TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Dalam dunia pasar modal, buyback saham sering kali dianggap sebagai strategi jitu untuk meningkatkan nilai perusahaan dan menarik minat investor. Namun, di balik manfaat yang kerap didengungkan, terdapat sejumlah pertanyaan krusial: Apakah buyback benar-benar memberikan keuntungan bagi pemegang saham lama, atau justru menjadi sekadar ilusi yang tidak selalu berdampak positif?
Apa Itu Buyback Saham?
Buyback atau pembelian kembali saham adalah tindakan perusahaan membeli sahamnya sendiri dari pasar terbuka. Tujuannya beragam—dari meningkatkan harga saham, memperkuat Earnings Per Share (EPS), hingga menjaga stabilitas kepemilikan perusahaan.
Dalam kasus PayPal (PYPL), misalnya, perusahaan telah mengumumkan buyback senilai $15 miliar, dengan rencana $6 miliar dialokasikan pada tahun 2025.
Strategi ini sering kali dikaitkan dengan optimisme perusahaan terhadap kinerja keuangan mereka. Ketika jumlah saham yang beredar berkurang, laba bersih dibagi dengan jumlah saham yang lebih sedikit, sehingga EPS meningkat.
Investor melihat ini sebagai sinyal positif, yang bisa mendorong kenaikan harga saham di pasar. Namun, benarkah buyback selalu menguntungkan?
Efek Buyback Terhadap Valuasi Saham
Ada beberapa dampak utama dari buyback terhadap valuasi saham sebuah perusahaan:
Pertama, Meningkatkan EPS dan harga saham dengan jumlah saham beredar yang lebih kecil, laba perusahaan terbagi dalam jumlah yang lebih sedikit. Secara teori, ini meningkatkan EPS dan memperbaiki valuasi perusahaan di mata investor. Dalam banyak kasus, harga saham mengalami kenaikan sebagai akibat dari buyback.
Kedua, Menunjukkan kepercayaan manajemen ketika perusahaan mengalokasikan dana untuk buyback, hal ini sering dianggap sebagai indikasi bahwa mereka yakin terhadap fundamental bisnisnya. Investor cenderung lebih percaya diri dalam berinvestasi pada perusahaan yang menunjukkan kestabilan keuangan.
Ketiga, Mengurangi volatilitas dan meningkatkan likuiditas, buyback dapat membantu mengurangi tekanan jual dan menjaga stabilitas harga saham. Perusahaan besar seperti Apple dan Microsoft juga menggunakan strategi ini untuk memastikan saham mereka tetap likuid di pasar. Namun, strategi buyback bukan tanpa kelemahan.
Buyback Vs Penerbitan Saham Baru
Meskipun buyback bisa mengurangi jumlah saham yang beredar, perusahaan sering kali tetap menerbitkan saham baru untuk kompensasi karyawan, akuisisi, atau penggalangan dana. Ini menimbulkan paradoks: di satu sisi, perusahaan berusaha mengurangi jumlah saham, tetapi di sisi lain, mereka justru menambahnya kembali.
Dalam kasus PayPal, misalnya, perusahaan menggunakan buyback untuk meningkatkan nilai pemegang saham, tetapi mereka juga menerbitkan saham baru sebagai bagian dari program Employee Stock Option Plan (ESOP). Ini berpotensi menyebabkan dilusi kepemilikan, terutama jika saham baru dijual dengan harga lebih rendah dari harga pasar.
Apa Dampak dari Dilusi Saham
Menurunkan persentase kepemilikan pemegang saham lama, ketika saham baru diterbitkan, pemegang saham lama melihat persentase kepemilikan mereka berkurang, kecuali mereka membeli saham tambahan.
Menekan harga saham, jika penerbitan saham baru terjadi dalam jumlah besar dan dijual dengan harga lebih rendah dari harga pasar, efeknya bisa menekan harga saham lama.
Membutuhkan buyback tambahan, untuk mengimbangi dilusi, perusahaan sering kali harus terus melakukan buyback untuk menjaga valuasi dan menghindari tekanan pasar akibat penerbitan saham baru.
Menakar Manfaat Buyback
Apakah buyback saham benar-benar memberikan keuntungan jangka panjang bagi investor? Jawabannya tergantung pada bagaimana strategi ini diterapkan. Jika buyback dilakukan saat valuasi saham rendah dan diimbangi dengan kebijakan keuangan yang sehat, manfaatnya bisa signifikan.
Namun, jika perusahaan secara bersamaan menerbitkan saham baru dalam jumlah besar tanpa strategi kompensasi yang jelas, buyback bisa kehilangan efektivitasnya.
Sejumlah investor menilai buyback sebagai bentuk manipulasi harga yang dapat memberikan ilusi sementara tentang stabilitas perusahaan. Namun, jika digunakan dengan tepat, buyback bisa menjadi alat yang membantu menjaga valuasi perusahaan dan memberikan nilai tambah bagi pemegang saham.
Buyback bukanlah solusi ajaib yang menjamin kenaikan harga saham secara permanen. Ini adalah strategi yang harus diterapkan dengan keseimbangan dan perhitungan matang.
Perusahaan harus memastikan bahwa pembelian kembali saham dilakukan dengan valuasi yang tepat, serta tidak bertentangan dengan penerbitan saham baru yang dapat menyebabkan dilusi besar.
Bagi investor, memahami strategi buyback dan bagaimana perusahaan mengelola penerbitan saham baru adalah kunci dalam mengambil keputusan investasi. Tidak semua buyback berarti keuntungan, dan tidak semua dilusi berarti kerugian. Yang terpenting adalah bagaimana perusahaan mengelola ekosistem sahamnya agar tetap memberikan nilai optimal bagi pemegang saham.
***
*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |