TIMES MALANG, PASURUAN – Perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce) atau lebih dikenal dengan sebutan marketplace menunjukkan perkembangan yang sangat pesat di Indonesia.
Laporan e-Conomy SEA 2024 yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company menjelaskan bahwa ekonomi digital Indonesia mulai kembali tumbuh pesat setelah tertahan selama pandemi dengan nilai transaksi mencapai US$ 90 miliar (Rp 1.420 triliun)
Namun di balik perkembangan tersebut, muncul ketimpangan antara pedagang e commerce dengan pedagang konvensional.
Selama ini, banyak pelaku e-commerce, terutama yang beroperasi di platform besar, dinilai belum memenuhi kewajiban perpajakan secara optimal.
Sementara itu, pedagang konvensional seperti pemilik toko fisik, pasar tradisional, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kaki lima telah lama terbebani berbagai kewajiban pajak, mulai dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak dan retribusi daerah.
Tepat pada tanggal 14 Juli 2025, Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025).
Adanya beleid ini diharapkan dapat menjadi angin segar dalam upaya mewujudkan keadilan fiskal antara pedagang konvensional dan e commerce
Komitmen Wujudkan Keadilan Fiskal
Terbitnya PMK 37/2025 diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam perpajakan antara pelaku usaha konvensional maupun pelaku usaha e commerce. Beleid tersebut menunjuk penyelenggara perdagangan memalui sistem elektronik menjadi pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh 22) bagi pedagang yang melakukan transaksi di PMSE yaiitu sebesar 0,5 persen dari transaksi.
Tarif tersebut merupakan tarif yang juga dikenakan untuk pedagang konvensional yang melakukan pembayaran sendiri sebesar 0,5 persen dari omzet sebagaimana diatur di Peraturan Pemerintah (PP) 55 Tahun 2022.
Adanya pemungutan PPh 22 oleh PMSE diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan kewajiban para pedagang yang semula disetor sendiri menjadi dipungut. Pemungutan tersebut juga sejalan dengan asas pemungutan pajak yaitu pay as you earned yaitu pajak dipungut pada saat penghasilan diterima.
Keadilan lainnya yang diatur di PMK 37/2025 adalah jika pedagang orang pribadi dalam negeri omzetnya masih di bawah 500 juta maka tidak dilakukan pemungutan oleh penyelenggara PMSE.
Sebagai pembuktiannya, pedagang tersebut cukup menyampaikan surat pernyataan bahwa omzetnya masih belum melebihi 500 juta rupiah kepada penyelenggara PMSE dan disampaikan bersamaan dengan penyampaian informasi NPWP atau nomor induk kependudukan (NIK) dan Alamat korespondensi.
Adanya pengecualian tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada pelaku usaha yang masih kategori usaha mkro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mengkhawatirkan adanya tambahan beban akibat adanya beleid tersebut.
Tantangan Penerapan
Terbitnya beleid PMK 37/2025 bisa menimbulkan tantangan teknis bagi penyelenggara PMSE. Tantangan tersebut berupa pemetaan terhadap omzet yang dimiliki oleh pedagang.
Hal ini disebabkan beleid tersebut menjelaskan bahwa untuk pedagang yang omzetnya masih di bawah 500 juta maka tidak dilakukan pemungutan pajak dan kebijakan ini masih mengandalkan pendekatan self-assessment yang sangat bergantung kejujuran dan kesadaran dari setiap pelaku usaha.
Tentu hal ini menjadi tantangan teknis bagi penyelenggara PMSE supaya dapat melaksanakan pemungutan pajak yang tepat sesuai dengan ketentuan yang terdapat di PMK 37/2025
Peluang Penghindaran Pajak
Terbitnya beleid PMK 37/2025 dapat membuka peluang bagi pelaku usaha untuk melakukan penghindaran pajak. Setidaknya terdapat dua strategi yang dapat ditempuh menurut Nailul Huda selaku Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Pertama, dengan membagi penjualan mereka ke beberapa toko di platform yang berbeda.
Kedua, beralih ke media sosial sebagai kanal utama penjualan, yang sampai saat ini belum terdeteksi dalam sistem pelaporan pajak.
“Kemungkinan ini akan sangat besar dilakukan mengingat, hampir setiap toko mempunyai akun media sosial dan transaksi barang di media sosial pun sudah mudah dilakukan,” jelasnya.
Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu adanya sinkronisasi antar platform e-commerce dan penggunaan identitas yang konsisten seperti Nomor Induk Berusaha (NIB) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Langkah tersebut penting untuk menutup potensi celah hukum dan menciptakan sistem pengawasan yang lebih adil. (*)
***
*) Oleh: Lazuardi Widyanto Pratama, Penyuluh Ahli Pertama KPP Pratama Pasuruan
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : XX |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |