https://malang.times.co.id/
Opini

Rezim Efisiensi: Asta Cita atau Duka Cita

Sabtu, 15 Februari 2025 - 08:41
Rezim Efisiensi: Asta Cita atau Duka Cita Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES MALANG, JAKARTA – Baru-baru ini The Guardian, media surat kabar asal Inggris merilis artikel dengan judul Indonesian president Prabowo’s first 100 days marked by u-turns, misstep and sky-high popularity. Artikel ini berisikan isu seputar 100 hari kerja Prabowo yang ditulis oleh Kate Lamb, seorang kolumnis asal Sydney, Australia. 

Dalam tulisannya, Lamb menyoroti tingginya tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Prabowo. Berdasarkan data Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan Januari, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja presiden Prabowo mencapai 81,4 persen. 

Menurut mantan koresponden senior Reuters Indonesia tersebut tingginya kepuasan pemerintahan Prabowo ini karena janjinya untuk menyediakan makanan gratis bagi hampir 90 juta anak sekolah dan kemenangan telak pada pemilu bulan Februari tahun lalu.

Sayangnya, 81,4 persen tingkat kepuasan publik terhadap 100 hari pemerintahan Prabowo diwarnai dengan blundernya kebijakan efisiensi yang diambil oleh kabinet Merah Putih. Efisiensi besar-besaran pemerintahan Prabowo yang mencapai Rp 306,69 triliun dalam APBN 2025 memiliki konsekuensi besar yang perlu dibaca kembali. 

Mengutif berita investor.id edisi 11 Feb 2025, diperkirakan 2,1 Juta Orang Terancam PHK Buntut Efisiensi Anggaran di Kementerian Pembangunan Umum (PU). Pemangkasan sebesar 80 persen atau senilai Rp 81,38 triliun dari total anggaran sebesar Rp 110,95 triliun pada Kementerian PU menjadi menjadi faktor utama PHK besar-besaran ini. 

Ini baru satu isu dampak efisiensi, belum lagi isu PHK dimana-mana, tagar #KaburAjaDulu#, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), pengurangan dana beasiswa dan sederet dampak lainnya.

Artinya, meskipun efisiensi anggaran itu penting, namun dampak dari efisiensi perlu untuk dikaji dan dibaca dengan cermat. Oleh karena itu penting untuk memahami konsep efisiensi agar efisiensi memberikan dampak positif bagi kemajuan Indonesia.

Efisiensi: Instrumen atau Tujuan?

Dalam teori kebijakan fiskal, efisiensi anggaran adalah instrumen, bukan tujuan. Ia dirancang untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan keuangan negara agar setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan manfaat optimal. 

Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: apakah efisiensi yang diterapkan pemerintahan Prabowo benar-benar menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, atau justru telah berubah menjadi tujuan itu sendiri?

Menurut Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Nurdin Halid, kebijakan efisiensi harus dikaji secara mendalam agar tidak menimbulkan efek negatif yang lebih besar. "Jika efisiensi ini benar-benar perlu dilakukan, maka harus ada strategi yang jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. Jangan sampai ini hanya jadi alasan pemotongan tanpa solusi konkret," ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Keuangan.

Sementara itu, ekonom sekaligus Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Rizal Taufikurahman, menilai bahwa pemangkasan anggaran secara besar-besaran berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut Rizal menjelaskan bahwa efisiensi berpotensi terhadap penurunan investasi dan memiliki multiplier effect yang sangat tinggi terhadap ekonomi Indonesia. 

Jika efisiensi diterapkan dengan mekanisme pemangkasan anggaran tanpa perhitungan yang matang maka kebijakan ini dapat menjadi bumerang. Pemangkasan besar-besaran di sektor yang vital bisa berujung pada stagnasi pembangunan, melemahnya layanan publik, dan meningkatnya angka pengangguran. 

Sebaliknya, jika efisiensi dilakukan dengan strategi yang tepat dan memastikan bahwa anggaran yang dipotong berasal dari pos yang kurang produktif, maka kebijakan ini bisa menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sehat.

Optimisme terhadap kebijakan ini tentu ada. Jika anggaran yang dipangkas dialihkan ke sektor strategis seperti hilirisasi industri, ketahanan pangan, dan pengembangan teknologi, maka kebijakan ini berpotensi menciptakan efek pengganda (multiplier effect) yang positif. Hilirisasi industri nikel dan bauksit, misalnya, bisa membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan daya saing ekonomi nasional. 

Namun, kekhawatiran juga tidak dapat dikesampingkan. Dalam beberapa kasus, efisiensi anggaran justru bisa menghambat layanan publik. Pemotongan dana kesehatan, misalnya, bisa berdampak pada keterbatasan alat kesehatan di rumah sakit daerah. Begitu pula dengan pemangkasan di sektor pendidikan yang berisiko membebani mahasiswa dengan kenaikan UKT. 

Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada, Akhmad Akbar Susamto, S.E., M.Phil., Ph.D., mengingatkan pemerintah terkait dampak makro ekonomi yang ditimbulkan dengan kebijakan pemangkasan anggaran. 

Pasalnya, pemotongan anggaran, terutama jika dilakukan di sektor-sektor produktif seperti infrastruktur pokok, pendidikan, dan kesehatan, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

“Sektor-sektor ini memiliki efek multiplikatif yang signifikan terhadap perekonomian. Jika pemotongan anggaran tidak dilakukan secara selektif, maka dapat berdampak negatif pada investasi publik, penciptaan lapangan kerja, dan produktivitas tenaga kerja." Kata Akbar sebagaiamana dikutip dari ugm.ac.id edisi 5 Februari 2025. 

Efisiensi yang Berkeadilan

Sejatinya, efisiensi anggaran bukan sekadar soal memangkas angka dalam tabel APBN. Pemerintah perlu memastikan bahwa setiap kebijakan efisiensi dilakukan dengan prinsip keadilan, di mana sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan kesejahteraan rakyat tetap mendapatkan prioritas. Transparansi dan evaluasi berkala menjadi kunci utama agar kebijakan ini tidak melenceng dari tujuan awalnya.

Lebih dari itu, pemerintah harus bersiap melakukan koreksi jika kebijakan efisiensi ternyata lebih banyak membawa dampak negatif daripada manfaat. Jika pemangkasan anggaran justru membuat layanan publik melemah, revisi kebijakan harus segera dilakukan. Jangan sampai efisiensi hanya menjadi jargon tanpa perhitungan, yang akhirnya membawa lebih banyak duka cita daripada asta cita.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan efisiensi bukan hanya diukur dari angka penghematan dalam APBN, tetapi dari seberapa besar manfaatnya bagi rakyat. Jika kebijakan ini mampu mempercepat pembangunan, meningkatkan kesejahteraan, dan mengurangi kesenjangan, maka efisiensi bisa menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang lebih luas. 

Namun, jika yang terjadi justru sebaliknya, maka evaluasi dan perubahan kebijakan harus segera dilakukan. Rakyat tidak butuh efisiensi yang mengorbankan kesejahteraan mereka, melainkan kebijakan yang benar-benar membawa kemajuan yang berkeadilan.

***

*) Oleh : Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.