https://malang.times.co.id/
Berita

Digitalisasi Picu Brain Rot, Dosen UB: Anak Sulit Fokus, Tak Sabar, dan Malas Membaca

Senin, 23 Juni 2025 - 19:57
Digitalisasi Picu Brain Rot, Dosen UB: Anak Sulit Fokus, Tak Sabar, dan Malas Membaca Devinta Puspita Ratri, S.Pd., M.Pd, pakar linguistik dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FIB UB. (Foto: Istimewa)

TIMES MALANG, MALANG – Gelombang konten pendek di media sosial kini bukan hanya menghibur, tapi mulai menimbulkan kekhawatiran baru di dunia pendidikan. Fenomena yang disebut brain rot ini, diam-diam mulai menggerogoti kemampuan konsentrasi dan nalar generasi muda.

Anak-anak yang sebelumnya mudah terlibat dalam aktivitas belajar, kini cepat bosan dan sulit fokus hanya karena terbiasa dengan pola konten digital yang serba instan.

Devinta Puspita Ratri, seorang dosen dan pakar linguistik dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (UB), menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi ini. Ia menjelaskan bahwa brain rot bukanlah kerusakan otak secara fisik, melainkan perubahan mental yang terjadi akibat kebiasaan digital yang merusak.

“Konten-konten pendek membuat otak terbiasa bekerja dalam waktu singkat. Anak-anak menjadi tidak sabaran, sulit fokus, dan kehilangan minat untuk membaca,” jelasnya.

Devinta menyebutkan bahwa tren ini tidak hanya berdampak pada proses belajar, tetapi juga cara anak-anak mengkonsumsi dan memproduksi konten. Banyak dari mereka lebih tertarik mengejar popularitas di media sosial daripada memikirkan isi dan nilai dari apa yang mereka unggah.

“Banyak dari mereka hanya mengejar popularitas di media sosial tanpa memperhatikan kualitas kontennya. Ini menumbuhkan budaya instan dan dangkal,” ujarnya.

Dalam pandangannya, teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) juga turut berkontribusi terhadap kemunduran pola pikir anak-anak jika tidak digunakan dengan bijak.

“Sekarang banyak yang hanya mengandalkan AI tanpa mau memahami, padahal berpikir kritis itu tetap harus dilatih,” tambahnya.

Tak hanya berdampak kognitif, brain rot juga membawa dampak sosial dan emosional. Devinta memberi contoh bahwa pemahaman dasar anak-anak kini menurun drastis, bahkan ada yang mengira Garut adalah negara di Eropa.

“Beberapa komentar anak di media sosial menunjukkan rendahnya pemahaman dasar. Bahkan ada yang menyebut Garut sebagai negara di Eropa. Ini sangat mengkhawatirkan,” katanya.

Dalam menghadapi fenomena ini, ia menegaskan pentingnya peran orang tua untuk mendampingi anak-anak dalam menggunakan perangkat digital. Selain membatasi waktu layar, anak perlu dikenalkan pada kegiatan alternatif seperti membaca buku atau bermain secara fisik.

“Anak-anak harus dikenalkan pada digital hygiene, yaitu kemampuan memilah konten yang bermanfaat,” jelasnya.

Sekolah juga punya tanggung jawab untuk mengembangkan cara berpikir kritis siswa, bukan hanya menyampaikan materi akademik. Devinta juga mendesak pemerintah, khususnya Kementerian Kominfo, untuk lebih tegas menyaring konten-konten tidak mendidik yang tersebar luas di media sosial.

“Konten-konten receh dan sensasional masih banyak berseliweran. Ini tugas bersama, bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat,” tegas Devinta.

Ia pun menutup pernyataannya dengan ajakan kepada semua pihak untuk saling bergandengan tangan dalam menghadapi tantangan digitalisasi yang makin kompleks. “Fenomena brain rot ini hanya bisa dicegah dengan kerja kolektif. Semua harus ambil peran,” pungkasnya. (*)

Pewarta : Achmad Fikyansyah
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.