TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Di tengah arus deras transformasi keuangan global, dunia kini berdiri di persimpangan antara dua ekstrem: sistem keuangan tradisional yang dikendalikan pemerintah, dan cryptocurrency yang sepenuhnya desentralistik.
Di antara dua kutub ini, muncullah gagasan uang digital yang diterbitkan langsung oleh bank sentral-dikenal sebagai Central Bank Digital Currency (CBDC) sebagai alternatif jalan tengah.
Uang digital berbeda dari cryptocurrency seperti Bitcoin maupun saldo e-wallet yang biasa kita gunakan untuk transaksi sehari-hari. E-wallet hanyalah representasi digital dari uang fiat yang tersimpan di rekening bank, sedangkan cryptocurrency berjalan di atas jaringan blockchain terdesentralisasi, tanpa otoritas pusat yang menjamin nilainya.
Sementara itu, CBDC adalah versi digital dari uang fiat yang dikeluarkan langsung oleh bank sentral. Dalam kasus Indonesia, inisiatif ini dikenal dengan nama Proyek Garuda, yang sedang dikembangkan oleh Bank Indonesia.
Tujuan utama pengembangan CBDC adalah menjawab kebutuhan akan sistem pembayaran yang lebih efisien, aman, dan inklusif, terutama dalam era digital yang semakin mendominasi. Selain itu, kehadiran CBDC juga menjadi bentuk adaptasi terhadap perkembangan cryptocurrency yang tak bisa diabaikan, sekaligus upaya menjaga kedaulatan mata uang nasional di tengah ancaman disintermediasi oleh aset kripto global.
Beberapa negara telah lebih dulu melangkah. Tiongkok dengan e-CNY atau yuan digital, Bahama dengan Sand Dollar, dan Nigeria dengan e-Naira menjadi contoh nyata negara-negara yang telah mengimplementasikan uang digital mereka. Di Eropa dan Amerika Serikat, proyek serupa tengah dikembangkan, meskipun pendekatan mereka cenderung lebih hati-hati.
CBDC menawarkan beberapa keunggulan. Pertama, efisiensi pembayaran antarbank dan lintas negara dapat meningkat drastis, tanpa harus melalui sistem SWIFT atau perantara lembaga keuangan.
Kedua, pemerintah bisa menyalurkan bantuan sosial secara langsung dan transparan kepada masyarakat tanpa risiko penyelewengan.
Ketiga, sistem keuangan bisa menjadi lebih inklusif dengan menjangkau wilayah yang selama ini sulit dijangkau layanan perbankan konvensional.
Namun, seperti halnya dua sisi mata uang, CBDC juga menyimpan tantangan. Salah satu yang paling disorot adalah potensi pelanggaran privasi. Jika seluruh transaksi terekam dalam sistem yang dikendalikan pemerintah, muncul kekhawatiran bahwa negara bisa mengetahui perilaku konsumsi individu secara rinci. Ini menjadi tantangan serius yang perlu dijawab dengan desain teknologi dan regulasi yang menjamin perlindungan data pribadi.
Selain itu, kehadiran CBDC juga berpotensi mengganggu stabilitas perbankan. Jika masyarakat lebih memilih menyimpan uang dalam bentuk digital langsung di bank sentral, maka fungsi intermediasi bank komersial bisa tergerus.
Oleh karena itu, banyak negara merancang CBDC dalam dua lapis (two-tier system): bank sentral menerbitkan uang digital, namun distribusinya tetap dilakukan melalui perantara seperti bank atau lembaga keuangan berizin.
CBDC juga dapat berperan sebagai jembatan antara sistem keuangan lama dan teknologi baru yang ditawarkan oleh blockchain. Ia membawa kredibilitas dan stabilitas otoritas moneter, namun juga mengadopsi efisiensi dan kecepatan yang ditawarkan oleh dunia kripto.
Dalam konteks ini, uang digital adalah bentuk kompromi: tidak seekstrem crypto yang tanpa pengawasan, tetapi juga tidak seketat sistem perbankan konvensional.
Di Indonesia, Bank Indonesia masih dalam tahap pengembangan desain dan uji coba CBDC. White paper yang dirilis dalam kerangka Proyek Garuda menunjukkan niat kuat untuk menjadikan Rupiah Digital sebagai tulang punggung sistem pembayaran masa depan. Namun, keberhasilan proyek ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara regulator, pelaku industri, dan literasi publik.
Pertanyaan mendasarnya tetap: apakah masyarakat siap menerima bentuk uang baru ini? Untuk itu, edukasi menjadi kunci. Masyarakat harus paham bahwa uang digital bukan berarti seluruh aktivitas keuangan mereka akan diawasi negara secara total, namun justru bisa membawa manfaat seperti efisiensi, transparansi, dan keamanan.
Seiring berkembangnya teknologi dan gaya hidup digital, kebutuhan akan sistem keuangan yang adaptif semakin mendesak. Uang digital, dalam bentuk CBDC, mungkin bukan jawaban sempurna-tetapi ia adalah langkah penting menuju sistem keuangan yang lebih adil, inklusif, dan relevan dengan zaman.
Sebagaimana kisah uang yang selalu berevolusi, narasi baru ini pun akan ditentukan oleh sejauh mana masyarakat mau memahami dan berpartisipasi di dalamnya. Di antara dua kutub ekstrem-regulasi ketat dan desentralisasi total uang digital bisa menjadi jembatan tengah yang menciptakan keseimbangan baru di era keuangan digital global. (*)
***
*) Oleh : Rusydi Umar, Dosen FTI Universitas Ahmad Dahlan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |