https://malang.times.co.id/
Opini

Alergi Kritik: Ketika Polisi Gagal Santai Mendengarkan Sebuah Lagu

Senin, 24 Februari 2025 - 13:01
Alergi Kritik: Ketika Polisi Gagal Santai Mendengarkan Sebuah Lagu Ghifari Decha, Fungsionaris PB HMI 2024-2026.

TIMES MALANG, JAKARTA – Miris, di era pasca reformasi yang katanya bebas berekspresi, kenyataannya kritik terhadap institusi tertentu masih sering berujung pada reaksi berlebihan. Contohnya bisa kita lihat dalam kasus lagu "Bayar, Bayar, Bayar" dari band Sukatani yang berasal dari Purbalingga, Jawa Tengah justru malah mendapat represifitas dari apparat kepolisian. Padahal lagu ini dibuat untuk menyentil praktik pungutan liar yang sering dikaitkan dengan kepolisian.

Lalu bagaimana dengan Respon dari aparat? Bukannya introspeksi, malah ada tanda-tanda reaksi defensif dengan memanggil personil band tersebut untuk minta maaf serta membuat video klasrifikasi, tidak cukup sampai disitu respon dari kepolisian juga meminta kepada band tersebut untuk menghapus karya lagunya disemua platform digital seperti youtube,spotify dan media sosial lain nya.

Kebebasan berekspresi adalah hak fundamental bagi setiap warga negara dalam negara demokrasi. Musik, sebagai salah satu medium ekspresi, seharusnya mendapat ruang yang luas untuk menyuarakan keresahan masyarakat.

Band Sukatani cuma melakukan apa yang banyak orang rasakan: menyampaikan kritik lewat karya. Tapi kalau kritik malah dianggap serangan, lalu direspons dengan cara represif, ini bukan lagi soal seni-ini soal kebebasan yang dipersempit.

Di Indonesia, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."

Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur hak serupa dalam Pasal 23. Dengan adanya payung hukum ini, semestinya tidak ada alasan untuk membungkam kritik yang disampaikan dalam bentuk seni atau opini publik.

Reaksi kepolisian terhadap kritik sering kali menunjukkan alergi terhadap suara-suara yang berbeda. Bukan pertama kali ada musisi atau seniman yang bersuara lantang lalu kena semprit.

Padahal, kalau kita pikir-pikir, kritik itu justru bisa jadi bahan evaluasi buat mereka. Kalau memang ada sesuatu yang salah, bukannya lebih baik diperbaiki daripada membungkam orang yang bicara?

Reaksi publik terhadap sikap kepolisian juga semakin tajam. Banyak masyarakat dan aktivis yang menyoroti pola represif ini, menyuarakan dukungan kepada para pengkritik, dan menjadikan media sosial sebagai alat untuk melawan pembungkaman.

Fenomena ini justru menciptakan efek streisand, di mana upaya untuk meredam kritik malah membuatnya semakin viral dan menarik perhatian lebih banyak orang.

Beberapa kasus kriminalisasi kritik terhadap kepolisian juga menunjukkan pola serupa. Misalnya, kasus Ravio Patra, seorang aktivis yang ditangkap setelah mengkritik pemerintah dan kepolisian melalui media sosial.

Ada juga kasus Ananda Badudu, musisi yang sempat diperiksa karena membantu penggalangan dana bagi demonstran. Belum lagi kasus penangkapan warga yang sekadar menyuarakan pendapat di internet, yang sering kali berujung pada pasal karet UU ITE.

Ironis nya Sikap defensif aparat kepolisian ini sangat kontra dengan statement Jendral Listyo Sigit sebagai kapolri "Bapak Kapolri berkali-kali menyampaikan Polri tidak antikritik. Siapa yang berani mengkritik keras Polri, justru akan menjadi sahabat Polri".

Dengan terjadinya kejadian ini justru hanya memperburuk citra institusi kepolisian itu sendiri. Alih-alih menunjukkan keterbukaan dan transparansi, mereka malah terkesan ingin menjaga gengsi.

Padahal, di era media sosial ini, semakin keras usaha membungkam kritik, semakin banyak orang yang penasaran dan malah ikut mengangkat isu tersebut. Efeknya? Bukannya meredam, justru makin ramai.

Polisi, sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, seharusnya bisa lebih santai menghadapi kritik. Kalau memang tidak ada yang perlu ditutupi, kenapa harus takut? Seharusnya, alih-alih reaktif, mereka bisa menjadikan kritik sebagai bahan refleksi untuk jadi lebih baik. Toh, masyarakat hanya ingin pelayanan yang lebih jujur dan transparan. Sesederhana itu.

Jadi, kalau ada lagu yang mengkritik, bukannya buru-buru merasa diserang, lebih baik dengarkan dulu pesannya. Mungkin, justru di situ ada kebenaran yang perlu didengar.

Sebagai saran konstruktif, kepolisian seharusnya lebih terbuka dalam menerima kritik dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kinerja serta pelayanan kepada masyarakat.

Pelatihan komunikasi publik yang lebih humanis, transparansi dalam menindak kasus yang melibatkan anggotanya, serta penguatan mekanisme pengaduan yang adil dan independen bisa menjadi langkah nyata untuk membangun kepercayaan masyarakat.

Dengan demikian, polisi tidak hanya sekadar aparat hukum, tetapi benar-benar menjadi pengayom yang dihormati dan dipercaya oleh rakyat.

***

*) Oleh : Ghifari Decha, Fungsionaris PB HMI 2024-2026.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.