TIMES MALANG, BLITAR – Bukit Pertapaan Gunung Pegat di Kabupaten Blitar menyimpan lebih dari sekadar panorama alam. Di puncaknya, berdiri Situs Candi Pertapaan, tempat ini diyakini menjadi lokasi pertapaan Dewi Kilisuci, putri mahkota Kerajaan Jenggala, putri sulung Prabu Airlangga yang memilih jalan sunyi sebagai pertapa.
Kini, meski menyuguhkan panorama menawan dan nilai spiritual yang kental, keberadaannya perlahan terlupakan seiring berkurangnya kunjungan wisatawan.
Asal Usul dan Jejak Sejarah Candi Pertapaan
Secara administratif, Situs Candi Pertapaan terletak di Desa Bagelenan, Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Dahulu, jalur menuju puncak bukit ini terkenal licin dan curam, namun kini sudah dibeton sehingga lebih aman dilalui.
Candi ini diperkirakan berdiri sejak era Kerajaan Kadiri, dibuktikan dengan temuan Prasasti Subhasita bertahun 1120 Saka (1198 M) pada masa Raja Kertajaya. Artefak lain seperti batu bertulis 1237 Saka, lonceng 1365 Saka, yoni, dan patung kala menunjukkan bahwa tempat ini dulunya merupakan karesian—pusat ibadah dan belajar agama bagi para resi.
Patung Kepala Kala dan Yoni di Situs Candi Pertapaan Blitar menjadi bukti arkeologis bahwa tempat ini dulunya adalah karesian—pusat ibadah dan pembelajaran agama bagi para resi. (Foto: Abimanyu Satrio Widodo/TIMES Indonesia)
Meski sebagian besar bangunan telah runtuh, pengunjung masih bisa melihat sisa struktur asli.
“Ini bukti nyata bahwa sejarah Blitar tidak hanya ada di museum. Di sini, kita bisa melihat langsung peninggalan yang usianya ratusan tahun,” ujar Reza Rizaldi, wisatawan asal Blitar.
Legenda Dewi Kilisuci di Puncak Gunung Pegat
Masyarakat setempat percaya, Dewi Kilisuci—putri mahkota Kerajaan Jenggala—pernah bertapa di lokasi ini. Legenda setempat mengaitkannya dengan kisah sayembara melawan Lembu Suro, yang berakhir dengan sumpah serapah terhadap tiga wilayah: Blitar, Kediri, dan Tulungagung.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Dewi Kilisuci berkelana melakukan pertapaan di berbagai tempat, salah satunya di Candi Pertapaan Gunung Pegat. Dari sinilah situs ini mendapat nilai sakral di mata warga sekitar.
Pesona yang Mulai Terlupakan
Gerbang masuk menuju Situs Candi Pertapaan Gunung Pegat, Blitar, menyambut pengunjung dengan corak warna yang khas Blitar dan menjadi awal perjalanan menuju puncak situs bersejarah ini. (Foto: Abimanyu Satrio Widodo/TIMES Indonesia)
Dari puncak bukit, pengunjung disuguhi pemandangan Blitar dari ketinggian, ditemani udara sejuk dan pepohonan rindang. Namun, sejak pandemi COVID-19, jumlah wisatawan menurun drastis. “Sebelum COVID-19, tempat ini ramai, bahkan di akhir pekan. Sekarang jauh berkurang, pedagang di sekitar pun banyak yang tutup,” kata Aji Nuswantara, juru pelihara situs kepada TIMES Indonesia awal Agustus 2025 lalu.
Meski begitu, akses jalan, fasilitas pendukung, dan spot foto terus dibenahi. Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat juga rutin menjaga kebersihan dan kelestarian situs.
Harapan untuk Masa Depan
Pengelola berharap dukungan pemerintah dan kesadaran wisatawan terus meningkat agar Candi Pertapaan tidak semakin dilupakan. “Kami harap pengunjung ikut menjaga lingkungan dan menghormati nilai sejarah di sini,” kata Aji Nuswantara. (*)
Pewarta | : TIMES Magang 2025 |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |