TIMES MALANG, MALANG – Sebagai seorang akademisi, beberapa hari ini saya cukup terkejut membaca sejumlah artikel berita, khususnya yang terkait dengan dunia pendidikan dan berbagai aspek yang melingkupinya. Salah satunya adalah tentang alokasi anggaran pendidikan yang kini diwarnai kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp 722,6 triliun, pemerintah menyisihkan hampir Rp 71 triliun untuk program ini. Angka itu awalnya hanya sekitar 10 persen, tetapi rancangan RAPBN terbaru menunjukkan bahwa porsinya membengkak menjadi 44,2 persen dari total alokasi pendidikan.
Artinya, hampir separuh anggaran pendidikan digunakan untuk program makan gratis, sementara sektor penting lain seperti kesejahteraan tenaga pendidik, kualitas pembelajaran, serta infrastruktur sekolah harus berbagi porsi yang semakin sempit.
Secara politik, kebijakan ini merupakan simbol kuat. Presiden Prabowo dan timnya menjadikan MBG sebagai program unggulan yang dikemas sebagai “investasi sumber daya manusia” sekaligus strategi menurunkan angka stunting.
Narasi ini kuat di permukaan karena langsung menyentuh sisi emosional publik: siapa yang bisa menolak gagasan bahwa anak sekolah perlu makan sehat setiap hari? Namun, dari sudut pandang komunikasi organisasi dan governance, kebijakan ini memunculkan persoalan serius.
Ada ketidakseimbangan antara narasi simbolik yang digencarkan pemerintah pusat dengan kesiapan institusi pendidikan di lapangan untuk menjalankannya. Kritik tajam muncul dari berbagai daerah. Netizen menyoroti menu MBG di beberapa sekolah yang dianggap “menyedihkan”: nasi dengan telur rebus, oseng sayur, dan pisang kecil.
Di media sosial, gambar menu sederhana itu menyebar cepat, menciptakan framing bahwa dana triliunan rupiah “menghilang” tanpa hasil sepadan. Seorang staf dapur bahkan mengaku harus menjual motor karena gaji tak kunjung dibayarkan.
Di Palembang, murid kelas 3 menolak menu tahu, tempe, dan buncis, sementara pedagang kantin sekolah kehilangan hingga 70 persen pendapatannya karena anak-anak tidak lagi membeli jajan di sekolah.
Kasus lain yang lebih mengkhawatirkan adalah munculnya 17 insiden keracunan massal di sekolah, yang menimpa lebih dari 300 orang karena standar kebersihan dapur tidak terpenuhi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa besar anggaran tidak otomatis menghasilkan besar manfaat. Dalam teori komunikasi organisasi, Karl Weick menyebut pentingnya sensemaking, bagaimana organisasi memahami dan memaknai kebijakan agar bisa dijalankan dengan baik di level operasional.
Program MBG gagal di tahap ini. Narasi besar tentang “makan bergizi” tidak diterjemahkan secara jelas ke kepala sekolah, staf dapur, wali murid, atau bahkan siswa. Akibatnya, terjadi kesenjangan makna: pemerintah pusat bicara investasi SDM, sementara sekolah dan masyarakat merasakan beban logistik, gaji yang tertunda, serta menu yang mengecewakan.
Dari sudut pandang governance, persoalan ini adalah soal akuntabilitas dan koordinasi lintas lembaga. Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan pemerintah daerah harus bekerja sama erat agar program berjalan baik. Namun realitas di lapangan menunjukkan komunikasi antar lembaga lemah.
Ada sekolah yang menerima pasokan terlambat, ada daerah yang tidak punya dapur layak, sementara standar gizi antarwilayah tidak seragam. Pemerintah pusat tampak lebih sibuk mengedarkan narasi politik bahwa “anak Indonesia sekarang makan bergizi”, tetapi mengabaikan detail manajemen dan distribusi.
Jika ditelaah lebih jauh, program ini juga menyinggung masalah framing media dan komunikasi publik. Media arus utama awalnya mengangkat MBG sebagai “legacy” Prabowo, sebuah simbol keberpihakan pada rakyat kecil.
Namun media sosial, yang lebih cair dan tidak dikontrol, justru menampilkan realitas berbeda: foto-foto menu sederhana, testimoni pedagang kantin yang bangkrut, dan berita tentang keracunan massal. Publik pun terbelah: apakah program ini bentuk kepedulian atau sekadar pencitraan?
Dalam teori framing, ini jelas menunjukkan pertarungan makna antara narasi resmi pemerintah dengan narasi tandingan dari warga. Lebih jauh lagi, jika kita berbicara tentang pembangunan pendidikan yang berkualitas, tentu prioritas utama bukan sekadar memberi makan, melainkan meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.
Dana besar yang terkonsentrasi di MBG seharusnya bisa dialokasikan sebagian untuk program-program strategis seperti penyediaan beasiswa bagi siswa dari keluarga kurang mampu, peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan kompetensi, hingga pemberian insentif yang layak bagi tenaga pendidik. Semua itu adalah investasi jangka panjang yang akan memperkuat daya saing bangsa di masa depan.
Dalam lingkup perguruan tinggi, anggaran pendidikan yang begitu besar seharusnya tidak melupakan pentingnya peningkatan kualitas dosen dan penelitian. Sebagian dari dana MBG misalnya dapat dialihkan untuk meningkatkan dana riset, memberikan beasiswa pendidikan tinggi, menggelar pelatihan bagi dosen maupun tenaga kependidikan, hingga program percepatan Guru Besar.
Dengan begitu, universitas Indonesia bisa lebih produktif melahirkan pengetahuan baru, memperkuat inovasi, dan mencetak lulusan yang kompetitif secara global. Selain itu, alokasi anggaran seharusnya juga memperhatikan infrastruktur pendidikan di daerah pelosok.
Banyak sekolah di wilayah terpencil masih kekurangan ruang kelas layak, meja-kursi, bahkan sanitasi dasar. Dengan 44 persen anggaran pendidikan terkuras ke MBG, perbaikan infrastruktur rawan terabaikan.
Padahal, pendidikan berkualitas tidak mungkin lahir di ruang kelas yang bocor, dengan fasilitas minim, atau akses jalan ke sekolah yang sulit ditempuh. Mengalihkan sebagian dana ke infrastruktur dasar akan memberikan manfaat jangka panjang yang lebih merata.
Adapun tujuan utama MBG, yakni pencegahan stunting, sebenarnya bisa dicapai melalui strategi lintas sektor. Perbaikan gizi anak sebaiknya lebih banyak diarahkan pada program kesehatan: perbaikan layanan posyandu, pemberian vitamin, perbaikan sanitasi, dan layanan kesehatan ibu hamil.
Dengan demikian, masalah stunting ditangani secara komprehensif di sektor kesehatan, sementara sektor pendidikan bisa fokus pada misi utamanya: membangun kualitas pembelajaran dan meningkatkan mutu sumber daya manusia.
Dalam perspektif komunikasi dan governance, ada pelajaran penting: kebijakan publik tidak bisa berhenti pada narasi politis. Ia harus dibarengi dengan mekanisme komunikasi dua arah. Wali murid, guru, kepala sekolah, pedagang kantin, bahkan siswa perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan.
Keterlibatan ini bukan sekadar konsultasi simbolik, melainkan ruang dialog nyata untuk memastikan program relevan dengan kebutuhan lokal. Sebab, komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan dari atas ke bawah, tetapi juga soal mendengar umpan balik dari bawah ke atas.
Sebagai negara yang merayakan 80 tahun kemerdekaan, kita seharusnya belajar bahwa kemerdekaan tidak hanya soal mengusir penjajah, tetapi juga soal bagaimana membangun ruang komunikasi yang sehat antara negara dan rakyat.
MBG bisa menjadi program unggulan bila dijalankan dengan tata kelola yang transparan, komunikasi yang akuntabel, dan partisipasi masyarakat. Jika tidak, ia akan menjadi simbol kegagalan governance, bahwa anggaran besar bisa habis, tetapi manfaatnya tidak dirasakan.
Dalam konteks ini, kemerdekaan Indonesia yang ke-80 perlu ditafsir ulang. Kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari kebijakan yang menutup ruang komunikasi.
Program pendidikan, termasuk MBG, harus dijalankan dengan prinsip komunikasi terbuka, partisipatif, dan akuntabel. Hanya dengan begitu, anggaran besar bisa benar-benar menjadi investasi masa depan, bukan sekadar proyek politik.
Namun, kritik saja tidak cukup. Agar program Makan Bergizi Gratis (MBG) benar-benar memberi manfaat tanpa mengorbankan kualitas pendidikan, perlu langkah-langkah komunikasi strategis yang lebih terukur.
Pertama, transparansi digital anggaran harus menjadi fondasi. Pemerintah dapat membangun sebuah dashboard daring yang menampilkan secara rinci menu harian, nilai gizi, biaya per porsi, serta laporan distribusi anggaran di tiap sekolah. Dengan begitu, masyarakat bisa ikut mengawasi dan memastikan bahwa dana besar digunakan sesuai tujuan.
Kedua, perlu adanya forum komunikasi rutin antara sekolah, orang tua, dan pemerintah daerah. Forum ini bisa berbentuk rapat terbuka bulanan atau kanal digital interaktif, tempat wali murid menyampaikan keluhan, usulan, dan evaluasi menu. Hal ini tidak hanya memperbaiki kualitas implementasi, tetapi juga memperkuat rasa memiliki (ownership) masyarakat terhadap program.
Ketiga, mekanisme umpan balik cepat (feedback loop) harus dibangun. Misalnya, jika terjadi masalah gizi, keterlambatan distribusi, atau menu yang tidak sesuai, laporan dari lapangan bisa segera direspons oleh tim pusat melalui sistem digital berbasis aplikasi. Mekanisme ini akan menunjukkan bahwa komunikasi bukan hanya satu arah, tetapi responsif terhadap kebutuhan warga.
Keempat, untuk menghindari resistensi dan salah tafsir publik, pemerintah juga perlu melakukan kampanye komunikasi publik yang jujur dan realistis. Alih-alih hanya menonjolkan angka-angka besar, kampanye ini sebaiknya menjelaskan tantangan implementasi, proses evaluasi, dan langkah perbaikan yang sedang dilakukan. Komunikasi yang transparan akan lebih dihargai daripada retorika politik yang terkesan menutup-nutupi kelemahan.
Dengan rekomendasi ini, komunikasi organisasi dan governance dalam program MBG bisa bertransformasi: dari sekadar proyek politik menjadi ruang dialog publik yang sehat. Transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas adalah kunci agar MBG tidak hanya berhenti pada menu sederhana di piring anak-anak, tetapi menjadi kebijakan pendidikan yang benar-benar menyehatkan bangsa, baik secara fisik maupun intelektual. (*)
***
*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |