https://malang.times.co.id/
Wawancara Khusus

Prof. Wahyudi Winarjo: Gerindra Jatim Harus Jadi Blueprint Politik Prabowo 2029

Selasa, 28 Oktober 2025 - 12:01
Prof. Wahyudi Winarjo: Gerindra Jatim Harus Jadi Blueprint Politik Prabowo 2029 Prof. Wahyudi Winarjo, Analis Sosial Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

TIMES MALANG, MALANG – Hari Santri Nasional (HSN) 2025 ini kembali mengingatkan kita akan gelar "Sahabat Santri Indonesia" yang diterima Prabowo Subianto di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, pada 2 Januari 2024 silam. Gelar itu bukan sekadar seremoni.

Di balik itu, ada arah politik baru. Prabowo diprediksi akan membangun poros santri yang sebelumnya menjadi kunci kemenangan besar di Jawa Timur pada Pilpres 2024.

Kini, pasca menang telak dengan 65,19 persen suara di Jatim, strategi itu sedang berlanjut dalam bentuk konsolidasi di tubuh Gerindra Jawa Timur.

Bagaimana arah politik Prabowo di Jatim sebagai salah satu lumbung suara nasional? Untuk mengulasnya lebih dalam, berikut wawancara Prof. Wahyudi Winarjo, analis sosial politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Berikut petikan lengkap wawancaranya:

Bagaimana Anda membaca makna politik dari gelar “Sahabat Santri Indonesia” yang diterima Prabowo di Genggong awal 2024 lalu dengan fenomena HSN tahun ini dan hangatnya kursi ketua Gerindra Jatim?

Saya melihatnya itu bukan sekadar penghargaan simbolik ya. Gelar itu punya bobot politik dan kultural yang sangat kuat.

Coba cermati. Pesantren Genggong adalah simbol peradaban santri di Jawa Timur. Ketika mereka memberi gelar itu kepada Prabowo, artinya Prabowo diterima secara kultural dan spiritual oleh komunitas pesantren.

Apa itu berarti di Jatim, Prabowo benar-benar bisa masuk di pesantren?  

Bisa jadi begitu, tepatnya di lingkaran NU sebagai basis massa terbesar di Jatim. Di sini, saya melihatnya sebagai pintu masuk resmi Prabowo ke jantung Nahdlatul Ulama. Sebelumnya, Gerindra sering dianggap terlalu nasionalis dan militeristik. Tapi lewat pendekatan ke pesantren, Prabowo berhasil memecah sekat psikologis itu. Ia tampil bukan lagi sebagai jenderal, tapi sebagai sahabat para kiai.

Apakah ini langkah spontan atau strategi politik yang dirancang jangka panjang?

Saya kira sangat strategis dan terencana. Prabowo tahu bahwa Jawa Timur adalah medan paling menentukan di setiap pemilu nasional. Selama ini, Jatim terbagi dua: barat yang nasionalis (Mataraman) dan timur serta Madura yang religius. Nah, wilayah religius itulah yang selama puluhan tahun menjadi lumbung NU dan PKB.

Apakah itu berarti Prabowo sukses menggeser peta itu?

Betul. Dengan masuk melalui pintu pesantren, Prabowo sedang menggeser lanskap politik itu. Ia membangun poros santri baru yang tak bergantung pada satu partai, tapi pada jejaring sosial dan kultural pesantren. Dan itu terbukti berhasil pada Pilpres 2024 kemarin. Suara di Jatim mutlak ke Prabowo.

Bisa Anda jelaskan bagaimana strategi itu bekerja di lapangan?

Begini, Prabowo memadukan pendekatan elit dan akar rumput. Di level atas, ia mendapat dukungan kiai kharismatik seperti KH Hasan Mutawakil Alallah dari Genggong, Ketum MUI Pusat Kiai Anwar Iskandar yang juga punya pesantren di Kediri. Ada juga jalinan dengan pesantren Lirboyo dan Sidogiri. Di level bawah, timnya juga bergerak secara kultural.

Apa yang menarik langkah Prabowo itu dibanding tokoh politik lainnya?

Saya kira, dukungan itu datang tanpa resistensi dari struktur NU. Karena Prabowo datang bukan dengan gaya transaksional, tapi silaturahmi. Itulah yang saya sebut politik adab. Mendekati pesantren dengan bahasa mereka: rendah hati, menghormati, dan mendengar.

Apa Anda melihat fakta bahwa pendekatan itu efektif secara elektoral?

Sangat bisa. Lihat saja datanya. Prabowo–Gibran menang 65,19 persen di Jawa Timur, meraih 16,7 juta suara dari total 25,6 juta suara sah. Itu kemenangan terbesar sepanjang sejarah Pilpres di provinsi ini.

Yang menarik, Prabowo menang di 36 dari 38 kabupaten/kota. Kalah tipis hanya di Pamekasan dan Sampang. Selebihnya, sapu bersih. Di Tapal Kuda seperti Probolinggo, Bondowoso, Situbondo, hingga Jember, semua pesantren besar mendukung. Di Probolinggo saja, tempat Genggong berada, Prabowo mendapat 530 ribu suara. Itu luar biasa.

Itu kan juga hasil mesin Partai Gerindra dan koalisinya?

Iya itu pasti. Tapi poin pentingnya adalah mesin mesin santri benar-benar hidup. Dari podium pesantren, suara mengalir ke TPS. Dari kiai ke jamaah, dari jamaah ke keluarga. Itu rantai komunikasi politik paling efektif di Jawa Timur.

Apakah kemenangan itu murni karena dukungan pesantren?

Bukan satu-satunya faktor juga, tapi menjadi faktor dominan. Pesantren memberi dua hal, legitimasi moral dan efek domino sosial. Kalau kiai sudah berkata “boleh,” masyarakat tidak lagi perlu kampanye besar-besaran.

Faktor Prabowo?

Pasti ada. Prabowo juga cerdas membangun citra emosional. Saat menerima gelar Sahabat Santri, ia menyebut para kiai sebagai guru moral bangsa. Itu kalimat sederhana tapi dalam. 

Maknanya?

Ya, artinya, Prabowo menempatkan pesantren bukan sebagai pendukung politik, tapi sebagai penuntun moral. Dan itu disambut hangat oleh kalangan ulama. Dan, buktinya menang kan?

Baik, bagaimana Anda menilai peran Gerindra Jawa Timur dalam mengawal strategi ini?

Sangat vital. Gerindra Jatim menjadi mesin kultural sekaligus jembatan politik antara pesantren dan kekuasaan nasional.

Tokohnya, Gus Anwar Sadad, adalah santri Sidogiri. Ia bukan hanya politisi, tapi bagian dari tradisi pesantren. Itu yang membuat Gerindra diterima tanpa resistensi di kalangan NU.

Apa yang bisa Anda lihat dari itu?

Banyak. Namun intinya ada sukses ganda di Gerindra Jatim. Prabowo menang Pilpres, kursi legislatif mereka juga naik dari 15 menjadi 21 kursi DPRD provinsi. Itu bukti bahwa partai nasionalis bisa tumbuh di lahan religius kalau mengerti kultur lokal.

Apakah ini berarti PKB sedang kehilangan cengkeraman di basis santri?

Ya, PKB tidak lagi dominan tunggal. Dulu, siapa pun yang mau bicara santri harus lewat PKB. Sekarang tidak lagi. Prabowo lewat Gerindra membuktikan bisa menembus basis yang sama tanpa konflik ideologis. Itu gejala menarik, politik santri mulai terbuka dan cair.

Apa tantangan Gerindra Jatim ke depan setelah kemenangan besar ini?

Tantangannya dua, konsolidasi dan regenerasi. Pertama, mereka harus mempertahankan kepercayaan pesantren, bukan sekadar suara. Artinya, harus ada kebijakan nyata untuk dunia santri. Mulai peningkatan kesejahteraan, program pemberdayaan, hingga pengakuan terhadap pendidikan pesantren.

Kedua, regenerasi. Prabowo butuh figur muda berlatar pesantren untuk memimpin Gerindra Jatim ke depan. Kalau figur santri dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, itu sinyal kuat bahwa Gerindra serius menjaga poros santri. Kalau tidak, suara santri bisa kembali berpindah.

Mengapa posisi Ketua DPD Gerindra Jatim sangat strategis dalam konteks ini?

Karena Jatim adalah benteng elektoral nasional. Siapa yang menguasai Jatim, separuh peta nasional di tangannya. Jadi, ketua DPD Gerindra Jatim bukan sekadar pengurus partai, tapi semacam “gubernur bayangan” bagi politik nasional Prabowo.

Sampai begitu ya?

Ya wajar sekali dalam politik. Dan, sangat wajar kalau Prabowo ingin posisi itu dipegang figur pesantren. Dengan begitu, ia punya jaminan bahwa lumbung santri Jatim tetap aman hingga 2029. Prabowo sangat memahami bahwa legitimasi moral pesantren adalah pelindung terbaik kekuasaan.

Apa yang bisa kita baca dari arah politik Prabowo menuju 2029 dari Jatim?

Prabowo akan memperkuat politik kulturalnya. Ia tidak akan mengandalkan kekuasaan semata, tapi jejaring sosial dan spiritual. Itulah sebabnya politik pesantren menjadi poros baru.

Dan itu menurut Anda akan dilakukan di Gerindra Jatim?

Ya benar. Saya melihat Gerindra Jatim akan jadi model nasional.

Bukan tidak mungkin, partai ini akan punya “sayap santri” yang terlembaga. Dan Prabowo akan dikenal bukan hanya sebagai presiden nasionalis, tapi juga pemimpin yang didoakan umat.

Kalimat terakhir Anda untuk menggambarkan poros politik baru ini?

Saya menyebutnya “Santri Politics 2.0.” Prabowo mengubah cara bermain di Jawa Timur: dari politik transaksional menjadi politik kultural. Dari mencari dukungan, menjadi membangun kepercayaan. Dari sekadar kampanye, menjadi persahabatan.

Itulah mengapa gelar Sahabat Santri Indonesia bukan sekadar titel, tapi blueprint politik masa depan. Dan Gerindra Jatim adalah laboratoriumnya. Kalau ini bertahan sampai 2029, saya kira sejarah akan mencatat bahwa Prabowo memenangkan Indonesia lewat pesantren. (*)

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Malang just now

Welcome to TIMES Malang

TIMES Malang is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.