TIMES MALANG, JAKARTA – Apa yang akan kita lakukan saat ada orang yang menyakiti? Banyak kemungkinannya. Andai punya kekuatan, kemungkinan kita akan membalasnya. Jika tidak, besar kemungkinan kita hanya diam meski sambil menggerutu, atau mendoakan semoga Tuhan membalas kelakuan jahatnya.
Standar! Bila begitu yang akan terjadi, besar kemungkinan saat ada yang menasihati agar kita tetap berbuat baik kepada mereka yang telah berlaku jahat pada diri kita, kita akan menganggap orang itu sok.
Tapi, mari kita belajar pada “hadits al-ifki”. Peristiwa ini merujuk tuduhan perselingkuhan Sayyidah Aisyah yang dilakukan beberapa orang Sahabat Nabi akibat “dikompori” Abdullah bin Ubay bin Sallul, tokoh munafik Madinah.
Secara ringkas, peristiwa ini terjadi pada Sya'ban tahun 5 H, setelah umat Islam menang perang melawan Bani Musthaliq. Dalam peperangan itu, Sayyidah Aisyah ikut menemani Rasulullah. Sesuai dengan keadaan masa itu, Aisyah tinggal di haudaj (rumah kecil yang terpasang di pungguk unta).Setelah peperangan usai, Rasulullah dan pasukannya kembali ke Madinah.
Dalam perjalanan itu, rombongan yang membawa istri Rasulullah singgah di suatu tempat dan kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Rupanya saat itu Sayyidah Aisyah meninggalkan haudaj-nya untuk buang hajat, tanpa memberi tahu rombongan.
Setelah usai, saat hendak kembali ke tempat peristirahatan rombongannya dia menyadari kalungnya hilang. Walhasil, dia harus mencari kalungnya dulu dalam waktu yang lama.
Setelah menemukan kalungnya, dia pun bergegas menuju rombongannya. Nasib, ternyata rombongannya telah berangkat menuju Madinah. Sayyidah Aisyah memutuskan untuk tetap di tempat sambil berharap ada yang menjemputnya. Dia pun tertidur karena tak kuasa menahan kantuk.
Sayyidah Aisyah pun ditemukan oleh Safwan bin al-Mu’aththal yang bertugas sebagai pengiring pasukan belakang. Tanpa ada pembicaraan apa pun, Safwan kemudian mempersilakannya untuk naik ke untanya. Dengan menuntun unta yang ditunggangi Aisyah, Safwan dapat menyusul rombongan yang tanpa mereka sadari telah meninggalkan Sayyidah Aisyah.
Dari sinilah tersebar fitnah perselingkuhan Sayyidah Aisyah dengan Safwan. Gunjingan fitnah ini sungguh berat. Hampir semua mulut di Madinah ikut menggunjing. Di antara para sahabat pun saling bersitegang. Bahkan, Nabi pun sempat bersikap dingin ke Sayyidah Aisyah.
Sayyidah Aisyah yang pada awalnya tidak tahu bahwa dia sedang digunjing, akhirnya paham dengan apa yang tengah terjadi. Namun tiada satu pun orang yang bisa membelanya. Dia pun hanya diam. Kesabaran lah yang bisa dilakukan.
Betapa beratnya! Sayyidah Aisyah pun merasa sangat tertekan, tapi tidak ada jalan untuk mengklarifikasi. Tangisnya pun jatuh. Tekanan jiwanya itu diungkapkan dengan kalimat sebagai berikut:
“Demi Allah, sungguh aku tahu bahwa kalian telah mendengar gunjingan ini, masuk ke dalam hati kalian, dan kalian membenarkannya. Sekalipun aku katakan pada kalian bahwa aku sama sekali tidak berbuat itu-dan Allah Maha Tahu bahwa aku tidak berbuat demikian-kalian tidak akan mempercayaiku. Kalau aku mengakui tuduhan itu-Demi Allah azza wa jalla bahwa aku tidak berbuat demikian-kalian akan membenarkannya. Tidak ada perumpamaan yang paling tepat dari apa yang harus aku lakukan kepada kalian kecuali seperti yang dikatakan ayah Nabi Yusuf (Nabi Ya’qub), فَصَبْرٌ جَمِيلٌ ۖ وَٱللَّهُ ٱلْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ (Hanya bersabarlah yang terbaik [bagiku]; Allah sajalah Zat tempat memohon pertolongan dari apa yang kalian ceritakan)."
Ini adalah ungkapan dari orang yang didera kesedihan karena tuduhan jahat, tapi tidak ada kesempatan untuk membela dirinya. Hampir semua pintu tertutup. Semua mata memandangnya dengan tatapan tuduhan.
Tak ada orang yang memercayainya. Bahkan orang terdekat yang diharapkan melindunginya pun tak sanggup memberinya bahu untuk menangiskan kepedihan di atasnya.
Tentu saja hal ini membuat perasaan Abu Bakar dan istrinya, hancur lebur. Seperti Aisyah-sang putri, mereka pun tidak memiliki ruang untuk membela. Di depan Rasulullah, yang notabene adalah menantunya sendiri, keduanya hanya terdiam.
Selama hampir sebulan gunjingan itu membuat suasana menjadi tak nyaman, akhirnya, turun wahyu yang khusus untuk mengkonfirmasi kesucian Sayyidah Aisyah dari seluruh tuduhan jahat itu.
Menurut Ibn Katsir, sepuluh ayat di dalam surah Al-Nur, yaitu ayat 11 sampai 21, diturunkan Allah khusus untuk membersihkan nama Sayyidah Aisyah dalam peristiwa hadits al-ifki atau kabar hoaks, ini.
Namun, yang ingin saya angkat dalam tulisan ini justru adalah ayat ke-22 dalam surat tersebut, yang berbunyi: وَلَا يَأْتَلِ اُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ اَنْ يُّؤْتُوْٓا اُولِى الْقُرْبٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَالْمُهٰجِرِيْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِۖ وَلْيَعْفُوْا وَلْيَصْفَحُوْاۗ اَلَا تُحِبُّوْنَ اَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan (rezeki) di antara kamu bersumpah (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(-nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah. Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampuni mu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa asbab al-nuzul ayat ini adalah perkataan Abu Bakar yang tidak akan lagi memberi sedekah ke Mistah. Itu terjadi setelah Allah menurunkan wahyu kepada Rasulullah yang membantah seluruh tuduhan perselingkuhan itu, Abu Bakar pun berkata pada Rasulullah bahwa dia tidak akan memberi nafkah kepada Mistah karena apa yang telah ia tuduhkan pada Aisyah.
Mistah adalah salah satu dari orang yang ikut menggunjing Sayyidah Aisyah. Padahal, Mistah masih terhitung kerabat Sayyidah Aisyah sendiri. Karena kemiskinannya dan hubungan kekerabatan ini, selama ini kehidupannya ditanggung oleh Abu Bakar.
Setelah diingatkan Allah dengan ayat itu, Abu Bakar menarik kalimatnya. Bahwa dia akan tetap membantu Mistah dan menanggung kehidupannya. Sesakit apa pun hatinya terhadap Mistah karena mulut jahatnya ikut menfitnah putrinya.
Memetik Hikmah dari Abu Bakar
Hikmah apa yang bisa kita petik dari peristiwa ini? Mari kita membacanya dari perspektif filsafat moral Immanuel Kant. Menurutnya apa yang disebut sebagai tindakan moral berasal dari kehendak baik, yang lahir dari batin manusia.
Tindakan moral bersifat universal tidak dipengaruhi oleh balasan yang mungkin akan diterima oleh seseorang. Bukan sebuah tindakan moral jika seseorang melakukan kebaikan karena kalkulasi untung rugi.
Menurut Kant, ada sebuah aturan moral murni yang berlaku pada setiap orang. Moral berasal dari batin seseorang. Batin manusia akan memerintahkan seseorang untuk melakukan sebuah tindakan karena pada dasarnya tindakan itu baik. Ini berbeda dengan hukum, di mana seseorang akan melakukan karena takut pada ancaman atau mengharap ganjaran.
Perintah wajib yang berasal dari batin manusia ini disebut imperatif kategoris.
Kant meyakini bahwa ada sebuah hukum moral di dalam diri manusia yang, sebagaimana hukum alam yang mengatur semesta, berfungsi untuk mengatur keteraturan hubungan antar manusia.
Inilah yang disebut etika murni. Ia terlepas dari pengalaman empiris. Misalnya, perintah “Kamu tidak boleh berbohong” Perintah ini berasal dari batin manusia, dan dengan sendirinya setiap manusia mengenali kebaikannya.
Nurani manusia akan memerintahkan pada manusia untuk tidak berbohong, terlepas dari untung rugi yang mungkin akan diperolehnya. Kehendak baik tidak tergantung dari hasil yang akan dicapai, tapi karena ada perintah batin yang ada dalam diri manusia. Melakukan sesuatu karena kewajiban inilah yang oleh Kant baru dianggap sebagai tindakan moral.
Sampai di sini mari kita merefleksi niat Abu Bakar untuk menghentikan sedekah kepada Mistah. Bagaimana pun Abu Bakar adalah manusia. Adalah wajar baginya merasa sakit hati karena dipermalukan oleh kerabatnya sendiri, yang selama ini dibantunya karena kefakirannya, tapi justru menikamnya dari belakang. Wajar juga bagi Abu Bakar untuk membalas sakit hatinya dengan menghentikan bantuannya.
Tapi, oleh Allah, Abu Bakar diingatkan bahwa kebaikan yang selama ini dilakukannya kepada Mistah agar terus dilanjutkan. Bantuannya kepada Mistah, kerabatnya yang fakir, adalah sebuah tindakan moral. Tindakan moral ini adalah sebuah kebaikan yang tidak boleh dipengaruhi atau dihentikan hanya karena Mistah berbuat jahat. Tindakan moral ini memiliki kebaikan dalam dirinya sendiri terlepas apapun yang dilakukan oleh Mistah.
Seakan-akan Allah hendak menyatakan: "Aku memahami jika kamu sakit hati karena fitnah yang dilontarkan Mistah kepada putrimu. Tapi tindakanmu selama ini kepada Mistah dengan memberi bantuan karena dia kerabatmu yang miskin adalah sebuah kebajikan. Jangan hentikan kebajikan itu hanya karena hatimu tersakiti. Teruskan berbuat baik, karena kebaikan itu tetaplah sebuah kebaikan.”
Jadi, jika selama ini kita berbuat kebaikan, tak seharusnya kebaikan itu kita hentikan hanya karena orang lain berbuat jahat kepada kita.
“Membantu orang lain” atau “menghormati orang lain” adalah sebuah imperative moral yang tertanam dalam nurani kita. Kita melakukannya bukan karena kalkulasi untung rugi yang akan kita dapatkan. Kebaikan adalah kebaikan, terlepas bagaimana orang memperlakukan kita. Berat? Memang berat. Tapi jangan pernah kehilangan nurani dalam keadaan apa pun, bahkan saat kita tersakiti.
***
*) Oleh : Prof. Ahmad Zainul Hamdi, Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |