TIMES MALANG, MALANG – Pernahkah Anda duduk di sebuah kafe, membiarkan alunan musik yang pas meresap ke dalam pikiran, lalu berpikir, "Lagu ini sempurna sekali untuk suasana seperti ini"? Kita semua pernah. Musik sudah seperti udara bagi kehidupan sosial kita; mengisi ruang, membentuk suasana, dan seringkali, kita anggap sebagai hak yang datang begitu saja.
Friedrich Nietzsche mungkin benar saat berkata, 'Tanpa musik, hidup adalah sebuah kesalahan.' Tapi rasanya kita perlu menambahkan sedikit catatan kaki pada kutipannya: bagi siapa? Ironisnya, dalam harmoni yang kita nikmati itu, seringkali ada disonansi yang begitu sunyi hingga nyaris tak terdengar suara kantung kering sang pencipta lagu.
Ini bukan sekadar perasaan, ini adalah fakta industri yang disebut value gap, sebuah istilah yang terus-menerus diangkat dalam laporan tahunan IFPI, yang menunjukkan betapa timpangnya nilai yang dinikmati pengguna dengan yang diterima oleh kreatornya.
Lalu, datanglah upaya untuk menata ulang harmoni ini. Aturan royalti yang ditegaskan oleh lembaga seperti WAMI, pada intinya, adalah sebuah langkah yang sangat perlu. Bagi saya, ini seperti gema dari pemikiran Aristoteles berabad-abad lalu, bahwa 'terpisah dari hukum dan keadilan, manusia adalah yang terburuk dari semua binatang.'
Aturan ini adalah upaya untuk menjadi lebih beradab. Keadaan ini tidak terbantu, malah seringkali diperkeruh, oleh pernyataan-pernyataan dari para pembuat kebijakan itu sendiri. Pernyataan mereka sering terasa terjebak dalam polemik, seolah menjadi balon percobaan yang sengaja dilepaskan untuk 'cek ombak' reaksi publik.
Akibatnya bisa kita tebak: potongan video, kutipan yang dipenggal, atau spekulasi liar dengan cepat menjadi realitas baru di dunia maya, memicu badai perdebatan yang seringkali jauh dari substansi. Kebisingan informasi ini mengubah disonansi yang seharusnya bisa diredam melalui dialog menjadi polemik yang membingungkan.
Maka, tak heran jika bagi pemilik kafe kecil yang mengandalkan playlist untuk membangun jiwa tempatnya, hingga manajer hotel dan restoran yang tiba-tiba harus memasukkan 'lisensi audio' sebagai pos pengeluaran baru dalam laporan laba-rugi mereka, dentuman akor ini terasa mengejutkan dan mengganggu. Musik yang tadinya menjadi elemen pemersatu dan pembentuk ambience, kini terasa seperti not yang salah dan membebani.
Di tengah keruwetan antara niat mulia dan realita yang pelik ini, muncul pemain baru dari dimensi yang sama sekali berbeda: Kecerdasan Buatan (AI). Ia datang bukan sebagai penengah, melainkan sebagai disrupsi total.
AI adalah bukti nyata dari adagium Marshall McLuhan yang semakin relevan: 'Kita membentuk alat-alat kita, dan setelahnya alat-alat itu membentuk kita.' AI yang kini bisa menciptakan musik orisinal dalam hitungan detik telah mulai membentuk ulang lanskap audio kita.
Disrupsi ini bukan lagi sekadar teori. Lembaga sekelas Goldman Sachs bahkan sudah menghitung potensi ekonomi masif dari AI generatif ini. Bagi pemilik usaha yang pusing dengan lisensi, AI menawarkan jalan pintas yang menggiurkan.
Secara hukum pun, ada celah yang sangat nyata. Undang-Undang Hak Cipta kita, juga panduan dari U.S. Copyright Office, sama-sama mensyaratkan adanya "orang" sebagai pencipta. AI, sejauh ini, bukanlah subjek hukum itu.
Lantas, apakah ini akhir dari musisi manusia? Saya rasa tidak. Ini adalah sebuah paksaan untuk berevolusi. Kita tahu bahwa yang bertahan bukanlah yang terkuat, melainkan 'ia yang paling responsif terhadap perubahan.'
Musisi kini punya peran baru yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya: menjadi "pawang AI", menjadi kurator rasa yang menggunakan teknologi sebagai kuasnya. Seperti yang dibayangkan Kevin Kelly dalam bukunya The Inevitable, masa depan adalah tentang kolaborasi manusia dengan mesin.
Di sisi lain, para "konduktor" ekosistem kita pemerintah dan LMK juga harus belajar memainkan dinamika baru. Mereka tidak bisa lagi memainkan satu volume untuk semua. Perlu ada kelembutan untuk UMKM, dan ketegasan untuk korporasi besar, mungkin melalui model lisensi yang lebih adaptif.
Pada akhirnya, saya melihat kondisi ini bukanlah sebuah pilihan biner antara harmoni atau disonansi. Komposer legendaris Igor Stravinsky percaya bahwa musik pada dasarnya adalah tentang tatanan.
Mungkin disonansi yang kita rasakan saat ini adalah bagian dari proses menuju sebuah tatanan yang lebih tinggi, sebuah harmoni yang lebih kompleks dan adil.
Tugas kita bersama adalah menjadi konduktor yang bijaksana, yang tidak takut pada akor-akor baru yang menantang, namun cukup peka untuk memastikan tidak ada instrumen yang suaranya mati dalam orkestra besar ini.
Dengan begitu, kita mungkin bisa menciptakan sebuah simfoni baru untuk Indonesia, di mana musik tidak hanya memperkaya jiwa pendengarnya, tapi juga menghidupi para penciptanya.
***
*) Oleh : Dr. Redy Eko Prastyo, S.Psi., M.I.Kom., Dosen Fakultas Vokasi UB, Departemen Digital dan Industri Kreatif, Prodi Design.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |