TIMES MALANG, JAKARTA – Ada satu hal yang menarik di antara agenda kunjungan Presiden Prabowo ke India pada 23-26 Januari 2025 lalu bagi para pegiat literasi, pustakawan, para penulis, pecinta buku dan pelaku industri perbukuan di Indonesia. Yaitu di tengah kesibukan Prabowo menghadiri Perayaan Ke-76 Hari Republik India dan melakukan pertemuan bilateral, juga menyempatkan belanja buku di New Delhi.
Menurut keterangan Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya kepada Antara (24/1/2025), Presiden Prabowo memborong banyak buku. Mulai dari buku bertema sejarah hingga ekonomi di Bahrisons Booksellers, kawasan Khan Market. Toko buku di pinggir jalan yang sudah berdiri sejak 1953 dan merupakan toko buku langganan Prabowo setiap berkunjung ke Delhi.
Tentu kegemaran Prabowo belanja buku itu, turut menghembuskan angin segar bagi para pegiat literasi, pustakawan, para penulis, pecinta buku dan pelaku industri perbukuan di Indonesia. Di tengah geliat dunia literasi tanah air yang masih belum benar-benar hidup dan industri perbukuan yang masih berjuang keras melawan gempuran gaya hidup baru di tengah masyarakat dengan kemajuan teknologi digital dan media sosial.
Terlebih ini bukan pertama kalinya Prabowo memborong buku. Sebelumnya di sela-sela kunjungan kerja ke Ameria Serikat pada November 2024 lalu, Prabowo juga belanja buku di Second Story Books, Washington DC. Tidak hanya ketika berpergian ke luar negeri Prabowo suka belanja buku. Saat masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada 2022, Prabowo di sela menghadiri acara KTT G20 di Bali juga berburu buku.
Di tengah kesibukan usai melantik kepemimpinan Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jawa Tengah dan Yogyakarta 2022 silam, Prabowo pun belanja buku di Pasar Buku Taman Pintar Yogyakarta. Aktivitas berburu buku bacaan biasa dilakukan oleh Prabowo, baik dalam kunjungan ke luar negeri atau pun di dalam negeri.
Kebutuhan dan Pembelian Buku
Jika mengingat peran penting buku sebagai gerbang bagi investasi jangka panjang kemajuan suatu negara-untuk mencerdaskan anak bangsa. Melihat data-data kebutuhan buku di Indonesia, memang masih pada kondisi memprihatinkan-jika tidak disebut sebagai menyedihkan.
Pasalnya, seperti dinyatakan Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas), Deni Kurniadi, jumlah capaian koleksi di perpustakaan daerah, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia, rasionya adalah 1:90.
Itu artinya, 1 buku ditunggu oleh 90 orang. Jumlah koleksi ini tentu masih sangat kurang jika dibandingkan dengan rasio kebutuhan penduduk di Indonesia, karena menurut standar UNESCO adalah 1 orang membaca 3 buku baru per tahun (perpusnas.go.id, 25/5/2022).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 dan kajian penerbitan, juga menunjukkan angka masih minim. Secara nasional, jumlah terbitan sejak 2015-2020 sebanyak 404.037 judul buku dengan jumlah penerbit aktif secara nasional sebanyak 8.969 penerbit.
Jumlah terbitan buku secara nasional jika dibandingkan dengan jumlah masyarakat Indonesia menghasilkan rasio sebanyak 1:514. Artinya, jumlah terbitan secara nasional juga tidak mencukupi dibandingkan dengan jumlah penduduk di Indonesia.
Di sisi lain, berdasarkan pengamatan dari Business Development Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Esthela Yeanette, penjualan buku cetak masih naik tiap tahun. Novel masih mendominasi penjualan, tetapi buku nonfiksi, seperti buku sosial, ilmu pengetahuan alam, dan pengembangan diri (self-improvement) juga makin diminati.
Meski ia tak menampik, bahwa sejumlah genre menurun penjualannya, antara lain komik. Tetapi khusus komik, penjualan menurun karena pembaca mulai beralih ke komik digital. Hal itu menurutnya, juga menunjukkan popularitas e-book yang meningkat, meski posisinya belum mengalahkan buku cetak (kompas.id, 17 Mei 2024).
Adapun jika mengacu pada laporan penelitian platform e-commerce global Picodi.com, 15 April 2019 silam, terhadap pembelian buku di Indonesia dan di seluruh dunia, juga menunjukkan hasil selaras. Pembelian buku cetak kertas adalah yang paling populer di Indonesia.
Terdapat 55% responden memesan buku secara online dan 73% membeli buku di toko buku konvensional. Namun Indonesia, menempati posisi relatif rendah pembelian bukunya, dengan hanya 67% orang yang membeli setidaknya satu buku selama setahun terakhir. Hal itu membuat Indonesia di posisi setara dengan negara-negara seperti Peru dan Afrika Selatan.
Dan yang paling menarik adalah, pada 2020 silam, berdasarkan Laporan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), diperkirakan ada 572.260 orang yang bekerja pada subsektor penerbitan pada 2021. Industri penerbitan, berkontribusi Rp69,07 triliun atau 7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Jika dibandingkan, misalnya, dengan industri elektronik yang menyumbang kurang dari 2 persen PDB.
Tentu industri perbukuan dan penerbitan ini sebenarnya menjanjikan di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 272,27 juta jiwa. Namun sangat disayangkan, sumbangsih industri buku terhadap perekonomian dan mencerdaskan anak bangsa, hingga saat ini masih belum mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Pentingnya Budaya Membeli Buku
Di tengah banyak platform dan marketplace yang kini juga menjadi tempat untuk berjualan buku. Seharusnya bukan menjadi persoalan lagi terkait akses untuk membeli sebuah buku. Sederhananya, tinggal mengakses buku yang dibutuhkan dan diinginkan di platform atau marketplace, lalu klik pilih, buku tinggal menunggu sampai di alamat tujuan pembeli. Bisa dibayar langsung atau bahkan bisa juga dengan COD (Cash on Delivery), yang artinya bayar di tempat setelah diterima bukunya.
Banyak penerbit juga menyediakan pembelian sistem online melalui website atau media sosialnya. Toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia pun menyediakan platform untuk pembelian buku cetak maupun digitalnya. Hal itu menunjukkan jika saat ini sebenarnya untuk membeli sebuah buku sudah sangat dimudahkan dengan kemajuan teknologi.
Kalaupun mau beli di toko buku secara langsung sekaligus sebagai media refresing setelah jenuh kesibukan aktivitas, juga bisa dilakukan. Terlebih saat ini banyak toko buku yang sekaligus didesain sebagai coffee shop, seperti baru-baru ini di Gramedia Matraman, dan sebagainya. Tempatnya sangat nyaman buat belanja buku sembari menikmati kopi bersama teman atau keluarga.
Itulah mengapa, bisa disimpulkan jika sebenarnya akar dari kurangnya minat pembeli buku di tengah masyarakat, bukan persoalan akses terhadap buku. Melainkan terkait budaya dalam membeli buku. Ini yang hemat penulis penting untuk ditumbuhkan di tengah masyarakat.
Terlebih berdasarkan penelitian platform e-commerce global Picodi.com, dari mana orang Indonesia mendapatkan buku, menunjukkan data sebanyak 47% menyatakan, mereka membeli buku di toko buku konvensional, lebih sedikit pembaca sekitar 31% meminjam dari perpustakaan, serta hanya 12% yang meminjam dari teman.
Jadi membaca buku hasil dari membeli, masih menduduki porsi paling besar dibandingkan membaca buku pinjaman di perpustakaan. Atau meminjam dari teman. Jika budaya membeli buku berhasil ditumbuhkan, tentu juga akan berdampak pada multiplier effect untuk menghidupkan geliat industri perbukuan nasional.
Tidak hanya sekadar daya literasi masyarakat naik signifikan, namun sekaligus juga penerbit, penulis, dan seluruh elemen yang ada di industri perbukuan, turut mendapatkan manfaat dari sisi ekonominya.
