TIMES MALANG, JAKARTA – Sektor perkebunan Indonesia kembali memikul tanggung jawab strategis dalam memperkuat fondasi ekonomi nasional. Produak perkebunan berkontribusi sebesar Rp735,91 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian pada 2023, atau setara 41,57% dari total PDB sektor tersebut. Perkebunan tak hanya menjadi sumber devisa, tetapi juga penyerap tenaga kerja utama dan motor pembangunan di kawasan pedesaan.
Tahun 2024 menandai tonggak penting dengan nilai ekspor komoditas perkebunan mencapai Rp622,36 triliun atau sekitar 92% dari ekspor sektor pertanian. Minyak kelapa sawit (CPO) menjadi tulang punggung ekspor, mencapai 11,73 juta ton atau Rp209,9 triliun, sementara kopi menyumbang 177.799 ton senilai Rp14,41 triliun. Kelapa, meski potensinya sangat besar, baru menyumbang Rp15 triliun, dengan produk seperti kopra dan santan yang diekspor ke China, Malaysia, dan Thailand.
Di tengah perubahan iklim global dan dinamika pasar internasional, sektor ini harus melampaui peran tradisionalnya. Waktunya bertransformasi menjadi pilar bioindustri nasional yang berkelanjutan, berbasis teknologi, dan berpihak pada petani.
Hilirisasi dan Teknologi
Ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah adalah kerentanan ekonomi. Dalam hal ini, hilirisasi menjadi instrumen penting untuk mengangkat nilai tambah. Hilirisasi kelapa sawit telah menunjukkan hasil dimana kebijakan B40 tak hanya menopang stabilitas harga CPO, tetapi juga menyokong energi nasional.
Komoditas kelapa menyimpan peluang besar dengan 18 juta ton produksi per tahun. Namun, dari potensi industri bernilai Rp74,23 triliun, baru terealisasi sekitar Rp20,38 triliun. Produk turunan seperti santan instan, VCO, gula kelapa, bioetanol, hingga karbon aktif, memiliki pasar luas baik di sektor pangan, kosmetik, maupun energi. Hilirisasi ini tak hanya berdampak ekonomi langsung, tetapi juga menciptakan efek ganda bagi kesejahteraan petani.
Sektor kakao pun tak kalah penting. Dengan ekspor 385.981 ton pada 2022 senilai Rp20 triliun, Indonesia menempati posisi produsen ketiga dunia. Namun, produktivitas menurun akibat hama dan tanaman tua. Hilirisasi lewat pengolahan cokelat, minuman, hingga kosmetik berbasis kakao menawarkan jalan keluar dari stagnasi, sekaligus membuka akses ke pasar premium global.
Akselerasi hilirisasi tentu memerlukan dukungan teknologi, termasuk pemetaan drone, sensor cuaca, varietas unggul tahan iklim, dan digitalisasi pascapanen harus menjadi standar baru. Pemerintah, pelaku industri, dan lembaga riset perlu bersinergi agar transformasi ini bisa terimplementasi secara massif di lapangan.
Ketahanan Iklim dan Diversifikasi Pasar
Perubahan iklim kini bukan lagi ancaman masa depan, tetapi kenyataan yang sudah terjadi dan dirasakan langsung oleh pelaku sektor perkebunan. Fenomena El Niño sepanjang 2023 memicu kekeringan berkepanjangan di sejumlah sentra produksi seperti Sumatra Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Curah hujan ekstrem yang tidak merata memperpendek musim tanam, mengganggu proses penyerbukan, dan menyebabkan kerontokan buah pada tanaman kakao, kopi, dan kelapa sawit. Akibatnya, produksi beberapa komoditas turun signifikan. Gangguan iklim tidak hanya terjadi di dalam negeri, namu juga pada produsen negara lain yang menyebabkan penurunan produksi global.
Ironisnya, krisis iklim justru membuka peluang bagi Indonesia untuk merebut ceruk pasar baru. Ketika negara pesaing seperti Ghana, Pantai Gading, atau Kolombia mengalami penurunan suplai, Indonesia dengan ekosistem pertanaman tropis yang beragam memiliki peluang untuk mengisi kekosongan permintaan global.
Namun, peluang ini dibayang-bayangi oleh kebijakan baru negara maju yang semakin ketat. Uni Eropa telah mulai menerapkan Deforestation-Free Regulation (DFR), sebuah regulasi yang melarang masuknya produk pertanian, termasuk sawit, kopi, dan kakao, yang berasal dari lahan yang mengalami deforestasi setelah tahun 2020.
Regulasi ini, walaupun berlandaskan komitmen lingkungan, juga menyiratkan bentuk hambatan nontarif baru yang memaksa negara berkembang untuk membenahi sistem pelacakan dan sertifikasi. Sebagai respons strategis, Indonesia memperluas target ekspor ke wilayah Timur Tengah dan Afrika. Diversifikasi pasar ini menjadi upaya untuk mengurangi ketergantungan pada negara-negara yang menerapkan kebijakan diskriminatif terhadap komoditas tropis.
Di sinilah pentingnya peningkatan standar keberlanjutan nasional. Skema sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) harus diperkuat tidak hanya sebagai alat diplomasi dagang, tetapi juga sebagai komitmen nyata terhadap tata kelola perkebunan yang berkelanjutan.
ISPO, jika dijalankan dengan serius dan terintegrasi dengan teknologi pelacakan digital berbasis geo-tagging dan blockchain, mampu menjawab tantangan transparansi rantai pasok dari hulu ke hilir.
Transformasi sektor perkebunan tidak bisa hanya digerakkan dari atas. Ia harus dimulai dari akar rumput, dari petani yang selama ini menjadi garda depan produksi. Indonesia memiliki lebih dari 17 juta petani pekebun, namun mayoritas masih beroperasi dalam ekosistem usaha yang rentan, tidak efisien, dan terpinggirkan dari sistem nilai global.
Solusi jangka panjang terletak pada penguatan kelembagaan petani berbasis koperasi dan kemitraan wilayah. Negara-negara seperti Jepang dan Belanda telah membuktikan bahwa koperasi petani bisa menjadi aktor ekonomi yang efektif, efisien, dan transparan.
Di Indonesia, praktik koperasi kelapa yang mulai berkembang di Sulawesi Utara, Riau, dan Kalimantan Tengah menunjukkan hasil positif. Beberapa koperasi bahkan mulai melakukan pengolahan VCO dan briket arang, menjual langsung ke eksportir dan mengurangi ketergantungan pada pengepul.
Peran teknologi digital dalam reformasi tata niaga juga semakin krusial. Pemerintah perlu mendorong digitalisasi ini dengan memperluas infrastruktur internet pedesaan, pelatihan literasi digital, dan insentif startup pertanian yang fokus pada solusi rantai pasok.
Menuju Kepemimpinan Global dalam Bioekonomi
Keberlanjutan dan masa depan sektor perkebunan sangat bergantung pada keterlibatan generasi muda. Di tengah tren urbanisasi dan migrasi pemuda ke kota, pertanian sering dipandang sebagai sektor tertinggal.
Padahal, dengan pendekatan teknologi dan inovasi, sektor ini justru menjadi ladang peluang baru. Mereka inilah yang kelak akan menjadi pelopor bioekonomi desa dan penggerak koperasi digital yang adaptif terhadap tuntutan zaman.
Jika hilirisasi dan pemberdayaan petani berhasil dilakukan serempak, Indonesia tak hanya menjadi produsen bahan baku, tapi pelaku utama bioekonomi dunia. Pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK) kelapa dan kakao di Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Sumatra Barat harus didorong dengan insentif fiskal dan kemudahan investasi.
Tak kalah penting, keberlanjutan harus menjadi prinsip utama. Sertifikasi ISPO, pengelolaan limbah industri, dan integrasi sawit-sapi adalah bagian dari agenda Indonesia menuju Net-Zero Emissions. Dengan demikian, sektor perkebunan bukan hanya penggerak ekonomi, tapi juga solusi perubahan iklim.
Sudah waktunya kita naik kelas, dari pengekspor mentah menjadi pelaku utama industri global berbasis sumber daya tropis. Dari negara agraris menjadi negara industri hijau. Dan itu bisa dimulai dari sektor perkebunan. (*)
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |