TIMES MALANG, BATU – Impor gula makin menggila. Bagaimana tidak, sebanyak 2.000 ton gula impor dari Thailand telah tiba di Pelabuhan Tanjung Priok.
Frans Marganda (Direktur Utama ID Food) menjelaskan, di tahap pertama ini akan ada Gula Kristal Putih (GKP) lain yang akan datang di Tanjung Priok dengan total 32.500 ton gula hingga awal mei. Ada 3.700 ton di Belawan dan 2.500 ton di Tanjung Perak. Dengan total impor GKP sebanyak 900 ribu ton lebih pada tahun ini. Dari negara pengimpor Thailand, India, dan Australia. (ekonomi.repubika.co.id, 01/04/2023).
Wajar saja, jika dari net eksportir RI menjadi importir gula terbesar di dunia. Dengan dalil menjaga harga gula di masyarakat dan tidak datang pada musim giling tebu impor besar terus dilakukan. Memang dilihat dari data, stok gula nasional kurang. Lihat saja pada Januari 2023 hanya sebesar 1,1 juta ton, sedangkan kebutuhan gula nasional per bulan sekitar 3,4 juta ton setahun.
Sementara produksi gula tahun ini diperkirakan hanya menghasilkan 2,6 juta ton. Mau tidak mau terpaksa harus impor sebagai langkah ‘sat set’ agar tidak terjadi kelangkaan di masyarakat. Hal ini membuktikan, bahwa negeri +62 belum mampu mewujudkan kedaulatan pangan dalam negeri. Meski memiliki tanah yang luas dan subur untuk ditanami tebu sebagai bahan baku gula.
Hanya nostalgia, dulunya Indonesia adalah negara penghasil gula terbesar di dunia. Pada tahun 1930-an hingga awal 1940-an, gula mencapai puncaknya yaitu memproduksi 3 juta ton gula pertahun. Seharusnya diera modern produksi gula makin tinggi karena diimbangi teknologi yang semakin canggih.
Lalu mengapa justru makin menurut?
Jika dianalisa, banyak faktor negara agraris ini gagal memenuhi kebutuhan gula dan pangan lainnya:
Pertama, faktor alat dan sarana produksi pertanian yang belum menjadi fokus perhatian pemerintah. Hari ini justru subsidi terus dikurangi, baik dari bibit, pupuk hingga saprodi. APBN 2022 menunjukkan bahwa subsidi pertanian turun sebesar 6,2% dibandingkan APBN 2021. Dampaknya ongkos produksi naik. Belum lagi petani harus bersaing dengan gula impor. Akhirnya petani merugi dan mogok produksi.
kedua, lahan pertanian yang semakin berkurang. Melansir dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyebutkan dalam tiga tahun terakhir terus berkurang hingga 70 ribu hektare. Tanah pertanian banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran, tempat usaha, dan tempat wisata. Para perani harus menyewa lahan pertanian untuk Bertani.
Ketiga, regulasi impor dan berpihaknya pemerintah pada swasta. Sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pemilik modal yang berkuasa. Alih-alih mensejahterakan petani, justru melabeli kualitas gula produksi petani dengan sebutan “gula di bawah standar”. Sehingga pasar dikuasai tengkulak besar.
Sebagai negara agraris harusnya Indonesia mampu untuk swasembada gula. Jika tidak menggantungkan impor yang semakin menghegemoni negeri dan negara merancang regulasi pro petani.
Alquran telah memberi contoh bagaimana Nabi Yusuf membangun ketahanan pangan. Oleh Nabi Yusuf, tidak semua produk pangan di masa subur akan dikonsumsi, tetapi ada yang disimpan untuk cadangan. Terjadi optimalisasi produksi, prediksi iklim, mitigasi bencana kerawanan pangan dan manajemen logistik. Serta pegaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat, merupakan komponen yang harus diperhatikan sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan negara.
Wallahu a'lam bish-shawabi
***
*)Oleh: Raihana Muthiah, pengajar Student Research IIBS AL-Izzah Batu.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : |
Editor | : Ronny Wicaksono |