https://malang.times.co.id/
Opini

Sains yang Terpental dari Media Sosial

Jumat, 28 Maret 2025 - 20:00
Sains yang Terpental dari Media Sosial Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Beberapa bulan terakhir, media arus utama dan warganet di media sosial mulai menyoroti gejala menurunnya minat masyarakat untuk mempelajari sains. Sains dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan yang mempelajari alam dan dunia fisik (Sitoresmi, 2023). 

Prodjo (2025) mengutip pernyataan Direktur Diseminasi dan Pemanfaatan Sains dan Teknologi (Minatsaintek) Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) yang menyatakan bahwa terjadi penurunan pendaftar perguruan tinggi di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), khususnya Prodi Fisika. 

Seperti halnya Tiongkok, Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam berbagai hal karena keunggulan jumlah penduduknya. Namun, ratusan juta penduduk di Indonesia hanya akan menjadi penonton dan target pasar negara lain jika sains tidak lagi menjadi preferensi utama penduduknya. 

Karya-karya inovatif anak bangsa berbasis teknologi akan tiarap. Kita akan semakin berada pada kondisi ketergantungan teknologi dari negara asing (Caesaria & Prastiwi, 2025). Dugaan ini semakin diperkuat dengan fakta di tahun 2023 bahwa tingkat literasi digital Indonesia sebagai yang paling rendah di ASEAN, dengan persentase sebesar 62 persen (Anam, 2023).

Ada berbagai faktor yang diduga sebagai penyebab dari menurunnya minat ini, antara lain karena metode belajar yang dinilai kurang menarik, dianggap tidak bersinggungan langsung dengan kehidupan sehari-hari, kurikulum yang kurang merangsang motivasi, keterbatasan sarana praktikum. 

Kurangnya dukungan biaya hingga rendahnya eksposur sains di media arus utama maupun media sosial (Caesaria & Prastiwi, 2025). Dari berbagai faktor tersebut, setidaknya ada dua hal yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut.

Dua hal tersebut yaitu soal anggapan masyarakat yang menilai sains tidak bersinggungan langsung dengan kehidupan sehari-hari dan rendahnya frekuensi media menampilkan tema-tema sains di dalam platform arus utama maupun yang berbasis media sosial.

Kedua faktor tersebut nampaknya bisa dikatakan memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Anggapan bahwa sains kurang relevan dengan keseharian masyarakat bisa jadi muncul karena absennya media memberikan etalase yang cukup kepada sains. 

Media sosial banyak dianggap sebagai pilihan utama masyarakat Indonesia saat ini untuk mencari informasi terkini yang dibalut dengan bentuk interaksi pengguna di dalamnya (Arianto, 2023). 

Karena ketergantungan tersebut, maka publik cenderung merasa puas dengan berbagai informasi yang sudah tersedia di media sosial. Padahal jika diperbandingkan lebih lanjut, banyak informasi penting di media arus utama yang gagal beresonansi kuat di ruang media sosial. 

Penelitian yang dilakukan (Nielsen & Schrøder, 2014) menunjukkan bahwa di banyak negara Eropa, media sosial lebih digunakan untuk kebutuhan sosial dibandingkan kebutuhan publik. Artinya media sosial digunakan sebagai pelengkap media arus utama untuk membangun partisipasi dan diskusi publik. 

Hal tersebut memang berbanding terbalik dengan warganet Indonesia yang menggunakan media sosial sebagai sumber informasi dengan persentase paling tinggi (Naurah, 2023). Hal ini menjadi pedang bermata dua, karena di satu sisi media sosial membawa akses informasi yang mudah dan murah, namun di sisi lain kualitas beritanya cenderung lebih rendah jika dibandingkan media tradisional (Shu et al., 2017). 

Kondisi yang demikian, menjadi penguat bahwa terpaan penduduk Indonesia pada konteks sains memang cukup rendah. Meskipun memang bisa saja ketika seseorang berselancar di media sosial, mereka akan sampai pada laman media arus utama secara tidak sengaja (Fletcher & Nielsen, 2018).

Media sosial yang berbasis algoritma akan cenderung banyak menampilkan konten yang dirasa menarik bagi masyarakat. Masyarakat cederung enggan mengonsumsi informasi yang berat di media sosial karena memang sifatnya yang memadukan unsur komunikasi dan hiburan (Stollfuß, 2020). 

Hal ini pula yang harus segera direspons media dan publik terkait menurunnya minat sains di kalangan masyarakat. Keunggulan terhadap penyediaan informasi yang penting dan akurat dari media arus utama, dan keunggulan iteraktivitas dan partisipatoris di media sosial akan sia-sia jika para pemangku kepentingan tidak menggunakan prinsip komunikasi sains dengan relevan dan memadai. 

Komunikasi sains bisa dipahami sebagai sebuah aktivitas untuk mengomunikasikan topik-topik sains kepada publik dengan gaya yang populer menggunakan berbagai saluran media (Rundjan, 2018).

Selain ancaman terhadap informasi berkualitas rendah yang berlalu-lalang di media sosial, secara tidak disadari algoritma telah menjauhkan masyarakat Indonesia dengan informasi sains yang berbobot namun mudah dicerna. 

Publik cenderung terpapar pada konten yang dinilai populer di masyarakat seperti podcast tentang peristiwa viral, kehidupan selebritas, pembahasan soal dunia bisnis, tragedi, skandal, berita politik dan lain sebagainya. Berkaca pada kondisi tersebut, maka komunikasi sains akan efektif jika terjadi kolaborasi berbagai ahli dan pemangku kepentingan (Fischhoff, 2019).

Sejatinya, upaya komunikasi sains, melalui media sosial dan saluran populer lainnya sudah banyak dilakukan oleh beberapa pihak. Sebagai contoh ada tayangan di saluran National Geographic yang menayangkan program Cosmos: A Spacetime Odyssey yang dibawakan oleh astrofisikawan ternama, Neil deGrasse Tyson. 

Beberapa anak-anak dan remaja mungkin juga mengenal beberapa channel youtube luar seperti Ryan’s World atau Mark Robber yang kerap melakukan percobaan sains dengan cara yang menarik. Ada juga konten Youtube di Indonesia yang membahas topik sains dengan cara menarik seperti Kok Bisa? atau Fajrul FX. Kedua akun Youtube tersebut hingga saat ini sudah memiliki jutaan pelanggan.

Melihat potensi yang baik tersebut, maka yang dibutuhkan hanyalah kolaborasi berbagai pihak dan dukungan dari pemerintah. Sebagai contoh, sistem yang ada saat ini di Indonesia mengukur kinerja dosen dari jumlah publikasi artikel di jurnal ilmiah. 

Alih-alih demikian, Kemendiktisaintek bisa memberikan stimulan dan remunerasi yang layak bagi dosen yang mampu membuat inovasi terkait komunikasi sains. Karena sejatinya, perguruan tinggi hadir bukan untuk menjadi menara gading, namun harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat atas implementasi karya sains akademisi. 

Upaya literasi digital yang mumpuni juga diperlukan agar masyarakat memiliki bekal yang mumpuni untuk tidak hanya menjadi pihak yang pasif dan tunduk pada algoritma media sosial. Komunikasi sains harus mampu membumikan ide-ide brilian peneliti sehingga sains tidak lagi dianggap kurang bersinggungan dengan keseharian masyarakat. (*)

***

*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.