TIMES MALANG, BANYUWANGI – Salah satu pilar utama negara demokrasi modern adalah prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers), sebagaimana dicetuskan oleh Montesquieu dan Jhon Locke. Dalam kerangka ini, kekuasaan negara (Trias Politica) dibagi menjadi tiga cabang utama: eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Ketiganya diidealkan saling mengawasi dan membatasi satu sama lain, sebuah prinsip yang dikenal sebagai checks and balances. Namun, penulis disini ingin membedah pembatasan kekuasaan secara tafsir periodik bukan pada tafsir pembagian kekuasaan atau pendistribusian kekuasaan.
Dalam praktik politik kontemporer, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, sering terjadi kesalahan logika yang serius: pembatasan kekuasaan secara berlebihan hanya difokuskan pada cabang eksekutif, sementara kekuasaan legislatif dibiarkan berkembang tanpa pengawasan yang seimbang.
Eksekutif sebagai Target Utama Kontrol Demokrasi
Secara historis, kekuasaan eksekutif sering kali diasosiasikan dengan otoritarianisme. Masa lalu pemerintahan otoriter di berbagai negara menunjukkan bahwa dominasi presiden atau kepala negara terhadap lembaga lain dapat mengarah pada tirani.
Oleh karena itu, sejak era reformasi, berbagai instrumen hukum dan kelembagaan diarahkan untuk membatasi ruang gerak eksekutif. Misalnya, pembatasan masa jabatan presiden, kewajiban konsultasi dengan parlemen dalam pengangkatan pejabat negara, dan pengawasan ketat terhadap penggunaan anggaran negara oleh lembaga eksekutif.
Langkah-langkah ini tentu positif dan sesuai dengan semangat demokrasi. Namun, persoalan muncul ketika pembatasan hanya difokuskan pada satu cabang kekuasaan, sementara cabang lain khususnya legislatif tidak dikenai kontrol yang setara.
Legislatif dan Partai Politik
Di Indonesia, lembaga legislatif (DPR dan DPRD) memiliki kekuasaan yang luar biasa besar: membuat undang-undang, menyusun dan mengesahkan anggaran, menyetujui atau menolak kebijakan eksekutif, dan bahkan memakzulkan presiden. Namun, ironisnya, kekuasaan besar ini tidak selalu diimbangi dengan sistem kontrol yang memadai.
Tidak ada mekanisme pembatasan masa jabatan anggota legislatif seperti halnya presiden. Seorang anggota DPR bisa duduk selama puluhan tahun tanpa batasan, selama ia tetap terpilih.
Hal ini memungkinkan terbentuknya oligarki parlemen kelompok elite politik yang terus-menerus menguasai proses legislasi tanpa gangguan, bahkan ketika mereka gagal menjalankan fungsi representasi secara efektif.
Kesalahan Logika Demokrasi Parsial
Jika demokrasi menghendaki pembatasan kekuasaan demi mencegah penyalahgunaan wewenang, maka secara logis, semua cabang kekuasaan harus tunduk pada prinsip yang sama. Namun, dalam praktik, banyak sistem politik hanya memberlakukan pembatasan formal pada eksekutif, dan menganggap legislatif sebagai "wakil rakyat" yang otomatis berada di sisi yang benar.
Ini adalah bentuk logical fallacy atau kesalahan berpikir, yang dikenal sebagai false dichotomy, membagi realitas menjadi dua pilihan ekstrem dan saling bertentangan: eksekutif dianggap sebagai potensi penindas, sementara legislatif dianggap sebagai perwujudan demokrasi.
Padahal, realitas jauh lebih kompleks. Anggota legislatif tidak otomatis lebih demokratis hanya karena mereka dipilih rakyat; mereka tetap merupakan bagian dari struktur kekuasaan yang dapat disalahgunakan jika tidak dikontrol. Hal ini merupakan sebuah paradoks yang nyata.
Dengan kata lain, menganggap legislatif sebagai kekuatan yang "selalu demokratis" adalah bentuk idealisasi yang keliru dan berisiko. Kita melupakan bahwa korupsi, kolusi, dan penyalahgunaan kekuasaan tidak mengenal cabang kekuasaan. Ia bisa muncul di mana saja ketika tidak ada sistem kontrol yang memadai.
Legislasi yang Tak Akuntabel
Salah satu akibat nyata dari tidak adanya pembatasan legislatif adalah buruknya kualitas legislasi, serta tidak adanya policy refreshment di karenakan masih orang-orang lama yang merumuskan kebijakan.
Undang-undang sering disusun tanpa transparansi, minim partisipasi publik, dan sarat dengan kepentingan jangka pendek elite politik. Revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, dan berbagai rancangan undang-undang kontroversial lainnya menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan legislatif ketika ia tidak dikontrol secara efektif.
Selain itu, fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif juga sering digunakan sebagai alat tawar-menawar politik, bukan untuk menjamin akuntabilitas. Praktik political bargaining atau kongkalikong di belakang layar menjadi lazim, dan publik hanya menjadi penonton dalam dinamika kekuasaan yang tertutup.
Membatasi Legislatif Secara Proporsional
Untuk mengatasi kesenjangan ini, demokrasi harus konsisten. Jika presiden dibatasi dua periode, maka perlu dipertimbangkan adanya pembatasan masa jabatan bagi anggota legislatif agar muncul wajah-wajah baru, inovasi kebijakan baru.
Jika presiden diawasi oleh BPK dan KPK, maka pengawasan terhadap legislatif pun harus diperkuat misalnya, dengan memperluas kewenangan etik Mahkamah Kehormatan Dewan, atau melibatkan lembaga independen dalam evaluasi kinerja anggota legislatif.
Partisipasi publik dalam proses legislasi juga harus dijamin secara lebih substansial, bukan sekadar formalitas dengar pendapat. Penggunaan teknologi informasi untuk membuka proses legislasi dan pelaporan kinerja wakil rakyat kepada konstituen bisa menjadi langkah menuju parlemen yang lebih akuntabel.
***
*) Oleh : Ilham Layli Mursidi, Ketua Umum HMI Cabang Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |