TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada 2 Mei menjadi momen untuk merenungkan kondisi pendidikan di Indonesia, terutama di daerah-daerah tertinggal seperti Pulau Madura.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Bangkalan (66,82) dan Sampang (66,19) masih jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata IPM Provinsi Jawa Timur (74,39). Meskipun Sumenep (69,13) dan Pamekasan (70,85) memiliki IPM yang lebih baik, kesenjangan pembangunan manusia, termasuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan, tetap terasa.
Selain itu, data Rata-rata Lama Sekolah (RLS) menunjukkan Kabupaten Sampang hanya mencapai 5,07 tahun, lebih rendah dibandingkan Pamekasan (7,13 tahun). Angka Melek Huruf (AMH) di Sampang juga rendah, yaitu 78,03%, jauh tertinggal dibandingkan Sumenep (87,23%). Meskipun Bangkalan dan Pamekasan memiliki AMH yang lebih tinggi (86,67%), angka ini masih menunjukkan kebutuhan perbaikan.
Angka Partisipasi Murni (APM) di tingkat SMA di Sampang juga hanya 54,12%, jauh lebih rendah dibandingkan Surabaya yang mencapai 87,23%. Hal ini menandakan rendahnya akses pendidikan menengah di Madura, yang berdampak pada kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut.
Di sisi lain, rasio guru bersertifikasi di Madura masih di bawah 60% dan distribusinya tidak merata, terutama pada mata pelajaran inti seperti matematika dan bahasa Inggris. Akses terhadap teknologi yang terbatas juga menghambat penerapan metode pembelajaran modern.
Momen Hardiknas seharusnya menjadi refleksi untuk mengevaluasi sistem pendidikan, terutama di daerah tertinggal seperti Madura. Walaupun berbagai kebijakan pendidikan telah diterapkan, kesenjangan sosial dan ekonomi, terutama di Madura, belum berhasil dikurangi.
Oleh karena itu, perbaikan kualitas dan akses pendidikan di Madura perlu menjadi prioritas kebijakan pemerintah, dengan pendekatan yang lebih fokus pada kebutuhan lokal, seperti pengadaan fasilitas, pelatihan guru, dan peningkatan akses teknologi.
Mengapa Madura Belum Melompat Jauh?
Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk mobilitas sosial dan pembangunan manusia, namun di Madura, pendidikan belum berhasil menjadi jembatan perubahan sosial yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh faktor sejarah dan budaya yang kuat di masyarakat Madura, di mana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian dan migrasi. Pendidikan formal sering dianggap kurang penting dibandingkan kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut studi Kemendikbudristek (2021), lebih dari 60% siswa di Madura kesulitan mengakses pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 karena masalah sinyal dan perangkat yang tidak memadai. Padahal, akses teknologi sangat penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun, masalah pendidikan di Madura bukan hanya soal ekonomi atau geografi. Struktur sosial konservatif di sebagian besar daerah Madura membuat nilai tradisional lebih dihargai daripada pendidikan formal.
Pendidikan dianggap hanya sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan, bukan untuk membangun karakter atau kemajuan bangsa. Hal ini membatasi peran pendidikan dalam mengoptimalkan potensi generasi muda di Madura.
Selain itu, kebijakan pendidikan nasional sering tidak memperhatikan kebutuhan spesifik daerah. Kebijakan yang terpusat di Jakarta dan tidak mempertimbangkan kondisi lokal membuat implementasi di Madura sulit.
Kurikulum yang seragam seringkali tidak relevan dengan sumber daya dan kebutuhan lokal, yang semakin memperburuk ketidaksetaraan dalam kualitas pendidikan antarwilayah.
Pendidikan Masih Berwajah Perkotaan
Kebijakan pendidikan di Indonesia masih cenderung berpusat pada kebutuhan daerah perkotaan. Banyak kebijakan dibuat seolah-olah semua daerah punya infrastruktur, tenaga pendidik, dan akses teknologi yang memadai.
Padahal, kenyataannya, wilayah seperti Madura terutama kawasan terpencil seperti beberapa kepulauan di Sumenep masih mengalami banyak keterbatasan dalam layanan pendidikan. Sekolah-sekolah di pulau-pulau kecil sering kekurangan guru, fasilitas rusak, dan sulit dijangkau karena transportasi terbatas.
Selain itu, alokasi anggaran pendidikan di sebagian besar kabupaten di Madura masih di bawah 20% dari APBD, padahal konstitusi menargetkan minimal 20%. Ini menunjukkan bahwa sektor pendidikan belum menjadi prioritas utama di tingkat daerah.
Potensi pesantren sebagai lembaga pendidikan lokal juga belum diintegrasikan secara maksimal ke dalam sistem pendidikan formal. Padahal, pesantren bisa menjadi jembatan penting untuk memperluas akses dan kualitas pendidikan, khususnya di wilayah-wilayah seperti kepulauan Sumenep yang jauh dari pusat pemerintahan.
Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan kebijakan yang lebih inklusif dan berpihak pada daerah tertinggal. Pemerintah pusat dan daerah harus melibatkan masyarakat lokal dan pesantren dalam perencanaan serta pelaksanaan program pendidikan, agar seluruh anak di Indonesia, termasuk yang di pulau-pulau kecil, mendapatkan hak pendidikan yang setara.
Rekomendasi Untuk Lompatan Pendidikan di Madura
Untuk mengurangi kesenjangan pendidikan di Madura, diperlukan kebijakan yang berbasis data dan melibatkan masyarakat. Langkah awal yang penting adalah memetakan kebutuhan pendidikan di tingkat desa menggunakan data Dapodik dan EMIS. Dengan begitu, pemerintah bisa merancang program yang sesuai, seperti pengadaan fasilitas, pelatihan guru, dan penyediaan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Perbaikan pendidikan juga butuh kerja sama banyak pihak. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pesantren, komunitas lokal, sektor swasta, dan LSM perlu dilibatkan. Pesantren, misalnya, bisa membantu dalam program literasi dan pelatihan keterampilan, sementara pihak swasta dan pemerintah bisa menyediakan ruang belajar dan fasilitas lain.
Digitalisasi juga penting untuk kemajuan pendidikan. Masalah internet masih menjadi tantangan besar di banyak daerah di Madura. Pemerintah harus bekerja sama dengan operator telekomunikasi untuk memperluas akses internet, terutama di wilayah yang belum terjangkau. Guru juga perlu dilatih agar bisa memanfaatkan teknologi dalam proses belajar mengajar.
Meski Madura sudah tidak masuk kategori daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), ketimpangan pendidikan masih terasa. Karena itu, kebijakan afirmasi tetap diperlukan untuk memberikan kesempatan bagi pemuda berprestasi dari Madura untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beasiswa afirmasi, seperti yang terdapat dalam program Beasiswa 3T LPDP, dapat membantu pemuda dari Madura untuk mengakses pendidikan tinggi yang berkualitas.
Selain itu, memberi kuota khusus untuk siswa Madura di kampus negeri lewat jalur SNBT akan membantu mengurangi kesenjangan akses pendidikan antara Madura dan daerah lainnya. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi generasi muda Madura untuk berkembang dan meraih cita-cita yang lebih tinggi.
Pendidikan sebagai Gerakan Kolektif Madura
Harapan ke depan adalah agar pendidikan di Madura tidak lagi menjadi masalah yang terbengkalai. Pendidikan harus menjadi gerakan kolektif yang melibatkan semua pihak. Hardiknas seharusnya menjadi momen untuk menyadarkan seluruh elemen masyarakat Madura akan pentingnya pendidikan sebagai alat untuk memajukan daerah dan meningkatkan kualitas hidup.
Generasi muda Madura harus diberikan kesempatan yang sama dengan anak-anak di wilayah lain di Indonesia. Mereka berhak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, fasilitas yang memadai, dan guru yang berkualitas.
Jika pendidikan di Madura berhasil diberdayakan, maka masa depan Madura akan semakin cerah dan dapat bersaing dengan daerah lain di Indonesia. Madura berpotensi besar, dan pendidikan adalah kunci untuk membuka potensi tersebut.
***
*) Oleh : Fatlurrahman, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Founder Madura Bestari, Peneliti Academic & Social Studies (ACCESS).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
______
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |