https://malang.times.co.id/
Opini

Perang Tarif dan Dedolarisasi

Kamis, 17 April 2025 - 15:22
Perang Tarif dan Dedolarisasi Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

TIMES MALANG, JAKARTA – Jika kita pergi ke Amerika Serikat dan mengikuti kampanye pemilihan presiden Donald Trump di Connecticut, New York 2024 yang lalu, maka kita akan melihat spanduk-spanduk bertuliskan "Make America Great Again" menghiasi pemandangan di sekeliling kita. Orang-orang berjejer sambil membawa tulisan tersebut dan berharap Trump akan terpilih kembali dan membawa Amerika lebih maju.

Benar saja, Trump akhirnya terpilih menjadi Presiden Amerika yang ke-47. Dua bulan setelah dilantik di Gedung Putih, Trump langsung mengejutkan dunia dengan beragam kebijakan kontroversialnya, mulai dari agenda pencaplokan Greenland, ambisi menarik Kanada menjadi negara bagian ke-51 AS, termasuk perang tarif yang melibatkan negara-negara besar seperti Tiongkok, Uni Eropa, dan negara lainnya.

Amerika menaikkan tarif impor pada 57 negara, termasuk Indonesia. Mayoritas negara terkena tarip telah menghubungi Amerika untuk melakukan negosiasi. Namun, hal tersebut tidak berlaku bagi China.

Dengan strateginya, China membalas tarif Trump dengan menaikkan tarif impor barang Amerika Serikat ke China. Perang tarif antara Amerika dan China ini berlangsung dengan alot. Sampai Rabu, 16 April 2025, perang tarif antara Amerika dan China masih terjadi, bahkan Amerika berencana mengenakan tarif 245 persen bagi China setelah sebelumnya dibalas China 125 persen.

Ketegangan akibat perang tarif ini mengganggu perekonomian global. Kondisi perekonomian pasca kenaikan tarif impor AS mengalami gejolak karena kurangnya rantai pasok dan meningkatnya biaya produksi.

Bahkan, mengutip pernyataan JP Morgan pada laman time.com 9 April 2025, guncangan ekonomi akibat perang tarif Trump mengakibatkan adanya resesi yang diperkirakan mengalami kenaikan dari 40% menjadi 60% pada tahun ini.

Namun, di sisi lain, AS juga mengalami penurunan daya saing produk di pasar internasional. Tarif yang tinggi mengurangi daya saing produk AS di negara-negara mitra dagang, sementara barang-barang impor menjadi lebih mahal, sehingga mengurangi akses AS terhadap barang-barang penting.

Perusahaan-perusahaan AS yang bergantung pada bahan baku dari luar negeri menghadapi kesulitan produksi, menghambat kemampuan mereka untuk memenuhi permintaan domestik maupun global. Selain itu, biaya barang impor yang lebih tinggi menyebabkan inflasi domestik yang membebani konsumen AS, yang kemudian memperburuk daya beli mereka.

Rontoknya bursa saham dan anjloknya dolar menambah daftar dampak negatif kebijakan perang tarif Trump. Mengutip laporan Reuters pada 9 April 2025, Dow Jones Industrial Average turun 307,75 poin (0,72%) ke 42.492,47, dan S&P 500 kehilangan 74,89 poin (1,30%) menjadi 5.695,31. 

Sementara itu, Nasdaq Composite anjlok 371,78 poin (2,03%) ke 17.826,75. Saham-saham teknologi dengan kapitalisasi besar mengalami tekanan; Nvidia turun 2,2%, sementara Meta dan Amazon.com masing-masing merosot lebih dari 3%.

Penurunan harga saham akibat perang tarif membuat kepercayaan investor terhadap kestabilan ekonomi Amerika mulai perlahan hilang. Para investor mulai memindahkan uang mereka dari Amerika Serikat karena dianggap tidak aman lagi.

Negara-negara lain mulai berpikir dua kali untuk berinvestasi di pasar AS sehingga mempercepat pergeseran pengaruh ekonomi ke negara-negara seperti Tiongkok dan negara-negara di Asia Tenggara yang lebih terbuka terhadap perdagangan bebas. 

Akibatnya, demo besar-besaran terjadi di 51 negara bagian dalam rangka mengkritik kebijakan Trump yang dalam istilah Eminem disebut dengan "F*** Trump!". Di kancah internasional, terjadi penurunan kepercayaan terhadap Amerika seperti adanya seruan dedolarisasi dan melawan Amerika.

Meskipun kebijakan proteksionisme ini bertujuan melindungi industri dalam negeri dan mengurangi defisit perdagangan AS, namun kebijakan Amerika tersebut merubah peta hegemoni Amerika yang telah dibangun selama ini. 

Negara-negara mitra dagang Amerika seperti China, Rusia, Uni Eropa, dan Kanada mulai mengurangi ketergantungan terhadap dolar dalam transaksi mereka dan menggunakan mata uang negara masing-masing dalam transaksi ekspor-impor.

Dedolarisasi dan Penurunan Hegemoni Amerika

Kebijakan kenaikan tarif impor Donald Trump memicu perubahan signifikan dalam pola hubungan internasional yang mulai meruntuhkan pengaruh ekonomi global AS. Alih-alih memberikan keuntungan, kenaikan tarif oleh Amerika malah membuat negara mitra dagang ramai-ramai mulai meninggalkan Amerika.

Kepemimpinan Amerika Serikat di berbagai institusi global seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam mengatur perekonomian dunia perlahan mengalami penurunan. China secara diam-diam melobi banyak negara untuk melepas dolar Amerika Serikat (AS) dan menggunakan yuan sebagai mata uang internasional.

Negara-negara seperti Rusia, Brasil, India, Kazakhstan, Pakistan, hingga Laos bersama dengan China sudah mulai untuk meninggalkan dolar AS dan sepakat menggunakan mata uang yuan atau mata uang lokal negara masing-masing dalam transaksi perdagangan internasional.

Menurut analis dari Deutsche Bank, langkah perang tarif oleh Amerika sebagai "pedang bermata dua" bagi AS. Di satu sisi, Amerika ingin mencegah dedolarisasi, sayangnya di sisi lain, perang tarif malah mempercepat dedolarisasi.

Lebih jauh, Eropa yang selama ini sebagai sekutu Amerika mulai meragukan apakah mereka masih dapat mengandalkan dolar untuk menyediakan pendanaan. Kepercayaan mereka terhadap dolar terguncang akibat kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Trump.

Upaya dedolarisasi ini memberikan keuntungan kepada BRICS yang memang mencoba menyaingi hegemoni Amerika. Dominasi dolar AS yang mencapai 90 persen dari semua perdagangan mata uang global mendorong BRICS untuk mencetak uang baru dalam rangka mengurangi dominasi mata uang dolar Amerika Serikat (AS).

Bagi Indonesia, upaya dedolarisasi harus dilihat sebagai kesempatan untuk memperkuat posisi ekonomi domestiknya dan meningkatkan kerja sama multilateral. Indonesia perlu melakukan Diversifikasi Mata Uang dalam Perdagangan Internasional. Sebagai negara mitra dagang dalam transaksi internasional, Indonesia dapat memperluas penggunaan mata uang lokal. 

Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan penggunaan rupiah dalam perdagangan bilateral dengan negara-negara yang berpotensi mengurangi ketergantungannya pada dolar AS, seperti dengan China, India, atau negara-negara anggota BRICS lainnya. Langkah ini akan mengurangi volatilitas yang dipicu oleh fluktuasi dolar dan menciptakan lebih banyak stabilitas dalam transaksi perdagangan Indonesia. (*)

***

*) Oleh : Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.