https://malang.times.co.id/
Kopi TIMES

Hantu Itu Bernama Penyitaan

Senin, 17 November 2025 - 14:33
Hantu Itu Bernama Penyitaan Argie Wahyu Wibawa Purwanto S.H. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.

TIMES MALANG, MALANG – Di era Reformasi, banyak dari kita beranggapan bahwa praktik pemberangusan buku ala Orde Baru telah lama terkubur. Kita keliru.

Akar pelarangan buku di Indonesia justru jauh lebih tua, bermula dari masa kolonial ketika pemerintah Hindia Belanda menjatuhkan hukuman penjara hingga pengasingan kepada para penulis yang dinilai membangkang.

Setelah kemerdekaan, pola represif itu tidak pernah benar-benar hilang. Pada masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, pembatasan makin menguat dan mencapai titik paling gelap pada era Orde Baru di bawah Soeharto. Kita mengira semuanya berakhir pada 1998. Faktanya, “hantu” lama itu kini muncul kembali dengan wajah baru.

Rangkaian peristiwa beberapa bulan terakhir menjadi bukti. Pada September 2025, polisi menggeledah apartemen aktivis Lokataru, Delpedro Marhaen, dan menyita 16 bukunya sebagai barang bukti dugaan penghasutan.

Tak lama berselang, buku-buku bertema “kiri”, dari pemikiran Karl Marx hingga Anak Semua Bangsa karya Pramoedya ikut disita aparat di Bandung dan Sidoarjo usai gelombang demonstrasi.

Gelombang represi ini memicu protes publik. Di Malang, Paguyuban Literasi (Palma) turun ke jalan menuntut penghentian kriminalisasi terhadap buku. Fenomena ini ironis sekaligus problematis dari perspektif hukum.

Pertanyaannya pun bergeser: bukan lagi “apakah negara boleh melarang buku?”, tetapi “mengapa aparat menggunakan dalih penyitaan pidana untuk membungkam pemikiran?”

Untuk memahami masalah ini, kita perlu membedakan dua rezim hukum: pelarangan dan penyitaan. Pelarangan buku, warisan kelam sejak kolonial dan disempurnakan Orde Baru, dulu bertumpu pada UU 4/PNPS/1963 yang memberi wewenang absolut kepada Kejaksaan Agung.

Namun rezim itu telah dinyatakan gugur melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010. MK menegaskan, pelarangan hanya bisa dilakukan melalui mekanisme peradilan, bukan keputusan sepihak eksekutif.

Kini, aparat tampak beralih taktik: bukan lagi melarang buku, tetapi menyita buku dengan dalih sebagai barang bukti tindak pidana. Landasannya adalah Pasal 39 KUHAP, seperti dalam kasus Delpedro yang dikaitkan dengan dugaan penghasutan Pasal 246 KUHP baru.

Secara substansi, modus ini adalah cara berputar untuk menghindari Putusan MK—tujuannya tetap sama: membungkam gagasan.

Masalahnya, cara baru ini juga cacat hukum. Secara prosedural, KUHAP tegas mensyaratkan izin tertulis Ketua Pengadilan Negeri untuk penggeledahan dan penyitaan.

Sejauh yang tampak, penyitaan buku yang terjadi belakangan tidak melalui izin tersebut. Artinya, tindakan ini sudah berada di luar koridor hukum dan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang menjamin perlindungan hak milik.

Secara substansi, logika yang digunakan aparat juga bermasalah. Menjadikan buku sebagai bukti kejahatan adalah bentuk sesat pikir (non sequitur).

Kepemilikan buku Marx, Pramoedya, atau teks ideologis lainnya tidak otomatis menjadikan seseorang pelaku penghasutan. Yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap pemikiran—pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945) dan hak kebebasan berekspresi yang dijamin Pasal 19 ICCPR, yang telah diratifikasi melalui UU 12/2005.

Sejarah kolonial mengajarkan satu hal: pemberangusan buku tidak pernah berhasil memadamkan ide. Yang ia lakukan hanyalah memperlihatkan ketakutan rezim penguasa. Putusan MK 2010 seharusnya menjadi garis batas bagi praktik represif semacam itu.

Sayangnya, hantu lama itu kembali berkelindan melalui penyitaan ilegal atas nama penegakan hukum.

Karena itu, Kapolri perlu segera mengevaluasi aparat yang melakukan penyitaan tanpa prosedur hukum yang sah.

Di sisi lain, masyarakat sipil memikul tanggung jawab untuk terus membaca, berdiskusi, dan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap pemikiran. Sebab ketika buku mulai disita, yang sebenarnya tengah dirampas adalah kebebasan warga negara. (*)

**

*) Oleh: Argie Wahyu Wibawa Purwanto S.H. Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Wahyu Nurdiyanto
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.