TIMES MALANG, SURABAYA – Kemajuan artificial intelligence (AI) semakin memperuncing rivalitas antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Salah satu pemain terbaru yang menggemparkan dunia adalah DeepSeek, model AI asal Tiongkok yang diklaim memiliki performa seperti GPT-4 dan Gemini. Kehebohan ini bukan hanya soal persaingan inovasi, tetapi juga menyentuh aspek geopolitik dan supremasi teknologi.
DeepSeek bukan sekadar proyek teknologi biasa. Ini adalah bukti keseriusan Tiongkok dalam membangun ekosistem AI yang mampu menyaingi dominasi Barat. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan perusahaan teknologi raksasa seperti Tencent dan Baidu, DeepSeek menjadi bagian dari strategi jangka panjang Beijing untuk mencapai kemandirian teknologi.
Perkembangan AI di Tiongkok tentu saja bukan tanpa alasan. Negara ini telah lama merancang rencana besar dalam bidang AI, yang terangkum dalam New Generation Artificial Intelligence Development Plan 2017. Targetnya jelas yaitu menjadi pemimpin dunia dalam AI pada tahun 2030.
Dengan sumber daya manusia yang melimpah, investasi besar-besaran, serta akses luas terhadap data dalam skala masif, Tiongkok memiliki semua komponen yang diperlukan untuk menyalip dominasi Amerika Serikat.
Kehadiran DeepSeek tentu tidak disambut dengan tangan terbuka oleh Amerika Serikat. Selama ini, Silicon Valley menjadi pusat inovasi AI dengan perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Meta yang menguasai panggung global. Namun, dominasi ini mulai goyah ketika Tiongkok menunjukkan kemampuannya dalam mengembangkan teknologi yang kompetitif.
Amerika Serikat telah mengambil berbagai langkah untuk membendung laju Tiongkok dalam AI, mulai dari pembatasan ekspor chip canggih yang diproduksi oleh NVIDIA hingga tekanan terhadap perusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Beijing. Namun, langkah ini tampaknya tidak cukup efektif, mengingat Tiongkok terus berinovasi dengan sumber daya lokal.
Lebih dari sekadar persaingan teknologi, perkembangan DeepSeek menunjukkan bahwa AI kini menjadi arena baru dalam ketegangan geopolitik. Seperti dalam Perang Dingin, di mana persaingan teknologi terjadi dalam bentuk perlombaan senjata dan eksplorasi luar angkasa, kini AI menjadi panggung utama untuk menunjukkan supremasi nasional.
Apakah DeepSeek akan benar-benar mampu menggoyahkan dominasi AI Amerika Serikat? Jawabannya belum pasti. Namun satu hal yang jelas, dengan semakin baik inovasi AI dari Tiongkok, Amerika tidak bisa lagi bersantai. Jika tidak ingin terusik lebih jauh, maka satu-satunya pilihan adalah mempercepat inovasi atau mencari strategi baru dalam menghadapi kebangkitan AI.
Penelitian pada Tahun 2020 yang dilakukan sebelumnya oleh Alex Stone dan Peter Wood menunjukkan bahwa Amerika Serikat melihat kemajuan pesat Tiongkok di bidang AI sebagai ancaman terhadap posisi hegemoniknya, terutama dengan implementasi strategi Made in China dan Military Civil Fusion yang menggabungkan pengembangan teknologi sipil dan militer. Sebagai respon, Amerika Serikat menerapkan kebijakan proteksionis guna membatasi pengaruh teknologi Tiongkok.
Selain itu, isu privasi data dan penggunaan AI untuk pengawasan massal menambah ketegangan antara kedua negara, terutama terkait peran perusahaan teknologi seperti Huawei. Fenomena ini mencerminkan dinamika persaingan teknologi antara kedua negara, dengan implikasi luas terhadap stabilitas keamanan internasional.
Namun, Fenomena persaingan teknologi kecerdasan buatan antara DeepSeek dari Tiongkok dan reaksi Amerika Serikat dapat dianalisis melalui teori hegemonic stability yang dikemukakan oleh Charles Kindleberger.
Teori ini menyatakan bahwa tatanan ekonomi dan politik global cenderung stabil ketika ada satu negara dominan yang mengatur sistem internasional. Dalam hal ini Amerika Serikat sebagai hegemon teknologi, merasa terusik oleh kemunculan DeepSeek yang mencerminkan kebangkitan teknologi Tiongkok.
Perspektif lain yang relevan adalah teori technological catch-up dari Moses Abramovitz, yang menjelaskan bagaimana negara-negara yang sebelumnya tertinggal secara teknologi dapat mengejar negara maju melalui investasi riset dan inovasi.
***
*) Oleh : Muhammad Syahrul Hidayat, Dosen Ilmu Ekonomi Syariah dan Metodologi Penelitian.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |