TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Kasus dugaan mafia tanah kembali mencuat di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan dugaam modus operandi meliputi pemalsuan dokumen, manipulasi data, dan penyalahgunaan kepercayaan atau juga penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks hukum pidana Indonesia, sang mafia tanah dapat dikenakan beberapa pasal sekaligus. Mafia tanah dapat dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, Pasal 378 KUHP tentang penipuan, dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Jenis kejahatan ini dapat menimpa siapa saja.
Jika dilihat dari karakteristik deliknya, pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP adalah delik biasa, artinya proses penegakan hukumnya tidak bergantung pada adanya pengaduan dari korban. Polisi dapat langsung melakukan penyelidikan begitu menemukan indikasi adanya surat palsu yang dipergunakan untuk merugikan pihak lain.
Ini penting, sebab dalam banyak kasus mafia tanah, korban seringkali tidak memahami atau terlambat menyadari bahwa haknya telah diserobot. Oleh sebab ini jika ada masyarakat yang merasa menjadi korban dari adanya mafia tanah segera melapor ke pihak kepolisian.
Saat ini sebisa mungkin masyarakat yang sedang mengurus administrasi pertanahan dapat terlibat langsung dan melakukan pengawasan langsung agar terhendar dari kejahatan mafia tanah.
Sementara itu, tindak pidana penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP adalah merupakan delik biasa, Penipuan termasuk delik biasa karena tidak memerlukan laporan dari korban untuk memulai proses hukum. Siapapun yang mengetahui tindak pidana penipuan dapat melaporkannya kepada pihak kepolisian.
Hal ini berbeda dengan delik aduan, di mana laporan dari korban atau pihak yang dirugikan adalah prasyarat untuk memulai proses hukum. Adanya laporan kepada penegak hukum atas bertujuan agara proses penegakan dapat dilakukan dengan cepat untuk mencegah adanya korban yang lebih banyak.
Dengan demikian, aparat penegak hukum tetap dapat bertindak walaupun korban tidak secara aktif melapor. Pemerintah harus dapat dengan tegas melakukan pengawasan terhadap para pihak yang terlibat dalam proses administrasi pertanahan untuk meminimalisir adanya praktek mafia tanah.
Sedangkan penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP secara prinsip adalah delik biasa, bukan delik aduan, kecuali jika terjadi dalam lingkup keluarga. Artinya, penggelapan dapat dituntut tanpa adanya pengaduan dari korban.
Bahkan jika barang yang digelapkan dikembalikan polisi tetap dapat melakukan proses penegakan hukum. Pasal 372 KUHP ini menjadi bentuk perlindungan hukum bagi masyarakat, sehingga masyarakat jangan ragu untuk melaporkan para mafia tanah.
Apabila dalam praktik mafia tanah ini terdapat keterlibatan aparat negara atau pejabat publik, selain pasal-pasal di atas, pelaku juga dapat dijerat dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik dalam memfasilitasi pengalihan hak atas tanah secara melawan hukum mempertegas adanya tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman yang lebih berat.
Upaya pidana bertujuan untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari pelaku, sedangkan upaya perdata difokuskan pada pembatalan perbuatan hukum, pengembalian hak atas tanah, serta pemulihan status hak milik serta menuntuk ganti rugi terhadap pelaku.
Selain itu, dalam rangka melindungi korban dari kemungkinan intimidasi atau ancaman, korban berhak mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Keberadaan mafia tanah merupakan ancaman serius terhadap kepastian hukum, keadilan sosial, dan hak konstitusional warga negara atas tanah. Oleh karena itu, apabila terdapat masyarakat lain yang mengalami peristiwa serupa.
Maka langkah utama yang harus dilakukan adalah segera membuat laporan resmi kepada kepolisian, menghimpun seluruh bukti terkait, dan meminta pendampingan hukum.
Negara wajib mengambil langkah tegas melalui aparat penegak hukum untuk memastikan praktik mafia tanah diberantas hingga ke akarnya, guna menjaga supremasi hukum dan melindungi hak-hak masyarakat kecil.
Kasus mafia tanah seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa praktik ilegal ini dapat menyerang siapa saja, terutama mereka yang tidak memiliki pemahaman hukum yang memadai. Penegakan hukum yang tegas, harus dilakukan dengan tegas dan terbuka dalam proses penegakan hukum.
Pemerintah dan aparat penegak hukum harus bekerja lebih keras untuk memastikan bahwa hak atas tanah yang menjadi hak konstitusional warga negara tidak dapat dengan mudah dihilangkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. (*)
***
*) Oleh : Atqo Darmawan Aji, S.H., M.H., Fakultas Hukum UAD.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |