TIMES MALANG, MALANG – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus Presidential Threshold menjadi salah satu keputusan yang paling banyak dibicarakan dalam perkembangan politik Indonesia terkini. Presidential Threshold, yang menetapkan syarat minimal jumlah dukungan kursi parlemen bagi calon presiden dan wakil presiden, dianggap oleh sebagian kalangan sebagai penghalang bagi demokrasi yang lebih inklusif.
Dengan dibatalkannya ketentuan ini, Indonesia seakan diberi kesempatan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi yang lebih sejati, yaitu kebebasan rakyat untuk memilih tanpa adanya batasan-batasan yang mengikat.
Secara teori, penghapusan presidential threshold membuka peluang bagi lebih banyak calon untuk berkompetisi dalam Pemilu Presiden. Selama ini, aturan presidential threshold cenderung membatasi ruang gerak bagi calon-calon alternatif yang sebenarnya memiliki potensi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, namun terhalang oleh syarat administratif yang tidak relevan.
Dengan hilangnya hambatan ini, para calon yang mampu menunjukkan kualitas kepemimpinan dan ide-ide segar bisa berhadapan langsung dengan publik tanpa perlu bergantung pada kekuatan partai politik besar.
Penghapusan presidential threshold bukan berarti tanpa tantangan. Proses politik di Indonesia sering kali dipenuhi oleh dinamika yang kompleks. Para pemangku kepentingan, baik partai politik maupun elemen-elemen elit yang sebelumnya diuntungkan dengan adanya presidential threshold, tentu tidak akan menyerahkan kekuasaan begitu saja.
Hal ini membuka potensi terjadinya politik praktis yang hanya mengutamakan kepentingan kelompok, bukan kepentingan rakyat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk tetap mengawasi proses ini agar tidak terjadi pengaruh negatif terhadap substansi demokrasi.
Pada saat yang sama, penghapusan presidential threshold memberi ruang bagi partai-partai kecil untuk muncul dan memperkenalkan calon-calon alternatif. Selama ini, banyak partai politik kecil yang memiliki basis massa yang loyal namun terhalang untuk mengajukan calon presiden mereka sendiri.
Dengan ketiadaan presidential threshold, partai-partai ini bisa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berkontribusi dalam kontestasi politik, membawa beragam gagasan yang dapat menghidupkan dinamika politik yang lebih sehat.
Di sisi lain, perlu diakui bahwa penghapusan sistem presidensial threshold juga membawa konsekuensi pada sistem koalisi politik. Tanpa adanya syarat minimal dukungan kursi di parlemen, partai-partai kecil atau independen bisa lebih mudah mengajukan calon presiden.
Hal ini berpotensi memunculkan politik koalisi yang lebih cair, yang bisa menjadi kekuatan positif jika dikelola dengan baik, atau malah menjadi bumerang jika koalisi hanya dibentuk untuk tujuan pragmatis semata.
Dalam konteks demokrasi yang lebih inklusif, putusan ini seharusnya menjadi momentum untuk mengedepankan gagasan-gagasan yang lebih progresif. Rakyat harus diberi kesempatan lebih besar untuk memilih calon pemimpin yang benar-benar mereka percayai, bukan hanya yang terikat pada koalisi yang hanya mementingkan kekuasaan. Dengan tidak adanya presidential threshold, rakyat bisa lebih bebas memilih, sehingga proses pemilu menjadi lebih bersih dan adil.
Bagi sebagian kalangan, sistem presidential threshold memang dianggap sebagai salah satu cara untuk menciptakan pemerintahan yang stabil melalui koalisi partai besar. Namun, hal ini sering kali menyingkirkan partai atau calon yang lebih dekat dengan aspirasi rakyat.
Di sini lah, putusan MK bisa dilihat sebagai upaya untuk mengembalikan esensi demokrasi itu sendiri-yaitu pemerintahan yang benar-benar berasal dari rakyat dan untuk rakyat.
Kritik terhadap presintial threshold juga datang dari banyak pihak yang berpendapat bahwa aturan tersebut hanya menguntungkan partai besar, yang dengan mudah dapat membentuk koalisi dan memilih calon presiden sesuai dengan kepentingan mereka. Tanpa presidential threshold, calon presiden yang lebih beragam dan sesuai dengan keinginan masyarakat dapat muncul ke permukaan, bahkan tanpa perlu bergantung pada partai besar yang dominan.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dinamika ini juga memunculkan potensi polarisasi yang lebih besar. Dengan lebih banyak calon presiden yang dapat ikut berkompetisi, bisa jadi akan terjadi perpecahan suara yang membuat pemilu semakin terbagi. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi semua pihak agar sistem pemilu tetap berjalan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa, bukan sebaliknya.
Pada akhirnya, keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan sistem presidensial threshold ini bukan hanya soal teknis hukum, tetapi juga soal keberanian untuk mengembalikan demokrasi pada rakyat.
Indonesia adalah negara yang memiliki beragam suara dan aspirasi. Putusan ini seharusnya menjadi pintu gerbang bagi kebebasan politik yang lebih luas, di mana semua pihak, baik yang besar maupun kecil, memiliki kesempatan yang sama untuk berjuang.
Penting bagi kita untuk menyambut perubahan ini dengan sikap kritis namun optimistis. Seiring dengan itu, kita perlu memastikan bahwa tidak ada kepentingan politik yang menggerus esensi demokrasi yang kita junjung tinggi.
Penghapusan sistem presidensial threshold bukan hanya soal memberi ruang bagi calon presiden lebih banyak, tetapi juga soal menciptakan sistem yang benar-benar mewakili suara rakyat tanpa terkekang oleh aturan yang bersifat eksklusif.
Dengan demikian, mari kita jadikan putusan ini sebagai momentum untuk merawat dan memajukan demokrasi Indonesia. Sebagai "montir demokrasi rakyat", kita harus bersama-sama menjaga agar mesin politik ini tetap berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan partisipasi yang setinggi-tingginya.
Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang memberi ruang bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan arah bangsa.
***
*) Oleh : Ferry Hamid, Pengamat Politik dan Peraih Tokoh Pemuda Inspiratif Kota Malang 2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |