https://malang.times.co.id/
Opini

Paus Fransiskus dan Warisan Kasih yang Tak Akan Pernah Mati

Senin, 21 April 2025 - 20:49
Paus Fransiskus dan Warisan Kasih yang Tak Akan Pernah Mati Paus Fransiskus melambaikan tangan saat menghadiri peluncuran mobil listrik kepausan baru di Vatikan, 4 Desember 2024. (FOTO: AFP/FILIPPO MONTEFORTE)

TIMES MALANG, JAKARTA – Tak banyak tokoh dunia yang mampu menembus sekat-sekat keyakinan, ras, atau budaya dengan begitu lembut namun kuat. Paus Fransiskus adalah satu dari sedikit yang bisa. Dan ketika kabar wafatnya pada Senin pagi, 21 April, menyebar dari Vatikan ke seluruh dunia, terasa seperti sebuah simpul yang pelan-pelan terlepas dari sejarah hidup umat manusia.

Ia bukan sekadar pemimpin Gereja Katolik Roma. Ia adalah suara nurani dunia. Seorang lelaki sederhana dari Buenos Aires yang tak pernah bercita-cita menjadi tokoh besar, namun justru menorehkan jejak kepemimpinan yang akan dikenang lintas generasi.

Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio pada 17 Desember 1936. Anak dari keluarga imigran Italia yang merantau ke Argentina untuk hidup lebih baik. Dari masa kecilnya, ia akrab dengan nilai-nilai kerja keras, kejujuran, dan—yang kelak menjadi ciri khasnya—kepedulian pada mereka yang terpinggirkan.

Ketertarikannya pada kehidupan religius datang bukan dari kemewahan altar, melainkan dari perjumpaan dengan realitas umat. Ia bergabung dengan ordo Yesuit dan ditahbiskan sebagai imam pada tahun 1969. Sejak itu, seluruh jalan hidupnya adalah tentang pelayanan. Ia bukan tipe yang senang tampil di depan, tapi justru karena itulah ia begitu menonjol. Ia menjadi uskup, lalu Uskup Agung Buenos Aires, sebelum akhirnya dunia mengenalnya sebagai Paus ke-266 pada 13 Maret 2013.

Yang pertama dari Amerika Latin. Yang pertama dari ordo Yesuit. Dan yang pertama mengambil nama “Fransiskus”, nama seorang santo yang hidup dalam kemiskinan dan cinta pada semua makhluk ciptaan.

Sejak hari pertama, ia sudah mengirimkan pesan: kepausan ini akan berbeda. Ia meninggalkan istana megah Vatikan dan memilih tinggal di rumah tamu sederhana. Ia menolak mobil mewah, memilih sedan biasa. Ia memangku bayi-bayi di pelukannya, mencuci kaki para narapidana, dan berbicara langsung kepada rakyat dalam bahasa kasih yang tak rumit.

Kepemimpinan yang Membumi dan Menggetarkan

Dalam dunia yang dipenuhi konflik dan jurang ketimpangan, kehadiran Paus Fransiskus seperti angin lembut yang menenangkan. Tapi jangan salah, di balik kelembutannya tersimpan keteguhan yang menggetarkan. Ia tidak ragu mengkritik ekonomi global yang serakah, menegur para pemimpin dunia yang abai terhadap kemanusiaan, dan mendorong gereja untuk lebih membuka diri terhadap perbedaan.

Ia berbicara tentang krisis lingkungan dengan suara seorang gembala, bukan aktivis. “Laudato Si’” menjadi ensiklik yang tidak hanya dibaca oleh umat Katolik, tetapi juga oleh aktivis lingkungan, ilmuwan, dan pemimpin dunia yang sadar akan darurat iklim.

Ia membuka ruang diskusi tentang LGBT, keluarga nontradisional, dan peran perempuan di Gereja. Meski tidak semua langkahnya diterima tanpa kritik, ia menunjukkan satu hal penting: Gereja harus berjalan bersama umat manusia, bukan meninggalkannya di belakang.

Indonesia dan Cinta yang Ditinggalkannya

Bagi rakyat Indonesia, sosok Paus Fransiskus bukan sekadar kabar dari Vatikan. Ia hadir, benar-benar hadir, dalam lawatannya yang penuh makna pada 3–6 September 2024. Misa Akbar di Stadion Gelora Bung Karno menjadi saksi kehangatan iman yang memeluk ribuan umat dari seluruh penjuru negeri. Namun bukan hanya umat Katolik yang tersentuh. Seluruh bangsa Indonesia menyambutnya, karena ia datang bukan sebagai pemimpin agama semata, tapi sebagai simbol damai yang universal.

Momen paling menggugah adalah ketika ia berdiri di Masjid Istiqlal, rumah ibadah umat Muslim terbesar di Asia Tenggara. Dalam diam penuh makna, Imam Besar Nasaruddin Umar mengecup kepala Paus, dan Paus membalasnya dengan mencium tangan sang imam. Sebuah gestur kecil, namun mengandung pesan besar: kasih melampaui doktrin. Hormat tidak mengenal batas agama.

Dari peristiwa itu, dunia melihat bahwa dialog antaragama bukan utopia. Ia mungkin. Ia nyata. Dan Paus Fransiskus mewujudkannya dengan tubuh dan jiwanya.

Lebih dari Seorang Paus, Ia Adalah Hati yang Berdenyut untuk Dunia

Paus Fransiskus bukanlah pemimpin yang memimpin dari balik mimbar. Ia berjalan bersama umatnya. Ia mendengarkan. Ia menangis. Ia marah ketika ketidakadilan melukai sesama manusia. Ia gembira saat dunia bersatu dalam harapan.

Ia membuat banyak dari kita yang bukan umat Katolik ikut merasa kehilangan. Karena dalam dirinya, ada refleksi nilai-nilai universal: cinta, empati, kerendahan hati, dan keberanian untuk berkata benar meski sendirian.

Kini, dunia harus belajar hidup tanpa sosoknya. Tapi warisannya terlalu dalam untuk dilupakan. Bukan karena jabatan yang disandangnya, tetapi karena hidup yang dijalaninya.

Ia telah mengajarkan kita satu pelajaran sederhana tapi sangat berharga: menjadi religius bukan berarti menjadi paling suci, tapi menjadi paling peduli.

Akhir yang Bukan Akhir

Pagi itu, 21 April, pukul 07.35 waktu Vatikan, dunia kehilangan suara lembut yang selama ini mengingatkan kita pada nilai-nilai kemanusiaan. Namun sejatinya, Paus Fransiskus tidak benar-benar pergi. Ia tinggal dalam setiap upaya dialog lintas iman. Dalam setiap pelukan bagi mereka yang tersisih. Dalam setiap langkah kecil yang menolak diam di hadapan ketidakadilan.

Dunia memang berkabung, tapi juga bersyukur. Karena pernah, seorang pria dari Buenos Aires menunjukkan pada kita bahwa kasih bukan hanya untuk dikhotbahkan, tapi untuk dijalani.

Terima kasih, Paus Fransiskus. Engkau mungkin telah wafat, tetapi kasihmu tidak akan pernah mati. (*)

Pewarta : Ferry Agusta Satrio
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.