Dan sebuah realitas yang terjadi di tengah masyarakat, kerapkali buku hingga saat ini masih dianggap mahal, memang tidak bisa dipungkiri. Ini juga bisa diindikasikan sebagai salah satu penghambat minat pembelian buku di Indonesia. Meski hal ini tidak sepenuhnya bisa dibenarnya.
Pasalnya di tengah budaya masyarakat yang gemar ‘ngopi’ atau belanja online. Harga buku nilai manfaatnya dalam jangka panjang, tidak sebanding dengan kenikmatan sesaat segelas kopi sebatas habis setelah diminum, atau barang-barang yang dipakai punya jangka waktu terbatas.
Seharusnya dengan nominal harga buku yang diproduksi dari jerih payah pemikiran penulis dalam waktu tidak singkat, melalui riset, dan diproses oleh tenaga profesional dalam desain dan tata letaknya, hingga dicetak bagus agar enak dan nyaman dibaca pembaca. Tentu harga yang ditawarkan masih sangat worth it.
Terlebih jika berkaca bagaimana jerih payah para pendahulu pendiri bangsa ini untuk mendapatkan buku, demi mendapatkan akses keilmuan. Bung Hatta dikisahkan, sewaktu kecil selalu menyisihkan uang sakunya sebesar satu gobang (25 sen) untuk dibelikan buku. Bahkan sampai ia berkeluarga, ia hampir tidak punya deposito karena semua uang miliknya digunakan untuk membeli buku.
Demikian halnya Presiden RI ketiga, B.J. Habibie. Di kisahkan beliau saat kuliah di Jerman, setiap kali liburan waktunya digunakan untuk bekerja mencari uang. Hasil uang itu bukan untuk senang-senang, melainkan digunakan untuk membeli buku. Karena dengan begitulah ia bisa membeli buku yang dibutuhkan selama kuliah.
Itu artinya, membeli buku sebenarnya terletak kepada prioritas seseorang dalam memandang sebuah buku. Bukan soal harga. Jika seseorang menempatkan buku menjadi sebuah kebutuhan primer, maka akan selalu diutamakan untuk bisa membelinya. Berbeda hal jika sekadar diposisikan sebagai kebutuhan skunder, apalagi tersier.
Adapun budaya membeli buku, umumnya selalu ditumbuhkan dari keluarga atau dari lingkungan seseorang. Prabowo pun sebagaimana dikisahkan di berbagai media, kecintaannya kepada buku juga sangat dipengaruhi dari keluarga.
Di mana sosok orang tuanya, Soemitro Djojohadikusumo, yang biasa memberikannya hadiah buku ketika ulang tahun. Adapun alasan kenapa Prabowo kerap memborong buku. Tidak lain karena sedari kecil sudah sangat suka membaca. Namun dulu tidak pernah punya uang. Karena itulah, sekarang ia ingin mengejar ketertinggalan.
Tidak dipungkiri, dengan banyaknya pemberitaan Prabowo tentang kegemarannya membaca dan memborong buku. Banyak menginspirasi masyarakat. Hal itu tidak bisa dinafikan. Namun tentu saja tidaklah cukup jika untuk menumbuhkan budaya membaca dan membeli buku di Indonesia, sebatas sampai memberikan inspirasi saja tanpa dilanjutkan menjadi sebuah program, dengan strategi yang lebih matang untuk bisa dilakukan secara masif bersama jajaran stakeholder terkait di kabinet pemerintahannya.
Karena menyangkut untuk mendongkrak industri perbukuan, dibutuhkan juga program yang mendobrak, seperti halnya gebrakan yang dilakukan untuk merealisasikan pogram Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak Indonesia.
Terlebih untuk menciptakan generasi cerdas bangsa Indonesia, bukan hanya asupan gizi untuk perut saja yang dibutuhkan. Namun justru asupan gizi untuk otak dari bahan bacaannya, yakni buku, juga sangatlah penting untuk diberikan.
***
*) Oleh : Rochmad Widodo, Founder Penerbit Biografi Indonesia, dan Aktif sebagai Penulis Biografi Tokoh-tokoh Nasional.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |