TIMES MALANG, MALANG – Pemilu merupakan ajang penting dalam demokrasi, di mana rakyat memiliki hak untuk menentukan arah kepemimpinan nasional. Dalam proses tersebut, kampanye menjadi instrumen utama untuk menyampaikan gagasan, program, dan karakter kandidat kepada publik.
Namun, di tengah kemajuan teknologi informasi dan intensitas kompetisi politik yang tinggi, etika dalam komunikasi politik kerap terabaikan.
Komunikasi politik yang semestinya mencerdaskan pemilih, justru seringkali disusupi oleh narasi manipulatif, kampanye hitam, dan ujaran kebencian. Maka dari itu, penting untuk menempatkan kembali komunikasi politik dalam kerangka etika yang menjunjung integritas dan rasionalitas publik.
Komunikasi Politik sebagai Fondasi Utama dalam Proses Kampanye
Komunikasi politik adalah jantung dari setiap kampanye politik. Ia bukan hanya tentang bagaimana seorang kandidat berbicara di depan massa, tetapi juga tentang bagaimana makna dan simbol politik dikonstruksi serta disampaikan kepada publik untuk mempengaruhi opini dan perilaku pemilih.
McNair (2011) menyebutkan bahwa komunikasi politik mencakup semua bentuk komunikasi yang menyangkut kekuasaan dan kebijakan pemerintahan, baik oleh aktor negara, partai, media, maupun warga.
Menurut model komunikasi klasik yang dikembangkan oleh Harold Lasswell Who says what in which channel to whom with what effect kampanye politik merupakan bentuk komunikasi strategis yang kompleks.
Setiap elemen dari model ini menggambarkan bahwa komunikasi yang tidak hanya efektif, tetapi juga etis, sangat penting dalam menciptakan kampanye yang bermutu. Kredibilitas komunikator, kejelasan pesan, saluran komunikasi yang digunakan, serta segmentasi audiens, semuanya memainkan peran vital.
Dalam konteks kontemporer, teori agenda setting dari McCombs dan Shaw (1972) juga menjelaskan bahwa media dan aktor politik memiliki kekuatan untuk membentuk fokus perhatian publik.
Ketika isu-isu kampanye tidak lagi mencerminkan kebutuhan publik tetapi diarahkan oleh strategi manipulatif, maka demokrasi mengalami kemunduran. Kampanye tidak lagi menjadi panggung dialog, melainkan medan perang narasi yang membingungkan.
Etika dalam Komunikasi Politik
Etika komunikasi politik mengacu pada prinsip-prinsip moral yang harus dijunjung dalam proses penyampaian pesan politik. Nilai seperti kejujuran, akuntabilitas, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak lawan politik menjadi pondasi utama dalam membangun ruang publik yang sehat.
Tanpa etika, komunikasi politik berubah menjadi propaganda yang destruktif dan menyesatkan. Habermas (1989) melalui gagasan public sphere-nya menekankan pentingnya ruang diskursif yang rasional, inklusif, dan terbuka.
Dalam konteks pemilu, komunikasi politik seharusnya memperkuat ruang publik ini bukan merusaknya. Kampanye yang berbasis hoaks, ujaran kebencian, dan manipulasi identitas hanya akan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi politik.
Studi oleh Rohman dan Widianti (2021) dalam Jurnal Komunikasi Universitas Airlangga menunjukkan bahwa praktik komunikasi politik yang tidak etis selama kampanye legislatif berdampak langsung pada meningkatnya distrust masyarakat terhadap proses politik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilih muda khususnya menjadi kelompok yang paling skeptis terhadap pesan-pesan politik yang dianggap tidak autentik.
Sementara itu, dalam Jurnal Penelitian Politik LIPI (2020), Fajriani menekankan bahwa keberhasilan kampanye bukan hanya ditentukan oleh masifnya penyebaran informasi, tetapi oleh kualitas substansi pesan yang disampaikan.
Komunikasi politik yang berbasis data, rasionalitas, dan empati cenderung lebih diterima oleh pemilih dibandingkan narasi bombastis yang penuh retorika kosong.
Peran Media, Buzzer, dan Platform Digital
Media massa dan media sosial telah menjadi medium utama dalam distribusi komunikasi politik. Di satu sisi, media memberi ruang luas untuk keterlibatan politik warga.
Namun, di sisi lain, media juga dapat menjadi senjata politik yang digunakan untuk membentuk opini publik secara sepihak. Terlebih lagi, kehadiran buzzer politik memperkeruh etika komunikasi, dengan mengedepankan narasi partisan dan serangan personal.
Fenomena ini dibahas dalam Jurnal Sosioteknologi ITB oleh Mardliyah dan Irwansyah (2023) yang menunjukkan bagaimana akun buzzer di Twitter memainkan peran sentral dalam membentuk persepsi publik menjelang pemilu, sering kali melalui teknik framing yang menyesatkan.
Penelitian ini juga menyoroti lemahnya literasi digital masyarakat dalam memilah informasi yang kredibel dan yang tidak. Oleh karena itu, penting bagi regulator seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memperketat regulasi kampanye digital, serta melibatkan platform media sosial dalam mengontrol penyebaran konten yang melanggar etika politik.
Menumbuhkan Kesadaran Etik dan Literasi Politik
Menjaga ruang publik yang sehat tidak hanya menjadi tanggung jawab elit politik dan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga masyarakat sebagai penerima pesan. Literasi politik dan digital harus terus ditingkatkan agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar, memahami strategi komunikasi yang manipulatif, dan membuat keputusan politik yang rasional.
Kampanye politik seharusnya diarahkan sebagai ruang edukasi publik, bukan sekadar ajang perebutan suara. Kandidat dan partai politik harus sadar bahwa membangun narasi yang jujur, inklusif, dan faktual akan berdampak lebih besar dalam jangka panjang dibandingkan kemenangan elektoral yang diraih lewat cara-cara tidak etis.
Demokrasi Butuh Komunikasi yang Bermartabat
Komunikasi politik bukan sekadar alat kampanye, akan tetapi cerminan kedewasaan demokrasi suatu bangsa. Ketika komunikasi politik dilakukan dengan etika, maka kampanye tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga sarana pendidikan politik, ruang dialog, dan alat membangun kepercayaan publik.
Di tengah era digital yang riuh dan penuh disinformasi, etika dalam komunikasi politik menjadi kompas moral yang menjaga agar proses demokrasi tetap berada pada jalurnya.
Untuk itu, setiap aktor politik, media, dan masyarakat harus bersama-sama menjaga ruang publik tetap sehat, rasional, dan bermartabat. Hanya dengan begitu, demokrasi kita akan tumbuh bukan hanya dalam angka partisipasi, tetapi juga dalam kualitas substansinya. (*)
***
*) Oleh : Achmad Firman Maulana, Mahasiswa Magister Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya serta Ketua GPPD Malang Raya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |