TIMES MALANG, SITUBONDO – Pada tanggal 20 Mei disetiap tahunnya selalu diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional. Sebuah tonggak historis yang merujuk pada berdirinya Budi Utomo pada 1908 M, yang menandai kesadaran kolektif anak bangsa untuk bersatu melawan penjajahan.
Namun lebih dari sekadar peristiwa sejarah, Hari Kebangkitan Nasional mestinya juga menjadi cermin bagi kita semua, sudah sejauh mana bangsa ini “bangkit” dalam makna yang sesungguhnya?
Saat ini kita hidup di era digital, zaman yang sangat berbeda dari masa-masa pergerakan awal kebangsaan. Ruang publik kini dipenuhi oleh konten yang datang dari segala arah, cepat, massif, dan tak selalu sehat.
Ironisnya, di tengah kemajuan teknologi informasi, kita justru menghadapi tantangan besar berupa disinformasi, polarisasi sosial, hingga melemahnya rasa kebangsaan.
Media sosial yang semestinya menjadi alat pemersatu, kerap berubah menjadi ajang saling serang dan menjatuhkan. Polarisasi pascapemilu masih terasa, bahkan di antara sesama warga yang seharusnya bersaudara sebangsa.
Buzzer politik, narasi provokatif, hingga akun anonim yang menyebar kebencian, telah menodai semangat nasionalisme yang dulu diperjuangkan oleh para pendiri bangsa.
Di tengah suasana ini, kita perlu bertanya ulang “masihkah kita satu bangsa?” Masihkah kita memiliki kesadaran kolektif sebagai warga negara Indonesia yang cinta damai, beradab, dan menjunjung tinggi nilai persatuan?
Kebangkitan nasional hari ini harus dimaknai ulang. Bukan sekadar mengulang upacara seremonial atau menulis tagar di media sosial, tetapi menjadi refleksi atas kondisi keindonesiaan kita.
Bangkit di abad 21 berarti berani melawan hoaks dengan literasi, melawan perpecahan dengan narasi kebersamaan, dan membela nilai-nilai kebangsaan di ruang digital.
Peran institusi pendidikan sangat vital dalam hal ini. Sekolah, kampus, pesantren, bahkan keluarga harus menjadi tempat tumbuhnya nasionalisme yang sehat. Bukan nasionalisme yang sempit dan eksklusif, tapi nasionalisme yang inklusif, terbuka, dan ramah pada keberagaman.
Generasi muda harus diajak untuk mencintai Indonesia bukan hanya lewat lagu dan bendera, tapi juga lewat sikap aktif di ruang publik baik offline maupun online. Di sinilah pentingnya apa yang saya sebut sebagai “Nasionalisme Digital”.
Membangun semangat kebangsaan di dunia maya, lewat konten-konten positif, edukatif, dan penuh semangat kebersamaan. Sudah saatnya kita tidak menyerahkan ruang digital hanya pada mereka yang gaduh dan bising, tetapi mengisinya dengan karya dan narasi kebangsaan yang mencerdaskan.
Menjelang 20 Mei ini, mari jadikan Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar momentum peringatan, tetapi juga ajakan bersama untuk bangkit sebagai bangsa yang dewasa. Bangkit dari sikap apatis, bangkit dari budaya saling mencurigai, bangkit dari keterbelahan yang melelahkan.
Kita pernah bersatu melawan penjajahan. Kini, kita harus bersatu menjaga keindonesiaan. Karena menjadi Indonesia hari ini tidak cukup hanya lahir di negeri ini, tapi juga harus aktif merawatnya dengan nalar, narasi, dan cinta.
***
*) Oleh : Agus Nu'man, Dosen STAI Nurul Huda Kapongan Situbondo dan Pengurus di LTN PC NU Kabupaten Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |