https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Kian Raibnya Makna “Bayangan” pada Pertunjukan Wayang Kulit

Jumat, 07 November 2025 - 21:05
Kian Raibnya Makna ''Bayangan'' pada Pertunjukan Wayang Kulit M. Dwi Cahyono, Arkeolog Universitas Negeri Malang.

TIMES MALANG, MALANG – >Wayang Kulit sebagai “Shadow Play”

Dalam bahasa Inggris, pertunjukan Wayang Kulit Jawa kerap disebut shadow play, yang secara harfiah berarti “pertunjukan bayangan” atau “teater bayangan”.

Istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan inti sari dari pertunjukan wayang kulit itu sendiri, di mana karakter atau tokoh cerita dimainkan dalam bentuk bayangan yang diproyeksikan pada bentangan layar kain putih (kelir) dengan sumber cahaya di belakangnya yang disebut blencong.

Pada pertunjukan wayang kulit, bayangan (shadow) memberi gambaran bahwa kehidupan manusia adalah fana — tidak kekal atau realitas semu. Layar putih (kelir) melambangkan alam semesta, sementara bayangan yang bergerak melambangkan kehidupan manusia yang sementara dan tak tetap.

Bayangan pada wayang kulit diibaratkan sebagai cermin berbagai sifat yang dimiliki manusia, baik yang baik maupun yang buruk. Para tokoh peran adalah perwujudan manusia dengan sifat dan tabiatnya masing-masing.

Adapun lampu minyak (blencong) yang memproyeksikan bayangan melambangkan sumber cahaya abadi, yang diinterpretasikan sebagai Sang Hyang, yakni sumber dari segala kehidupan.

Tanpa cahaya, bayangan takkan pernah ada — sebagaimana kehidupan takkan ada tanpa Sang Pencipta. Dalang yang memainkan dan menggerakkan wayang di balik layar melambangkan kekuatan yang tak terlihat, yakni Tuhan yang mengendalikan dan menentukan alur kehidupan manusia di alam semesta.

Unsur cerita yang dimainkan melalui bayangan-bayangan menggambarkan perjuangan abadi antara kebaikan (dharma) dan kejahatan (adharma) yang selalu bertarung dalam kehidupan manusia sehari-hari.

Posisi para penonton berada di belakang kelir, menyaksikan tokoh-tokoh cerita dalam wujud bayangan — dalam bahasa Jawa disebut ayang-ayang.

Terkait hal itu, dalam bahasa Jawa juga dikenal istilah wewayangan atau ayang-ayang, yang secara harfiah berarti “bayangan”. Justru karakter awal Wayang Kulit sebagai shadow play inilah yang kemudian melahirkan aneka jenis pertunjukan non-shadow, seperti Wayang Wong, Wayang Golek, Wayang Klitik, Wayang Krucil, Wayang Potehi, atau Wayang Topeng.

Dengan menghilangkan dimensi “bayangan”-nya, Wayang Kulit pun sebenarnya masih termasuk dalam kategori pertunjukan boneka pipih (puppet) non-shadow.

Kian Raibnya Karakter “Shadow Play” pada Pertunjukan Wayang Kulit

Sebutan shadow play sangat relevan dan akurat menggambarkan karakteristik visual utama dari seni pertunjukan tradisional Nusantara ini pada masa awal. Namun, dalam beberapa dasawarsa terakhir, karakter tersebut cenderung mengalami perubahan, di antaranya:

  1. Perubahan tampilan tokoh atau boneka pipih (puppet) dari semula menampilkan “bayangan” (shadow) menjadi menonjolkan wujud materialnya yang diukir indah (wacucal hinukir).

  2. Perubahan posisi penonton dari semula berada di belakang kelir ke arah depan layar.

  3. Perubahan fokus pementasan, dari semula menonjolkan bayangan dan kisah yang sarat makna, kini bergeser pada sajian hiburan seperti nyanyian, lawakan, pidato, atau pertunjukan fisik di depan layar.

Ada pergeseran selera penonton — dari yang “tersirat” dalam metafora bayangan menuju yang “tersurat” dalam wujud material. Tidak apa-apa, sebab “namanya juga selera”.

Namun, apakah wayang kulit sebagai teater bayangan (shadow play) tak mungkin direvitalisasi agar lebih menarik dan bermakna dengan memanfaatkan lighting technology (teknologi pencahayaan) modern?

Dengan begitu, penonton bisa kembali digiring ke belakang kelir. Kalaupun reposisi penonton ke belakang kelir dilakukan, pesona kecantikan dan kelembutan gerak tari para pesinden memang tidak akan tampak dari sisi tersebut.

Begitu pula para pelawak eksternal — di luar tokoh-tokoh komik dari peran wayang — juga menjadi tak tampak. Para pengrawit maupun dalang pun kembali menjadi “seniman di balik layar” yang tak ambisius untuk dilihat langsung oleh penonton.

Dari Persembahan Seni sebagai “Tuntunan” Menjadi Sekadar “Tontonan”

Wayang kulit sebagai bentuk seni pertunjukan tak terelakkan berada dalam “dinamika zaman”. Tradisi murni (pure tradition) kalah peminat dibanding tradisi kreasi (creative tradition).

Fenomena panggung di depan layar kini lebih menarik perhatian publik masa kini. Dalam kondisi demikian, wayang kulit dan hikmah ceritanya (lakon) hanya menjadi latar (background) dari sebuah pertunjukan, karena yang lebih diutamakan adalah nyanyian dan tarian para pesinden, atau banyolan para pelawak yang dianggap lebih ndagel daripada guyon maton atau parikena dari para Punokawan, Limbuk–Cangik, Citraksa–Citraksi, Begawan Narada, dan sebagainya.

Akhirnya, penonton kini lebih menjadikan wayang kulit sebagai “tontonan” ketimbang “tuntunan dalam wahana tontonan”. Demi mempertahankan job, para pelaku budaya pun bersedia “berkompromi” dengan selera baru ini.

Kendati dalam banyak pertunjukan Wayang Kulit kini lebih menonjolkan tampilan depan kelir, namun masih ada sebagian penonton yang tetap memilih menonton dari belakang layar.

Karena itu, sebaiknya disediakan tempat representatif bagi mereka. Dalang pun dapat mempersembahkan pertunjukan bayangan yang sesungguhnya bagi penonton di sisi belakang.

Mengapa tidak, jika pertunjukan Wayang Kulit dapat dihadirkan sebagai seni “berdimensi ganda” — menarik dan bermakna, baik disaksikan dari depan maupun dari belakang kelir?

Tulisan ringkas ini disampaikan dalam rangka mangayubagya “Hari Wayang Nasional” yang diperingati setiap 7 November. Wayang Kulit dalam wujud “tradisional kreatif” silakan tumbuh dan berkembang, namun hendaknya tanpa melupakan pelestarian Wayang Kulit Tradisional Murni. Keduanya sama pentingnya. Nuwun.

Griyajar CITRALEKHA, 7 Nopember 2025. (*)

 

*) oleh: M. Dwi Cahyono, Arkeolog Universitas Negeri Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : xxx
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.