TIMES MALANG, MALANG – Istilah dapur merupakan salah satu kosakata dalam Bahasa Indonesia yang secara harfiah memiliki beberapa alternatif makna, yakni: (1) ruang tempat memasak; (2) tempat membakar batu bata, batu kapur, dan sebagainya; serta (3) tungku atau perapian (KBBI, 2002). Pada pengertian pertama, dapur dipahami sebagai suatu ruang yang integral dalam lingkungan rumah tinggal, yang secara spesifik berfungsi sebagai tempat memasak.
Umumnya, dapur terletak di bagian belakang rumah, meskipun ada pula yang berada di sisi samping-belakang atau bahkan berdiri sebagai bangunan terpisah yang terhubung dengan rumah induk.
Sebagai tempat untuk memasak, dapur dapat bersifat privat maupun kolektif. Dapur privat adalah milik pribadi suatu keluarga, sedangkan dapur kolektif, seperti “dapur umum”, merupakan tempat menyediakan makanan secara cuma-cuma bagi banyak orang, biasanya dalam situasi darurat, bencana, atau hajatan besar.
Dalam momentum tertentu, dapur keluarga yang sehari-harinya bersifat privat dapat berubah fungsi menjadi dapur kolektif, misalnya saat keluarga mengadakan hajatan. Oleh sebab itu, ukuran dapur sering kali dibuat cukup besar agar dapat menampung banyak orang yang membantu proses memasak, atau yang disebut rewang (biodo), yakni tenaga bantuan dalam kegiatan memasak pada pihak yang mempunyai hajat.
Ragam Sebutan Dapur
Kata dapur tidak hanya terdapat dalam Bahasa Indonesia, tetapi juga ditemukan dalam Bahasa Jawa Kuna dan Jawa Tengahan dengan beberapa arti yang berbeda, seperti: (1) berjongkok, mendekam, membungkukkan badan, atau bertekuk lutut; (2) rumpun (pohon atau bambu) atau kesatuan sosial pedesaan; dan (3) sejenis bahan kain (Zoetmulder, 1995:196). Dalam pengertian “rumpun bambu”, dikenal istilah pring sedapur yang berarti serimbunan bambu. Istilah ini juga dapat dimaknai sebagai kiasan bagi sebuah keluarga besar yang diibaratkan serumpun bambu. Ketiga arti tersebut jelas berbeda dari makna kata dapur dalam Bahasa Indonesia yang berarti ruang tempat memasak.
Selain itu, istilah dapur juga digunakan dalam konteks dunia perkerisan, yaitu untuk menyebut bentuk atau tipe bilah keris. Secara garis besar, terdapat dua jenis dapur keris, yakni keris lurus dan keris berluk (berkelok). Masing-masing jenis memiliki varian bentuk dengan nama-nama tersendiri, seperti tilam upih untuk keris lurus, serta sengkelat dan brojol untuk keris berluk, yang bisa memiliki jumlah luk antara tiga hingga dua puluh sembilan. Penggunaan istilah dapur dalam konteks ini tentu berbeda dari pengertiannya dalam Bahasa Indonesia sehari-hari.
Dalam konteks lain, kata dapur juga digunakan untuk menyebut wajah atau rupa seseorang. Bila ditambahkan dengan kata ganti kepemilikan “-mu” menjadi “dapurmu”, dalam konteks umpatan dapat bermakna negatif, mirip dengan kata “raimu” (wajahmu). Misalnya dalam ungkapan kasar seperti “dapurmu rusak” atau “raimu amoh”. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam penggunaan kata ini, karena meskipun secara literal bermakna “dapur milikmu”, jika diucapkan dengan nada tinggi bisa disalahartikan sebagai bentuk umpatan.
Dalam Bahasa Jawa Baru, istilah untuk dapur sebagai tempat memasak dikenal dengan sebutan pawon. Kata ini berasal dari bentuk jadian dengan kata dasar awu (varian kuno hawu), yang berarti abu, bedak, atau bubuk (Zoetmulder, 1995:87, 346). Dengan penambahan awalan pa- dan akhiran -an, terbentuklah pa+awu+an yang menjadi pawon. Arti asosiatif dari kata ini berkaitan dengan tempat pembakaran, karena di tempat memasak itu selalu tersisa abu (awu). Pertukaran fonem “w” menjadi “b” menghasilkan bentuk dan makna yang mendekati kata dapur dalam Bahasa Indonesia. Maka, dalam Bahasa Jawa Baru, pawon berarti dapur, terutama tempat memasak tradisional yang menggunakan kayu atau arang sebagai bahan bakarnya.
Seiring perkembangan, makna pawon meluas menjadi ruang atau tempat memasak dalam arti umum, sama seperti kata dapur dalam Bahasa Indonesia. Perangkat pembakarannya disebut pawonan, yang berfungsi serupa dengan tungku, yakni alat atau instalasi pembakaran untuk memanaskan sesuatu. Tungku dapat dibuat dari tanah liat, batu, atau bahan lain, dan menggunakan bahan bakar seperti kayu, arang, gas, atau listrik.
Dalam dunia industri, istilah tungku juga digunakan secara teknis, seperti pada “tungku lokomotif uap”. Demikian pula dalam metalurgi dikenal istilah “dapur tinggi”, yang menunjuk pada tanur besar berbentuk silinder untuk melebur bijih besi melalui proses pemanasan suhu tinggi.
Selain itu, terdapat istilah lain dalam Bahasa Jawa Kuna dan Tengahan yang berhubungan dengan dapur, yaitu padangan (pa+dang+an), yang secara harfiah berarti ruang tempat memasak (Zoetmulder, 1995:195). Aktivitas memasak di padangan ini umumnya berkaitan dengan kegiatan menanak nasi, karena kata dasarnya dang menunjuk pada periuk tembaga sebagai tempat kukusan nasi. Dengan demikian, arti dapur sesungguhnya lebih luas daripada sekadar ruang menanak nasi, karena mencakup tempat mengolah berbagai bahan makanan hingga siap saji.
Tungku dan Perangkat Penggantinya
Peralatan memasak tradisional seperti tungku (pawonan) dapat dibuat sederhana dari batu atau bata yang disusun agar bahan bakar kayu terlindungi dan panas hasil pembakaran terarah ke alat masak. Beberapa tungku dibuat dari tanah liat yang mengeras karena paparan panas terus-menerus. Bentuknya umumnya persegi, dengan dinding setinggi 40–50 cm, memiliki lubang di sisi depan untuk memasukkan kayu bakar, serta satu atau lebih lubang di bagian atas untuk meletakkan peralatan masak. Lubang-lubang tersebut bisa berjajar ke belakang atau menyamping, tergantung bentuk tungkunya.
Tungku bersifat permanen, tidak mudah dipindahkan, dan menjadi bagian inti dari dapur tradisional. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul versi portabel dari tungku, yakni anglo, yang lebih kecil, ringan, dan mudah dipindahkan. Anglo merupakan alat memasak tradisional berbahan tanah liat atau logam, digunakan untuk membakar arang dalam kegiatan memasak atau memanaskan makanan. Perlu dicatat bahwa istilah anglo di sini berbeda dari kata Anglo dalam Bahasa Inggris yang berarti awalan (prefix) atau digunakan dalam istilah seperti Anglo-Saxon dan Anglo-America.
Seiring waktu, anglo menjadi alternatif populer pengganti pawonan. Ukurannya yang kecil dan praktis membuatnya disukai oleh pedagang keliling, warung, serta rumah tangga dengan ruang terbatas. Namun, baik pawonan maupun anglo perlahan tergantikan oleh teknologi yang lebih modern seperti kompor minyak tanah, kompor gas dan kompor listrik.
Pawonan, Indikator Kemandirian Kelluarga Batih Warga Etnik Tengger
Bagi masyarakat etnik Tengger, pawonan memiliki makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar tempat memasak. Ia menjadi simbol keberlangsungan kehidupan. Ungkapan “dapur ngebul” digunakan sebagai metafora bagi rumah tangga yang masih beraktivitas, yang berarti kehidupan di dalamnya masih berjalan.
Sebaliknya, ungkapan “gethonge mlompong” (tempat beras kosong) atau “kendhine ngguling” (kendhi terbalik tanpa isi air) melambangkan keadaan kekurangan pangan. Namun kini, ketika pawonan tradisional, pedaringan (tempat beras), dan kendhi tidak lagi digunakan, indikator tradisional tersebut kian pudar.
Lebih jauh, kepemilikan pawonan juga menjadi simbol kemandirian keluarga muda di kalangan masyarakat Tengger. Pada umumnya, pasangan yang baru menikah tinggal bersama orang tua atau mertua dan masih bergantung pada mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup, termasuk makanan — yang disebut isih dicadhong wong tuwo (masih diberi makan oleh orang tua). Namun ketika pasangan muda mulai mampu memenuhi kebutuhan sendiri, mereka dianggap mentas (mandiri), dan orang tua biasanya membuatkan pawonan baru bagi mereka, sebagai penanda telah lepas dari ketergantungan.
Dalam prosesi pernikahan adat Tengger (walagara), kedua mempelai bahkan dikirab mengelilingi pawonan sebanyak tiga kali, dan sesaji kecil (tamping) dipersembahkan kepada sing among-among geni — penjaga tungku perapian. Kayu bakar sebagai bahan utama pawonan juga diperlakukan istimewa: harus dikeringkan, tidak boros digunakan, dan tidak boleh dilangkahi pangkalnya yang masih terbujur di luar tungku. Meskipun kini banyak keluarga Tengger beralih menggunakan kompor gas, penghormatan terhadap kayu bakar tetap lestari, terutama untuk kebutuhan diang (penghangat tubuh) di udara dingin pegunungan. Bagi mereka, dapur bukan sekadar ruang memasak, tetapi juga sumber kehangatan — baik secara fisik maupun sosial.
Dapur bagi masyarakat Tengger menjadi pusat kehidupan keluarga — tempat berkumpul, berdiskusi, dan berbagi kehangatan. Di sinilah rencana kerja ladang dibahas, urusan rumah tangga disepakati, bahkan tamu diterima, bukan karena ketiadaan ruang tamu, melainkan karena suasana dapur menghadirkan rasa persaudaraan yang hangat dan akrab, meski dindingnya kehitaman dan beraroma asap. Dapur, bagi mereka, adalah axis mundi mikro — poros dunia kecil dalam lingkup rumah tangga.
Kini, sebutan “dapur” lebih akrab di telinga masyarakat Jawa modern dibanding “pawon”. Begitu pula istilah “kompor” lebih umum digunakan dibanding “pawonan”. Meskipun kedua istilah tersebut bermakna serupa — menunjuk pada tempat dan perangkat memasak — makna yang terkandung di balik kata pawon dan pawonan lebih dalam, mengandung nilai arsitektural, sosial-kultural, dan ekologis yang tidak tergantikan oleh istilah modern. Sepanjang manusia masih membutuhkan makanan nyata, bukan sekadar kapsul pengganti rasa kenyang, pawon akan tetap dibutuhkan oleh banyak orang.
Demikianlah uraian mengenai budaya pawon dalam konsepsi eko-sosio-kultural masyarakat Jawa. Semoga tulisan ini dapat memperkaya pemahaman dan menjadi refleksi tentang bagaimana unsur sederhana seperti dapur dapat memancarkan makna mendalam dalam kehidupan manusia.
Griyajar Citralekha, 5 Nopember 2025. (*)
*) Oleh : M. Dwi Cahyono, Arkeolog Universitas Negeri Malang
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
| Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |