TIMES MALANG, YOGYAKARTA – Pemilu sering dianggap sebagai ritual politik yang menandai hidupnya demokrasi, namun sering kali hanya berakhir sebagai rutinitas formal. Bagi kaum muda, ini menjadi tantangan besar. Demokrasi prosedural, yang menekankan pemenuhan aturan teknis seperti pemilu luber jurdil, sering mengabaikan esensi sejati demokrasi-sebagai ruang deliberasi dan kolaborasi dalam mengambil keputusan bersama.
Giovanni Sartori (1987) menekankan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai kehendak rakyat yang bertujuan mencapai kebaikan bersama, bukan sekadar momen pemilu lima tahunan saja. Bagi generasi muda Indonesia, partisipasi pasca pemilu menjadi ujian serius: mampukah mereka melampaui batas-batas politik prosedural menuju demokrasi substansial yang berorientasi pada perubahan konkret?
Melampaui Demokrasi Prosedural
Di Indonesia, partisipasi kaum muda dalam pemilu 2024 cukup besar, mencerminkan antusiasme terhadap demokrasi elektoral. Tetapi setelah itu, semangat yang sama sering kali meredup. Hal ini mencerminkan kegagalan untuk menjadikan demokrasi sebagai praksis hidup.
Kaum muda, kendati menjadi kelompok mayoritas dalam daftar pemilih, sering kali hanya berfungsi sebagai objek mobilisasi politik, bukan subjek politik aktif. Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah: bagaimana kaum muda dapat melampaui batas demokrasi prosedural menuju demokrasi substantif, di mana mereka benar-benar berperan dalam memperbarui struktur dan arah kebijakan publik?
Dalam mencari jawaban tersebut, menjadi penting untuk mengenali sejumlah tantangan partisipasi politik kaum muda pasca pemilu, di antaranya adalah: Pertama, politik representasi yang semu. Ruang demokrasi sering kali menjadi arena eksklusi terselubung, di mana kelompok marginal hanya diberi ruang simbolis tanpa kuasa substantif.
Dalam konteks Indonesia, keterlibatan kaum muda dalam pemilu sering kali hanya bersifat kosmetik-mereka dilibatkan untuk proses pemilihan, tetapi tidak diberi ruang lebih lanjut dalam proses pembuatan kebijakan.
Kedua, apatisme dan polarisasi politik. Kaum muda kerap terjebak dalam dua kutub ekstrem: apatisme total atau keterlibatan yang emosional tanpa analisis kritis.
Polarisasi politik selama masa kampanye sering kali berlanjut pasca pemilu dan resistan menciptakan friksi sosial yang memperlemah solidaritas kolektif. Ini menjadi tantangan besar bagi kaum muda untuk bergerak melampaui sekadar identitas partisan menuju agenda politik yang lebih berbasis isu.
Ketiga, minimnya pendidikan politik. Antonio Gramsci (1971) menekankan pentingnya hegemoni intelektual dalam membangun kesadaran politik. Namun, di Indonesia, pendidikan politik kaum muda masih sangat minim, baik di ranah formal maupun informal. Akibatnya, banyak dari mereka yang tidak memahami bagaimana sistem politik bekerja atau bagaimana memengaruhi kebijakan secara efektif.
Keempat, budaya patronase dan politik transaksional. Budaya patronase dalam politik Indonesia sering kali membuat kaum muda kehilangan ruang untuk mengartikulasikan kepentingan mereka.
Mereka dipaksa masuk ke dalam struktur politik yang hierarkis, di mana keputusan tetap didominasi oleh elite. Dalam situasi ini, partisipasi politik kaum muda pasca pemilu cenderung bersifat pasif atau bahkan hanya menjadi perpanjangan tangan kelompok tertentu.
Strategi Transformasi Politik
Untuk melampaui tantangan tersebut, kaum muda membutuhkan strategi yang lebih kritis dan terorganisir: Pertama, dekonstruksi demokrasi elektoral. Kaum muda harus memahami bahwa pemilu hanyalah salah satu instrumen dalam demokrasi.
Dalam hal ini demokrasi harus dipahami sebagai proses belajar kolektif yang berkelanjutan. Oleh karena itu, pasca pemilu, kaum muda harus aktif mengawal kebijakan, mengadvokasi isu-isu strategis, dan berani menantang kebijakan yang tidak sesuai dengan kepentingan publik.
Kedua, gerakan politik berbasis isu. Kaum muda harus mulai meninggalkan politik partisan yang sempit dan beralih pada gerakan politik berbasis isu. Misalnya, advokasi terhadap krisis ekologis, hak-hak pekerja, kesempatan lapangan pekerjaan, kesetaraan gender, kesehatan mental, atau reformasi pendidikan. Gerakan ini tidak hanya relevan secara sosial, tetapi juga mampu melibatkan kaum muda lintas ideologi dan pergerakan.
Ketiga, subversifikasi pemanfaatan teknologi. Michel Foucault (1977) menunjukkan bagaimana kekuasaan bekerja melalui struktur yang sering kali tidak terlihat. Teknologi digital memberikan peluang bagi kaum muda untuk mendobrak struktur ini. Media sosial dapat digunakan untuk membangun narasi tandingan, memobilisasi arah pergerakan massa, dan menekan pemerintah agar lebih transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.
Keempat, radikalisasi pendidikan politik. Kaum muda membutuhkan pendidikan politik yang tidak hanya informatif tetapi juga transformatif. Mengacu pada Paulo Freire (1970), pendidikan politik harus mampu membangun kesadaran kritis yang mendorong kaum muda untuk berani bertindak melawan ketidakadilan. Pendidikan ini dapat dilakukan melalui semarak diskusi kritis lintas komunitas/kalangan, lokakarya, atau platform digital berbasis literasi politik.
Kelima, mengukuhkan solidaritas antar-generasi. Kaum muda perlu membangun aliansi lintas generasi untuk memperkuat daya tawar mereka. Generasi tua membawa pengalaman dan jaringan, sementara kaum muda membawa obor semangat dan gebrakan inovasi. Kolaborasi ini penting untuk menciptakan gerakan politik yang berdaya dan berkelanjutan.
Harapan untuk Masa Depan
Harapan terhadap politik kaum muda dalam demokrasi bukanlah sekadar optimisme naif, tetapi harus dilandasi dengan kesadaran kritis terhadap realitas politik yang dihadapi. Kaum muda memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak perubahan, namun potensi ini hanya dapat diwujudkan jika mereka mampu melampaui batas-batas struktural maupun kultural yang sering kali membatasi ruang gerak mereka.
Harapan muncul dari kenyataan bahwa kaum muda adalah kelompok paling adaptif terhadap perubahan, terutama dalam memanfaatkan teknologi dan ruang digital. Dengan alat ini, mereka dapat mendobrak monopoli narasi politik elite dan menciptakan ruang deliberasi baru yang lebih demokratis.
Namun, penggunaan teknologi tanpa landasan kesadaran kritis juga berisiko terjebak dalam sekadar aktivisme digital tanpa dampak nyata. Oleh karena itu, kaum muda harus belajar mengintegrasikan gerakan digital dengan aksi nyata di ruang publik dan institusi formal maupun informal.
Kaum muda juga diharapkan mampu menantang budaya apatisme yang merugikan. Di sini, kaum muda harus bersikap kritis terhadap janji-janji perubahan yang datang dari elite politik sekaligus mendorong akuntabilitas dalam sistem.
Kaum muda harus memastikan bahwa partisipasi mereka bukan sekadar “penghias statistik demokrasi,” tetapi benar-benar memengaruhi kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Namun, harapan ini tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa struktur politik tetap menjadi tantangan besar. Sistem yang eksklusif dan elitis sering kali membatasi kaum muda untuk berpartisipasi secara substansial.
Oleh karena itu, mereka perlu berani mengorganisasi gerakan kolektif yang menekan perubahan dalam struktur hegemonik ini. Reformasi berkelanjutan pun menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan demokrasi tidak hanya menjadi ritual lima tahunan, melainkan proses yang terus hidup.
Dalam harapan ini, kritik harus terus menjadi bahan bakar. Kaum muda yang memahami kompleksitas demokrasi dan bersedia menghadapi tantangan secara strategis akan dapat menjadi agen perubahan sejati.
Dengan kombinasi keberanian/idealisme, kesadaran kritis, dan aksi kolektif, kaum muda tidak hanya dapat merevitalisasi demokrasi, tetapi juga membawa visi baru yang lebih inklusif dan membawa obor kehidupan demokrasi Indonesia lebih berkualitas di masa depan.
***
*) Oleh : Tubagus Damanhuri, Instruktur HMI dan Magister Filsafat UGM.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |