TIMES MALANG, MALANG – Menentukan pemimpin di dalam pemerintahan selalu menjadi momen krusial dalam perjalanan bangsa. Dari pusat hingga daerah, siapa yang duduk di kursi kekuasaan bukan sekadar urusan politik elite, tetapi juga soal nasib rakyat yang akan merasakan langsung dampaknya.
Sayangnya, proses menentukan pemimpin di Indonesia masih sering diwarnai tarik-menarik kepentingan, kompromi pragmatis, bahkan tukar-menukar jabatan yang lebih mirip pasar politik daripada ruang musyawarah kebangsaan.
Kita sering menyaksikan bagaimana koalisi dibangun bukan atas dasar visi yang sama, melainkan semata demi mengamankan kursi kekuasaan. Partai politik saling tawar, elite saling tekan, hingga jabatan menteri atau posisi strategis jadi alat barter.
Dalam situasi seperti ini, rakyat kerap ditempatkan sebagai penonton, hanya diberi tontonan drama politik tanpa diajak masuk dalam panggung keputusan. Padahal, pemimpin yang lahir dari proses seperti ini hampir pasti akan lebih sibuk melayani kepentingan elite ketimbang mengurus kepentingan rakyat.
Kritik utama terhadap cara kita menentukan pemimpin adalah minimnya prinsip meritokrasi. Seharusnya, yang dipertimbangkan adalah kapasitas, integritas, dan visi yang ditawarkan.
Namun dalam praktiknya, yang lebih dominan justru soal siapa punya modal politik, siapa punya akses ke lingkar kekuasaan, atau siapa punya kemampuan mendanai logistik politik. Akibatnya, tidak sedikit pemimpin yang duduk di kursi pemerintahan sebenarnya miskin gagasan, lemah visi, dan gagap dalam menjalankan kebijakan.
Di titik ini, publik perlu bersuara lantang. Demokrasi tidak boleh berhenti hanya di bilik suara. Rakyat berhak mengawal proses seleksi pemimpin agar tidak jatuh menjadi panggung transaksional.
Sayangnya, budaya politik kita sering mematikan suara kritis publik dengan dalih stabilitas. Kritik dianggap ancaman, padahal justru kritiklah yang menjaga arah perjalanan bangsa.
Namun, kita juga perlu memberikan tawaran konstruktif. Bagaimana seharusnya hubungan bersama ini dikelola agar pemimpin yang terpilih benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan hanya untuk elite?
Pertama, partai politik harus berani membuka diri terhadap proses rekrutmen yang lebih transparan. Jangan lagi calon pemimpin hanya lahir dari lingkaran dalam elite partai.
Masyarakat perlu diberi ruang untuk ikut mengusulkan, menguji, bahkan menolak calon yang tidak layak. Dengan begitu, proses seleksi menjadi lebih sehat dan tidak semata ditentukan oleh uang atau koneksi.
Kedua, penting membangun budaya politik yang berbasis gagasan. Debat publik, forum diskusi, hingga uji kepatutan calon pemimpin perlu lebih dikedepankan. Publik harus bisa menilai secara langsung gagasan apa yang dibawa seorang calon, bagaimana ia melihat masalah bangsa, serta strategi apa yang ia tawarkan untuk mengatasinya. Dari sinilah rakyat bisa menimbang, bukan sekadar karena popularitas atau pencitraan di media.
Ketiga, pengawasan publik harus diperkuat. Setelah seorang pemimpin terpilih, bukan berarti tugas rakyat selesai. Justru di situlah peran masyarakat sipil, akademisi, media, dan kelompok independen untuk terus mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan pengawasan yang kuat, pemimpin akan sadar bahwa setiap kebijakan akan diuji, setiap langkah akan diawasi, dan setiap penyimpangan akan dikritisi.
Keempat, kita perlu mengedepankan etika dalam berpolitik. Pemimpin yang baik bukan hanya soal kemampuan teknis, tetapi juga soal moral. Ia harus mampu menunjukkan keteladanan, menjaga integritas, serta menolak segala bentuk kompromi yang merugikan rakyat. Tanpa etika, sehebat apa pun kapasitas seseorang, kepemimpinannya hanya akan menjadi bencana.
Kritik juga perlu diarahkan pada rakyat sendiri. Sering kali kita mudah terbuai dengan politik uang, janji manis kampanye, atau pencitraan yang dibungkus retorika indah.
Kita lupa menanyakan gagasan, lupa menguji integritas, dan lebih sibuk dengan siapa yang bagi-bagi sembako atau siapa yang tampil keren di media sosial. Jika rakyat tidak kritis, maka elite akan terus memanfaatkan kelemahan ini untuk mempertahankan dominasi mereka.
Hubungan bersama dalam menentukan pemimpin seharusnya dilandasi semangat musyawarah yang tulus, bukan sekadar kompromi transaksional. Politik adalah seni mengelola perbedaan, tetapi jangan sampai seni itu berubah menjadi seni mengkhianati kepentingan rakyat.
Jika bangsa ini ingin benar-benar maju, maka cara kita menentukan pemimpin harus berubah. Dari sekadar ritual perebutan kekuasaan menjadi proses kolektif membangun masa depan bersama. Dari sekadar soal siapa dapat kursi apa, menjadi soal siapa yang benar-benar mampu membawa rakyat menuju kesejahteraan.
Pemimpin bukanlah penguasa, melainkan pelayan rakyat. Kursi pemerintahan bukanlah hadiah, melainkan amanah. Dan amanah itu hanya bisa dijaga jika kita bersama-sama memastikan bahwa proses pemilihannya berjalan bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.
Menentukan pemimpin bukanlah soal elite semata, melainkan soal masa depan bangsa. Jika kita terus membiarkan proses ini dikuasai oleh kepentingan sempit, maka rakyat hanya akan kembali menjadi korban.
Tapi jika kita berani memperjuangkan proses yang sehat, transparan, dan berbasis gagasan, maka pemimpin yang lahir bukan hanya pemimpin bagi partai, tetapi benar-benar pemimpin bagi bangsa. (*)
***
*) Oleh : Iswan Tunggal Nogroho, Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |