadis adalah menghasilkan kualitas ruhani dan sosial. Secara ruhani, manusia sedang dididik untuk menjadi pribadi yang mampu  dekat dengan pencipta-Nya sendiri sebagai asal-usulnya agar ia tidak terasing dengan kampung halamannya: akhirat (Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Secara sosial, akhir dari ibadah puasa adalah kewajiban menunaikan zakat fitrah sebagai aksi sosial untuk memastikan stabilitas kehidupan ekonomi dan keadilan sosial. Sehingga, nalar korespondensi antara “ibadah mahdhah” dan “ibadah sosial” dapat dipertanggungjawabkan secara bersama-sama.

Dalam kerangka itu, konsep Islamic Social Finance yang menekankan pada keadialan sosial hendaknya menjadi gerakan ekonomi bersama sebagai tanggung jawab dari “manusia ruhani” yang telah dilatih diantaranya melalui medium puasa ramadan.

Secara hipotetik dapat dirumuskan bahwa “semakin berkualitas aspek ruhani seseorang, maka akan semakin berkualitas kualitas ekonominya”. Dalam sekala yang lebih luas, dapat dirumuskan bahwa negara yang warga bangsanya memiliki kualitas ruhani yang baik dan memadai, maka kehidupan sosial-ekonominya akan semakin membaik.

Kini, realitasnya, secara umum, gamabaran ideal doktrin keagamaan—akibat masalah-masalah keburukan akhlak sekelompok orang—terjadi distorsi ajaran agama dalam praktek sosial. Lemahnya penegakan hukum, rusaknya ingkungan hidup, kelangkaan lapangan pekerjaan, dominasi para pemilik modal besar atas aset ekonomi nasional, kompetisi politik yang semakin tidak sehat, kesenjangan yang mengagnga antara si msikin dan si kaya adalah realitas sosial yang nyata di depan mata.

Lantas, pertanyaannya dimana kekuatan agama?, kemana dampak puasa?, dimana daya ruhani disimpan?

Maka, proposal harapan terhadap kepemimpinan nasional untuk meneguhkan kembali watak kebangsaan yang religius layak untuk diajukan dengan melakukan revolusi mental yang selama ini masih sebatas pada “proyek narasi politik”.

Harapan terhadap keadilan sosial, pemerataan hak-hak ekonomi, penegakan hukum, penyiapan lapangan pekerjaan tidak mungkin terwujud jika kualitas ruhani para pemimpinnya tidak pernah dilatih. Etos kepemimpinan nasional harus berguru kepada kepemimpnan Rasulullah SAW yang digerakkan oleh daya-daya ruhani.

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam pada Magister PAI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.