https://malang.times.co.id/
Opini

Gelombang Protes Revisi UU TNI

Kamis, 27 Maret 2025 - 20:00
Gelombang Protes Revisi UU TNI Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan

TIMES MALANG, JAKARTA – Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 telah memicu gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa. Mereka menilai bahwa perubahan dalam UU tersebut berpotensi mengancam prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah lama dijunjung tinggi di Indonesia.

Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah penambahan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), termasuk menanggulangi ancaman siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara di luar negeri. 

Meskipun tampaknya positif, perluasan peran ini dikhawatirkan dapat membuka peluang bagi militer untuk lebih terlibat dalam ranah sipil, yang berpotensi mengaburkan batas antara fungsi militer dan sipil.

Selain itu, revisi Pasal 47 UU TNI memungkinkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil, meningkat dari 10 menjadi 14 posisi. Meskipun terdapat ketentuan bahwa prajurit harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer sebelum mengisi jabatan tersebut, banyak pihak khawatir bahwa hal ini dapat membuka celah bagi kembalinya dwifungsi ABRI yang pernah menjadi kontroversi di masa lalu.

Perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI, seperti yang diatur dalam Pasal 53, juga menjadi sorotan. Bintara dan tamtama kini pensiun pada usia 55 tahun, perwira hingga pangkat kolonel pada usia 60 tahun, dan perwira tinggi bintang empat pada usia 63 tahun, dengan batas maksimal 65 tahun. Perubahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai regenerasi dan dinamika dalam tubuh TNI itu sendiri.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyuarakan kekhawatiran bahwa revisi UU TNI ini dapat melanggengkan praktik penggusuran warga dengan dalih investasi. Mereka menilai bahwa suara dan kegelisahan rakyat tidak lagi menjadi pedoman dalam pembuatan undang-undang, yang mencerminkan erosi prinsip negara hukum demokratis.

Di berbagai daerah, mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa menolak revisi UU TNI. Mereka menuntut penghapusan multifungsi ABRI dan menolak keterlibatan militer dalam sektor sipil, yang dinilai berpotensi menciptakan represi dan menghambat kehidupan demokratis. 

Menanggapi protes tersebut, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menegaskan bahwa tidak ada aturan wajib militer dalam revisi UU TNI yang baru disahkan. 

Ia juga menekankan bahwa perubahan UU ini tidak akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, memastikan bahwa militer tetap fokus pada tugas pertahanan negara tanpa terlibat dalam ranah politik atau bisnis. 

Namun, pernyataan pemerintah tersebut belum sepenuhnya meredakan kekhawatiran publik. Banyak yang mempertanyakan transparansi dan partisipasi publik dalam proses revisi UU TNI ini. 

Mereka berpendapat bahwa perubahan signifikan dalam undang-undang yang mengatur militer seharusnya melibatkan diskusi dan masukan dari berbagai elemen masyarakat untuk memastikan bahwa prinsip demokrasi dan hak asasi manusia tetap terjaga.

Selain itu, beberapa pihak menyoroti bahwa perluasan peran TNI dalam ranah sipil dapat mengaburkan garis demarkasi antara militer dan sipil, yang selama ini dijaga untuk mencegah dominasi militer dalam kehidupan bernegara. Hal ini dianggap sebagai langkah mundur dalam upaya reformasi militer yang telah dilakukan sejak era reformasi.

Di sisi lain, pemerintah berargumen bahwa revisi ini diperlukan untuk menyesuaikan peran TNI dengan dinamika ancaman dan tantangan keamanan yang semakin kompleks, seperti ancaman siber dan perlindungan warga negara di luar negeri. Mereka menegaskan bahwa perubahan ini tetap berlandaskan pada nilai dan prinsip demokrasi, supremasi sipil, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Namun, tanpa adanya komunikasi yang efektif dan transparansi dalam proses legislasi, sulit bagi publik untuk menerima alasan tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara dapat tergerus jika aspirasi dan kekhawatiran mereka tidak diakomodasi dalam proses pembuatan kebijakan yang berdampak luas seperti ini.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan legislatif untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok yang merasa terdampak oleh revisi UU TNI ini. 

Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil benar-benar mencerminkan kehendak rakyat dan sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang kita junjung bersama.

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.