TIMES MALANG, JAKARTA – Indonesia, yang telah merdeka sejak 1945, seharusnya sudah lepas dari belenggu penjajahan. Namun, apa yang kita saksikan saat ini justru adalah bentuk penjajahan baru yang semakin meresahkan.
Penjajahan tersebut tidak lagi datang dari negara asing, tetapi dari entitas korporasi besar yang merambah ke dalam kehidupan ekonomi, politik, dan sosial masyarakat. Korporasi-korporasi ini, dengan kekuatan modal dan pengaruh yang luar biasa, telah mampu membungkam suara rakyat dan mendikte kebijakan pemerintah.
Ironisnya, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat, justru lebih sering terlihat tunduk pada kepentingan korporasi, melupakan peranannya sebagai pelindung rakyat.
Tunduknya pemerintah terhadap korporasi bukanlah fenomena yang terjadi dalam semalam. Ia merupakan hasil dari akumulasi hubungan simbiotik yang saling menguntungkan antara pemerintah dan korporasi besar. Seiring waktu, korporasi mulai memasuki hampir semua sektor ekonomi, dari sumber daya alam, energi, hingga sektor teknologi dan keuangan.
Dalam banyak kasus, korporasi-korporasi besar ini tidak hanya sekadar berbisnis, tetapi juga turut menentukan kebijakan publik yang seharusnya berpihak kepada kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, rakyat menjadi korban dari eksploitasi yang dilakukan tanpa batas.
Bentuk-bentuk penjajahan yang dilakukan oleh korporasi ini seringkali tidak tampak secara kasat mata. Namun, dampaknya terasa dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Misalnya, dalam pengelolaan sumber daya alam, korporasi besar seringkali mendapatkan izin untuk mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia dengan cara yang merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Kasus-kasus yang seringkali mencuat, seperti perusakan hutan, pencemaran air, hingga perampasan lahan warga untuk kepentingan perkebunan atau pertambangan, menunjukkan bagaimana korporasi dapat bertindak semena-mena tanpa ada sanksi yang berarti.
Lebih buruknya lagi, dalam banyak kasus, pemerintah cenderung melindungi korporasi daripada masyarakat yang menjadi korban.
Fenomena ini menggambarkan betapa rapuhnya prinsip keadilan dalam pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah seringkali mengabaikan protes dari masyarakat lokal yang terdampak, dengan alasan pembangunan ekonomi dan investasi yang dibawa oleh korporasi.
Padahal, apa yang terjadi justru berbalik arah. Pembangunan yang didorong oleh korporasi seringkali hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat banyak justru menanggung dampak buruknya.
Pekerjaan yang dijanjikan seringkali tidak memenuhi standar yang layak, dan dampak sosial yang ditimbulkan, seperti pergeseran budaya, konflik sosial, dan ketidakadilan ekonomi, hanya menjadi beban tambahan bagi masyarakat.
Lebih jauh lagi, kekuatan korporasi seringkali melampaui batas-batas yang seharusnya dipatuhi dalam sebuah negara hukum. Banyak korporasi besar yang menggunakan lobi-lobi politik untuk mempengaruhi kebijakan dan regulasi yang menguntungkan mereka.
Dalam beberapa kasus, kolusi antara pengusaha dan pejabat pemerintah semakin sulit untuk dibedakan. Alih-alih bertindak sebagai regulator yang adil, pemerintah seakan-akan menjadi alat untuk melancarkan kepentingan korporasi. Korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi hal yang semakin sulit untuk dibasmi dalam situasi seperti ini.
Pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada pencapaian pertumbuhan ekonomi semata. Pembangunan yang berkelanjutan dan adil harus menjadi prioritas utama.
Dalam hal ini, kebijakan yang berpihak pada korporasi harus digantikan dengan kebijakan yang lebih memperhatikan kesejahteraan rakyat. Negara harus bisa memastikan bahwa setiap investasi yang masuk ke Indonesia tidak hanya menguntungkan segelintir orang, tetapi juga memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat.
Sebuah sistem yang adil seharusnya memprioritaskan hak-hak masyarakat, bukan korporasi yang terus-menerus mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia demi keuntungan semata.
Namun, untuk mencapai perubahan tersebut, dibutuhkan keberanian dari pemerintah untuk menegakkan hukum dan menuntut pertanggungjawaban dari korporasi yang merugikan rakyat. Pemerintah harus tegas dalam melaksanakan kebijakan yang mengutamakan kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Ini berarti mengurangi ketergantungan terhadap investasi asing yang tidak bertanggung jawab, serta mendorong terciptanya bisnis yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan sosial.
Selain itu, masyarakat juga perlu lebih sadar akan kekuatan mereka dalam menuntut hak-hak mereka. Melalui gerakan sosial, protes, dan advokasi hukum, masyarakat dapat menjadi agen perubahan yang mengoreksi ketimpangan ini.
Partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengkritik kebijakan pemerintah dan tindakan korporasi sangat penting untuk menciptakan suatu sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.
Masyarakat tidak boleh lagi menjadi penonton dalam proses pembangunan, tetapi harus menjadi aktor utama yang memastikan bahwa semua kebijakan dan praktik bisnis dilakukan dengan cara yang bertanggung jawab.
Penjajahan oleh korporasi di Indonesia harus dihentikan. Rakyat Indonesia berhak untuk menikmati kemerdekaan yang sesungguhnya-kemerdekaan yang tidak hanya bebas dari penjajahan asing, tetapi juga bebas dari eksploitasi dan ketidakadilan yang dipertahankan oleh kekuatan ekonomi yang tidak terkendali.
Pemerintah harus berani melawan ketergantungan pada korporasi dan menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, kita semua harus berjuang untuk mewujudkan negara yang adil, sejahtera, dan merdeka sejati, tidak hanya di atas kertas, tetapi juga dalam setiap aspek kehidupan.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |