TIMES MALANG, JAKARTA – Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus presidential threshold menjadi 0%, diskursus politik nasional kini beralih pada wacana penghapusan parliamentary threshold.
Wacana ini dipicu oleh ungkapan Yusril Ihza Mahendra pada (13/12025). Baginya, penghapusan presidential threshold ini secara logis memiliki dampak domino yang tak terhindarkan terhadap parliamentary threshold.
Bagi partai-partai kecil, termasuk Partai Bulan Bintang, menurutnya peluang ini membawa harapan baru untuk lebih berkontribusi dalam demokrasi Indonesia. Sebelumnya, parliamentary threshold ditetapkan sebagai ambang batas bagi partai politik untuk memperoleh kursi di DPR. Namun, jika threshold ini dibatalkan, maka lanskap politik Indonesia akan berubah secara signifikan.
Jika mengutip putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 48/PUU-XVIII/2020, parliamentary threshold adalah ambang batas suara minimal yang harus diraih partai politik agar dapat ikut serta dalam pembagian kursi di DPR.
Saat ini, angka tersebut berada di level 4% dari total suara sah nasional. Angka ini menciptakan paradoks demokrasi, di satu sisi menyederhanakan konfigurasi politik, namun di sisi lain menyingkirkan suara jutaan rakyat yang diwakili kelompok minoritas yang berangkat dari partai-partai kecil. Data Pemilu 2019 mencatat bahwa lebih dari 13,6 juta suara “hilang” akibat tidak terpenuhinya ambang batas ini.
Padahal, Hanna Pitkin dalam Teori Representasi (1967), menguraikan inti dari demokrasi adalah memastikan setiap suara masyarakat, termasuk kelompok minoritas, terwakili dalam pengambilan keputusan politik.
Sayangnya, dalam konteks ini, parliamentary threshold dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, threshold mencegah fragmentasi politik yang berlebihan dengan menyaring partai-partai kecil yang tidak memiliki kekuatan politik signifikan.
Namun, di sisi lain, ambang batas yang terlalu tinggi justru menghambat keterwakilan, menciptakan ketimpangan demokrasi, dan menyia-nyiakan aspirasi masyarakat.
Jika parliamentary threshold dihapus, lanskap politik Indonesia akan berubah secara signifikan. Keberadaan banyak partai di parlemen mungkin memperkuat inklusivitas, tetapi juga berpotensi menciptakan fragmentasi.
Fungsi legislatif, seperti legislasi, pengawasan, dan penganggaran, bisa terganggu akibat sulitnya mencapai konsensus di antara banyaknya partai.
Sebagaimana diungkapkan oleh Wakil Ketua MPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, (14/1/2025), “Jika terlalu banyak partai, fungsi-fungsi DPR akan terganggu dan pemerintah juga akan mengalami kesulitan.”
Oleh karena itu, meskipun penghapusan parliamentary threshold dapat membuka peluang bagi partai-partai kecil, hal ini harus diimbangi dengan mekanisme untuk menjaga efektivitas parlemen.
Fenomena parliamentary threshold memang bukan hanya terjadi di Indonesia, belajar dari pengalaman internasional, Negara-negara lain menawarkan berbagai pelajaran tentang penerapan parliamentary threshold.
Jerman misalnya, menetapkan ambang batas 5% untuk parlemen federal guna menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pluralitas politik. Namun, sistem mixed-member proportional representation (MMP) yang mereka terapkan memungkinkan representasi proporsional dengan tetap mempertahankan efektivitas kerja legislatif.
Sebaliknya, Israel yang hanya menetapkan threshold 3,25% sering menghadapi tantangan besar dalam membentuk pemerintahan karena fragmentasi politik yang tinggi. Dalam dekade terakhir, Israel harus menggelar lima kali pemilu akibat kesulitan membangun koalisi yang stabil. Pengalaman ini menjadi peringatan bahwa threshold rendah, memang cenderung memperluas representasi, namun juga dapat memicu kebuntuan politik (Political Gridlock).
Untuk menjaga keseimbangan antara representasi dan stabilitas, Indonesia perlu mempertimbangkan penurunan Threshold ke Tingkat Moderat: Ambang batas 2-3% dapat menjadi kompromi antara inklusivitas politik dan stabilitas parlemen.
Selain itu, Penerapan Sistem Pemilu Campuran bisa jadi alternatif lain untuk diadopsi, sistem seperti di Jerman, di mana sebagian kursi dialokasikan melalui sistem distrik dan sebagian lainnya melalui proporsionalitas, dapat memastikan keterwakilan lebih luas tanpa mengorbankan stabilitas.
Parliamentary threshold adalah instrumen penting dalam menjaga keseimbangan demokrasi, tetapi penerapannya harus kontekstual dengan realitas politik Indonesia.
Menghapus threshold tanpa mekanisme penyeimbang berisiko menciptakan fragmentasi yang menghambat kerja legislatif. Namun, mempertahankan ambang batas yang tinggi juga dapat mencederai prinsip representasi yang adil.
Wa ba’du, Dengan reformasi sistem pemilu yang bijak, Indonesia dapat menciptakan demokrasi yang tidak hanya inklusif tetapi juga efektif. Dan sudah saatnya demokrasi Indonesia kembali pada khittah-nya yaitu kembalinya kedaulatan rakyat secara kaffah. (*)
***
*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |