TIMES MALANG, JAKARTA – Ketua Himpunan Mebel dan Kerajinan Indonesia (HMKI) Abdul Subur mengeluhkan mengenai maraknya organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan pemerasan terhadap pelaku industri mebel dan kerajinan.
Hal itu ia sampaikan saat konferensi pers pembukaan Indonesia International Furniture Expo (IFEX) di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025). Aksi premanisme yang dilakukan oleh ormas ini, kata dia, jelas merugikan pelaku industri mebel dan kerajinan di Indonesia. Dampaknya, sektor furniture di dalam negeri ini kalah dengan negara-negara lain.
Keluhan itu sebenarnya bukan hanya dirasakan oleh HMKI saja. Banyak pihak mengalami hal yang serupa. Ormas-ormas ini misalnya melakukan pemalakan terhadap para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Mereka secara terang-terangan atau pun tersembunyi melakukan pungli berupa iuran paksa bulanan atau bahkan ada yang sampai harian.
Problem berikutnya adalah, tak semua pelaku UMKM berani melaporkan, karena menurut mereka resikonya harus berhadapan dengan teror. Pun kalau berani melaporkan, sebagian dari mereka sudah kehilangan rasa percaya pada pihak yang harusnya wajib memberikan perlakuan aman tersebut.
Akhirnya apa yang terjadi? Para pelaku UMKM tersebut memilih jalan menyumbat mulut sendiri saja. Asal usahanya jalan, mereka memaksakan diri untuk membayar pada ormas. Meskipun di dalam hatinya ingin sekali melakukan pemberontakan.
Kasus-kasus premanisme seperti di atas adalah kasus yang telah menjadi rahasia umum di negara kita. Naasnya, kasus ini semacam dibiarkan begitu saja. Kita tidak tahu apa alasan logisnya mengapa pembiaran itu terus-menerus dilakukan. Yang jelas, pembiaran ini sungguh melanggar konstitusi.
Jika kita bertanya pada setiap para penjual nasi goreng dan pecel lele di pinggir jalan di Jakarta misalnya, dipastikan mereka akan berkeluh-kesah dan curhat panjang lebar karena setiap bulan harus menyesihkan hasil keringatnya untuk para ormas plus preman yang tak memiliki rasa kemanusiaan tersebut.
Pasal 28G UUD 1945 jelas mengatur hak rakyat untuk memperoleh perlindungan. Misalnya pada bunyi Pasal 28G ayat 1: “setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya.
Serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Fakta di lapangan, pasal manis ini seperti tak ada artinya. Bahkan terasa pahit untuk rakyat di akar rumput.
Dalam sejarah Indonesia, negara telah memperlihatkan kegagahannya karena dengan mudahnya membubarkan organisasi militan seperti FPI dan HTI karena dinilai mengancam Pancasila.
Sebenarnya, tak ada alasan untuk negara tidak bisa melakukan hal yang sama terhadap ormas-ormas busung lapar yang meresahkan dan mengancam keamanan dan ketenangan rakyat.
Harusnya, negara menindas sampai tuntas aksi-aksi yang telah berkeliaran dengan bebas diberbagai tempat dan daerah tersebut.
Rakyat Indonesia telah menanggung beban berat karena akibat korupsi yang dilakukan oleh berbagai pejabat negara. Berbagai pembangunan SDM dan SDA macet karena akibat tindakan culas tersebut.
Lalu, untuk sekedar membuat rakyat tenang dalam mencari sesuap nasi saja, negara tidak mau melakukannya? Sungguh terlalu.
Akhirnya, kita menunggu tindakan-tindakan konkrit dari negara yakni menjaga keamanan dan kedamaian rakyatnya untuk menjalankan aktivitasnya. Jika negara acuh tak acuh terhadap masalah premanisme ormas tersebut.
Maka mungkin saja benar apa yang disampaikan oleh pakar hukum tata negara, Feri Amsari (2024) “sejak kapan negara kalah dengan penjahat? Sejak negara terlibat sebagai penjahat.”
***
*) Oleh: Moh Ramli,Penulis Buku Tragedi Demokrasi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |